Saya tidak datang dari keluarga yang sangat religius. Ibu saya
memang selalu mengingatkan kami untuk berbuat baik pada orang lain, jujur, dan
jangan terbuai cara-cara praktis untuk mendapatkan uang karena Allah tidak
menyukai cara-cara itu. Tapi terlepas dari itu, orang tua saya tidak pernah sangat
menekankan pengajaran agama di rumah.
Waktu lulus SMP, Mama mendaftarkan saya ke sebuah SMA Islam
swasta di Jakarta. Alasan beliau ‘sederhana’ (kalau bisa dikatakan sederhana. Setelah
jadi orang tua, saya jadi sadar tidak pernah ada niat yang sederhana dalam
mendidik anak): beliau ingin saya (dan kakak saya yang sudah duluan sekolah
disitu sejak SMP), mendapat pengajaran agama yang beliau mungkin tidak bisa
berikan di rumah. Padahal waktu itu saya sudah diterima tanpa tes di SMAN 8.
Saya masih inget banget guru-guru di SMP saya kebakaran jenggot ada yang ‘membuang’
kesempatan itu begitu saja dan sayapun kena marah sampai dipanggil Kepala
Sekolah...sampai lalu mereka ketemu ibu saya. Matek kon diceramahi :D
Saya waktu itu sih senang-senang saja karena saya juga tidak
terlalu ingin masuk SMA Negeri gara-gara pertimbangan super praktis: saya nggak
mau selama kelas 1, masuk siang pulang sore yang artinya saya akan kehilangan
kesempatan tidur siang selama setahun!. Saya tahu sih diterima di SMAN 8, tanpa
tes pula!, itu bergengsi sekali. Tapi yaaaa buat saya kesempatan tidur siang jauh
lebih penting daripada gengsi.
Tapi mau tidak mau saya deg degan juga. Karena dari melihat
kakak saya yang waktu itu naik kelas 3 SMA, di SMA Islam ini ada pelajaran
Bahasa Arab, yang kabarnya susah pake banget walaupun gurunya katanya juga baik
pake banget. Tapi ya seperti biasa, saya dengan kebiasaan ‘lihat aja nanti lah’,
melenggang masuk ke SMA ini.
Masa-masa SMA yang indahpun saya lalui. Iya lho indah. Merencanakan
kabur bareng. Bikin surat palsu supaya lolos dari satpam yang jaga pintu
sekolah. Ngumpet di aula sekolah karena dicari-cari guru. Sampai bikin kebetan
untuk ulangan pelajaran Al-Quran yang kebetannya diselipin di Al-Quran (gila
ya. Adalah suatu keajaiban dan murah hatinya Allah SWT saya masih hidup sampai
detik ini setelah melakukan kejahatan super kayak gitu...astaghfirullah...).
Kenangan-kenangan manis yang saya tidak bisa lupa sampai detik ini.
Tapi, begitu saya dewasa (gak mau bilang tua. Karena menurut
definisi WHO yang terbaru, usia 18 – 65 tahun itu adalah PEMUDA. Terlepas dari
uban yang bertebaran), saya baru sadar ada kenangan manis lain yang muncul
pelan-pelan dari alam bawah sadar saya. Kenangan yang lalu menjelma jadi sebuah
kerinduan yang hilang timbul.
Jejak ingatan dan kerinduan
SMA ini berada di kompleks salah satu masjid besar di
Jakarta Selatan. Dan layaknya berada di lingkungan masjid, selalu ada lantunan
merdu orang membaca Al-Quran sebelum azan yang jadi penanda bahwa waktu belajar
sudah berakhir dan kami harus ke masjid untuk shalat dzuhur berjamaah sebelum
pulang, atau sebelum kegiatan ekskul atau praktikum waktu sudah kelas 3.
Di hari Jumat, ini juga adalah penanda bahwa kami harus ikut
ke masjid. Dan buat saya dan teman-teman ‘se-gang’ yang semuanya perempuan, itu
juga artinya saat buat cekikikan cerita saat Pak Ustad ceramah. Untung tidak
pernah ada ulangan: ceritakan kembali isi ceramah hari Jumat lalu. Bisa nggak
lulus SMA saya.
Kami, mau tidak mau, jadi dekat dengan suasana masjid.
Bahkan dengan segala kelakuan kacau kami (atau, saya
tepatnya...menurut teman-teman se-gang, saya yang paling ‘free will’ kalau soal
beribadah...hehehe...bener banget sih), kami menikmati berada dalam masjid.
Pasti semua umat muslim (atau bahkan yang non-muslim seperti
yang beberapa teman non-muslim saya cerita dari pengalaman mereka masuk
masjid), merasakan ada ketenangan berada dalam masjid. Masjid buat kami juga
adalah tempat yang mengingatkan bahwa bagaimanapun kelakuan kami, tapi panggilan
Allah adalah sesuatu yang harus kami jaga teguh (walaupun ya kenyataannya saya juga
bukan orang yang shalatnya selalu terjaga. Lebih baik ngaku daripada nggak,
kan?).
Dan dengan rumah yang berada dekat sebuah masjid kecil yang
jujur saja bahkan sampai sekarang tidak pernah membuat saya simpati pada usaha mereka
untuk syiar Islam, untung juga saya pernah sekolah di lingkungan masjid lain
yang masih mengingatkan saya pada keindahan Islam dan menjadi muslim. Dan tanpa
saya sadari, ada jejak-jejak indah tentang kedamaian masjid dari 3 tahun saya
sekolah disitu.
Kedamaian yang mengundang
Dalam bulan Ramadhan dimana kegiatan masjid dimana-mana jadi
semarak, selalu ada kerinduan untuk berada di dalamnya dan bertafakur. Atau
bahkan hanya diam mendengarkan gema orang-orang yang berbincang lirih dalam
masjid, atau yang membaca Al-Quran dengan suara pelan.
Sayangnya, walaupun saya tinggal dekat masjid, saya tidak
pernah bisa mengasosiasikan perasaan damai itu dengan masjid dekat rumah. Dan
hasilnya adalah saya tidak pernah bisa melangkahkan kaki saya kesana bahkan di
bulan Ramadhan (atau, APALAGI di bulan Ramadhan dimana kebisingan dari pengeras
suara jadi makin heboh).
Ingatan dan perasaan saya, selalu kembali ke masjid besar
itu. Masjid yang buat saya adalah representasi yang benar dari keindahan dan
ketenangan beribadah, keindahan syiar agama tanpa menganggu orang lain, dan kedamaian
yang apa adanya.
Untungnya bukan hanya masjid yang dekat bekas sekolah saya itu
yang menawarkan kedamaian itu. Saya menemukan masjid-masjid lain yang
memberikan hal yang sama. Sayangnya memang tidak dekat dengan rumah. Tapi itu
masih lebih baik daripada tidak menemukannya sama sekali.
Semalam saya ajak Tara ke masjid besar lain di kawasan
Menteng. Salah satu favorit saya juga karena penceramahnya yang bagus-bagus. Ini
pertama kalinya saya ajak Tara ke masjid besar untuk tarawih. Yes, seperti yang
sudah saya bilang saya memang ‘free will’ banget soal ibadah. Shalat tarawih,
kalau saya ingat (which is jarang banget. Tuh, saya mah mendingan jujur aja
kalau ibadah saya emang ngaco), biasanya saya lakukan di rumah saja.
Di perjalanan pulang, saya tanya apakah dia menikmati shalat
dan ceramah tadi. Tara menjawab dengan mata berbinar-binar, “Suka banget bunda.
Kesini lagi ya besok”.
Saya lalu cerita pada dia kenapa saya ajak dia ke masjid
malam ini, dan kenapa sekarang dan bukan beberapa tahun yang lalu misalnya. Saya
cerita tentang masjid besar dekat sekolah. Saya bilang pada dia, “Semoga kamu
juga bisa ngerasain ketenangan yang bunda rasain kalau ada dalam masjid. Kamu udah
mau masuk remaja, kamu udah bisa lihat perbedaan dan bisa ngerti dengan lebih
baik. Masjid nggak semuanya seperti yang di belakang rumah” (karena jujur saja
saya takut asosiasi Tara semua masjid adalah yang berisik tanpa toleransi
karena sejak bayi seperti itulah yang dia hadapi sehari-hari).
Dan benar saja, Tara komentar azan dan suara pak Ustad yang
ceramah tadi enak didengar di telinganya. “Merdu dan nggak teriak-teriak”,
komentar dia.
Alhamdulillah. Masih ada harapan untuk anak-anak mengenal
Islam yang sesungguhnya... Dan masih ada masjid yang menawarkan kerinduan untuk
kembali.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment