Siang ini, separo karena ingin menghilangkan kalori dari duren
berbutir-butir semalam, separo lagi karena saya bosan naik taxi, saya
berhentikan Kopaja untuk pulang dari Kalibata, tempat basecamp Eye to
Eye berada.
Saya sudah tidak ingat kapan terakhir saya naik bis kota. Pasti
sudah terlalu lama.
--
Padahal dulu, dari saya SD sampai kuliah, merekalah
teman-teman baik saya. Yang setiap hari saya naiki untuk sekolah, kursus, main
ke rumah teman; dan waktu sudah pacaran, untuk pergi sama pacar. Dulu, nggak
pernah terpikir kalau makin lama para pengemudi bis kota makin ugal-ugalan. Apalagi
yang namanya Kopaja dan Metro Mini, terkenal lah dengan kebiasaannya berhenti
seenaknya, nggak pernah berhenti dengan sempurna sehingga harus selalu siap
lompat kalau nggak mau tahu-tahu tersungkur di jalan, saling serobot di jalan. Pokoknya
setan jalanan lah mereka itu.
Tapi nggak pernah sekalipun terlintas di kepala saya rasa
takut. Ya sebagian besarnya karena tidak punya pilihan – kalau nggak naik bis
mau naik apa?. Kami bukan keluarga berada yang punya mobil lebih dari 1 lengkap
dengan supir. Jadi dari usia SD saya terbiasa naik bis kota.
Begitu saya lulus kuliah, kerja, saya tidak pernah lagi naik
bis. Dan mulailah saya melihat bis kota ini sebagai benda yang menakutkan.
--
Siang tadi, kebetulan bis yang saya tumpangi kosong. Saya dapat
duduk di kursi paling belakang. Dan saya teringatkan kembali kenapa dulu ini
adalah kursi favorit saya kalau kebetulan ada yang kosong. Sensasi terombang
ambing seperti di kapal, cuma bisa dirasakan kalau duduk di deretan kursi ini.
Apalagi kalau supirnya menyetir seperti orang kesetanan. Kalau anda bukan orang
yang mudah mabuk, asik sekali rasanya. Walaupun ya artinya juga harus cari
pegangan kalau tidak ingin terlempar. Kalau tidak ada pegangan? – berdoa sambil
menjejakkan kaki rapat-rapat ke lantai bis. Itu yang tadi saya lakukan sambil
senyam senyum sendirian.
Ada pengamen yang sedang menyanyi entah apa di depan. Mesin bis
yang meraung, kontan menutup suaranya. Saya diingatkan lagi, sejak dulu saya
salut pada para pengamen di bis kota. Lha iya. Bayangkan susahnya bersaing
dengan suara mesin yang luar biasa kerasnya itu. Belum lagi harus menjejakkan
diri di bis yang terombang ambing, sambil memainkan gitar. Mereka dulu selalu
mengingatkan saya bahwa seberapa kecilnyapun uang jajan saya (beneran, saya
selalu merasa paling kere dibanding teman-teman), saya masih jauh lebih beruntung
dari mereka. Dan saya masih kecil, belum jadi orang dewasa yang mungkin harus membiayai orang lain. Padahal
kelihatannya jadi pengamen tidak memberikan hasil yang cukup bahkan untuk diri
mereka sendiri.
Saya juga jadi ingat dulu saya punya bis favorit!. Waktu saya
SMA, saya selalu jalan kaki bersama beberapa teman, dari sekolah di Jalan
Sisingamangaraja, ke terminal bis Blok M. Kami lebih senang melakukan itu
dibanding harus naik bis kota dari sekolah ke Blok M, karena kami jadi punya
lebih banyak waktu untuk ngobrol.
Saya biasanya naik Metro Mini S-75. Ada 1 bis favorit saya
karena: jendelanya bertirai, bersih, dan supirnya baik hati. Dia selalu
berhenti dengan sempurna, selalu bilang, “Hati-hati turunnya!” dengan logat
Batak yang kental, dan selalu memastikan penumpang sudah duduk sebelum
menjalankan bisnya. Dia juga seperti yang lain, membiarkan bisnya penuh. Tapi,
dia tidak pernah membiarkan bis penuh seperti kaleng sarden. Di mata saya dia
bis yang paling OK lah. Jadi kalau sampai di terminal dan saya bisa naik bis
ini, saya senang sekali. Atau kalau pagi waktu berangkat sekolah saya ketemu
bis ini, saya juga bahagia banget.
Kenangan tentang bis favorit itu membekas di kepala saya
sampai sekarang. Mengingatnya lagi, mengajarkan saya bahwa ada hal-hal kecil
yang bisa kita lakukan di keseharian kita, dengan segala keterbatasan kita,
untuk membuat orang lain bahagia. Yang dilakukan si supir bis itu dengan bisnya
dan bagaimana dia memperlakukan penumpangnya, was not a big thing, but it made
a real difference in my experience setiap kali saya menumpang bisnya. That’s the
essence of service, a good service, that is.
--
Jalan tadi tidak macet. Jadi dalam waktu kurang dari
setengah jam, saya sudah harus berhenti melamun dan turun. Seperti jaman
sekolah, saya melompat kecil turun dari bis. Haha...itu kebahagiaan tersendiri:
masih bisa lompat kesana kemari di usia segini.
Saat saya naik tangga penyeberangan dan bis yang tadi saya
tumpangi berlalu, saya jadi berpikir: those things that we survived from when
we were younger, were very helpful. Bis yang bergajulan, pengamen yang
kesusahan, kepanasan dalam bis yang penuh. Semua itu besar maknanya sekarang.
Dan saya baru sadar tadi kalau calon TK-nya Lila dilewati
bis itu. Sesekali, mungkin saya harus ajak dia naik bis yang berjalan seliar
kehidupan ini. Menakutkan mungkin, nevertheless, they are still valuable.
(R I R I)
Buluk, brengsek, setan jalanan. Itu asosiasi saya dengan bis ini sekarang. Padahal dulu...tanpa mereka, saya pusing juga... |
No comments:
Post a Comment