Ikhlas. Temennya sabar. Yang susah banget buat dipraktekkan
tapi paling sering diucapkan kalau ada suatu kejadian. Yaaaa termasuk saya,
sih.
Padahal tahuuuu banget bagaimana susahnya bisa ikhlas.
Ikhlas, buat saya punya banyak sekali elemen.
Ada elemen berserah diri pada keadaan yang sudah terjadi, karena
memang tidak bisa diubah. Ada juga elemen mensyukuri yang sudah terjadi, apapun
itu, seberapa sulitnyapun melihat sesuatu yang bisa disyukuri dari yang sudah
terjadi, karena bisa saja kita mengalami yang lebih buruk. Ada juga elemen hening,
menenangkan diri, tidak melawan tapi melihat ke dalam, mengenali apa yang
dirasa, lalu menerima semuanya.
Susaaah banget semua itu.
Perjalanan ikhlas yang paling susah yang pernah saya tempuh
adalah saat saya harus kehilangan Papa yang mendadak. Tanpa sakit, tanpa tanda
apapun, beliau pergi begitu saja.
Cuma 2 hari setelah saya terakhir ngobrol dengan beliau
lewat telepon, tahu-tahu telepon berikut yang saya terima adalah berita bahwa
beliau sudah dipanggil. Saya beratus ribu kilometer jauhnya dari rumah,
sehingga buat melihat jenazah beliau terakhir kali saja saya tidak bisa. Keputusan
yang saya ambil sendiri, karena itulah bakti terakhir saya buat beliau, dengan
tidak meminta beliau menunggu saya untuk pulang saat beliau bisa pulang ke rumah terakhirnya.
Di hari beliau dimakamkan, saat saya tiba di rumah setelah
menghabiskan airmata saya di pusara beliau yang masih merah, saya jadi sadar
bahwa hidup tidak akan sama tanpa beliau. Dan itulah titik pertama saya tahu
betapa sulitnya mengikhlaskan kepergian beliau. Tiba-tiba saya dihadapkan pada ruang
hampa yang mendadak hadir.
Mengikhlaskan rumah kami tanpa beliau yang sering tidur
siang di sofa. Mengikhlaskan Chevrolet Luv penuh kenangan, satu-satunya mobil yang
pernah beliau beli dari showroom, untuk kami jual karena kami tidak sanggup
merawatnya. Mengikhlaskan saya tidak akan pernah lagi terima surat dari beliau
selama 1,5 tahun yang masih harus saya jalani di negeri orang saat itu. Mengikhlaskan
bahwa beliau tidak akan ada di meja akad nikah, melepas saya ke jenjang
kehidupan berikutnya.
Pokoknya tiba-tiba ada beberapa hal yang berarti, yang harus
diikhlaskan untuk tiada. Dan itu berat sekali rasanya (Dilan, kamu tidak tahu
kalau masih ada yang lebih berat dari rindu….).
Sekarang, 20 tahun kemudian, saya masih nggak tahu apakah
saya sudah betul-betul ikhlas atau belum. Jujur saya juga nggak tahu ukuran
ikhlas itu apa sih. Tapi kalau ditanya apakah saya masih sedih kehilangan
beliau, maka jawabannya adalah tidak.
Karena dunia sudah jadi sesuatu yang amat berbeda dibanding
dulu saat beliau masih hidup. Saya rasanya tidak ingin juga beliau melihat
seperti apa dunia sekarang, apalagi Indonesia dengan segala hiruk pikuk
politiknya karena saya tahu betapa cinta beliau pada negeri ini. Dan rasanya
saya juga tidak akan tega melihat beliau merenta, menua, makin rapuh sementara saya
tahu betapa beliau mencintai kelayapan kesana kemari, dan tahu beliau pasti
tidak akan tahan sakit…hehe…
Jadi sekarang saya bisa bilang bahwa beliau pergi di saat
yang tepat. Dan jika itu adalah ukuran ikhlas, maka yaaa….saya sudah disitu.
Dan sekarang, saya rasanya sedang diletakkan dalam
perjalanan mengikhlaskan selanjutnya.
Mama, sudah berusia 81 tahun. Perempuan kuat yang jarang
mengeluh, yang sudah menempa saya buat paham bahwa jadi perempuan bukan berarti
menunduk pada kehendak sosial untuk selalu mengalah. Beliau adalah pejuang di
mata saya.
Dalam setahun terakhir, fisik beliau makin lemah. Beliau memang
tidak punya penyakit serius. Suara dan tawa beliau masih tetap gegap gempita. Mata
beliau yang sudah sulit untuk melihat masih bersinar berapi-api jika diajak
ngobrol soal politik. Tapi tulang-tulang tua beliau makin lama makin harus
menyerah pada serangan sang waktu.
Puncaknya 2 bulan lalu dimana akhirnya sampai sekarang,
beliau harus menjalani berbagai terapi fisik untuk mengurangi kesakitan di salah
satu bagian tulang punggungnya.
Saya yang selalu mengantar beliau ke dokter, dan ke sebagian
besar sesi terapinya, harus mendengar semua penjelasan para praktisi kesehatan
itu.
Satu hal yang membuat saya tiba-tiba tersadar bahwa ini
rasanya adalah cara Tuhan untuk bikin saya mengikhlaskan, adalah ucapan salah
satu dokter, “Tugas kami para dokter
adalah memastikan kondisi Ibu tidak makin menurun, jadi bukan menyembuhkan
karena ini ada unsur usia, tapi yang penting adalah Ibu bisa nyaman bergerak
dan kondisinya tidak makin buruk”.
Saya seperti disadarkan bahwa ini jangan-jangan adalah cara
Tuhan membuat saya ikhlas jika satu saat nanti beliau dipanggilNya untuk
pulang. Jika dulu Papa dipanggil tiba-tiba dan perjalanan mengikhlaskan itu
saya jalani dengan tertatih-tatih, sekarang, rasanya saya justru sedang
dituntun pelan-pelan untuk bisa melepas dengan legowo satu hari nanti.
Saya tidak tega melihat Mama kesakitan hampir setiap kali
beliau berjalan. Saya tidak tega melihat beliau harus menghentikan beberapa
rutinitasnya karena gerakannya yang makin terbatas. Sepaham-pahamnya saya
dengan apa yang dinyatakan dokter, saya juga tahu apa yang tersirat dari situ,
bahwa semua ini harus diterima sebagai bagian dari perjalanan menua, meluruh,
menyerah.
Dan semua ketidaktegaan itu akhirnya bermuara pada satu hal: saya
tahu bahwa kepulangan yang terakhir akan melepaskan beliau dari semua penderitaan
itu, dan karenanya, saya ikhlas melepas beliau, kapanpun.
Dan jujur saja, menyadari itu, melegakan buat saya. Paling tidak,
saya tahu bahwa saya tidak lagi harus melewati jalan panjang kesedihan dan
beratnya hati mengikhlaskan ketiadaan. Atau yah paling tidak, saya tahu bahwa
perjalanan itu sepertinya tidak akan seberat apa yang harus saya jalani saat
kehilangan itu terjadi dengan mendadak tanpa ada tanda apapun.
Tidak akan pernah mudah untuk menerima dan menghadapi ketiadaan.
Tapi paling tidak, sekarang saya lebih punya ruang untuk menerimanya dengan
legowo.
Dan untuk itu, saya bersyukur. Bersyukur pernah mengalami keduanya: ketiadaan yang dengan terpaksa saya harus terima tanpa daya, dan merasa 'disiapkan' untuk menerima ketiadaan itu kelak.