Waktu saya sudah 30 tahun dan belum juga ada tanda-tanda
akan menikah, punya pacarpun nggak, ibu saya sempat gelisah. Tapi dari awal
saya sudah bilang pada beliau tolong jangan ngenalin saya pada anak temannya
yang manapun karena saya nggak mau diatur-atur, dan saya nggak mau nanti
ngerasa nggak enak cuma gara-gara nolak anak temannya kalau nggak cocok.
Karena anaknya yang ini emang bengil, ibu saya cari jurus
lain. Beliau minta nasehat pada salah satu ustadnya, dan hasilnya memberikan
saya sehelai kertas yang isinya sederet amalan untuk dilakukan setelah sholat,
yang katanya dapat memperlancar datangnya jodoh.
Saya baca kertas itu. Dengan kerutan di kening. Semuanya
serba 1000. Baca ini 1000, itu 1000 dan seterusnya.
Saya nggak punya masalah dengan angkanya. Saya nggak punya
masalah dengan berapa lama saya harus lakukan itu setiap habis sholat. Yang saya pertanyakan: kenapa harus 1000?. Kalau
100 aja emang nggak dateng tu jodoh?. Kalau saya korting apa yang terjadi?,
jadi terhambatkah?.
Atau: kalau saya nggak amalkan apa iya Tuhan segitu judesnya
lalu menghambat jodoh saya?. Padahal Dia sudah berjanji bahwa rejeki, jodoh,
hidup dan mati adalah 4 perkara yang menjadi kuasaNya dan akan Dia berikan pada
saat yang tepat. Lha kalau saya udah berbusa lakukan semuanya 1000 tapi belum
waktunya, yo opo karepe?. Mau bilang apa saya?.
Akhirnya karena saya tetap tidak yakin dengan angka 1000
itu, tapi rasanya wirid itu kok bagus sekali, saya tetap lakukan tapi dengan
jumlah semau saya. Kadang bahkan saya nggak hitung. Kalau capek dengan ucapan
yang satu saya pindah ke ucapan yang lain, seenak hati saya. Lha ya saya yakin
kok Tuhan nggak peduli dengan jumlahnya, tapi apakah saat melakukannya hati
saya terhubung dengan Dia, rasanya itu yang lebih penting. Yaaa kayak orang
PDKT ajalah. Mau diajak ngobrol berapa lama juga, kalau nggak nyambung ya udah,
nggak nyambung aja. Itu logika saya.
Dan saya juga melakukannya bukan dengan tujuan melancarkan
jodoh. Yaelah ye, udah 30 tahun sendirian, ya udahlah yaw. Kalau ada jodoh saya
di luar sana alhamdulillah. Tapi kalau kata Tuhan saya lebih baik berjalan
sendiri, ya mau bilang apa saya?. Saya melakukan amalan itu untuk menguatkan
hati dan batin saya aja, biar nggak karatan, diisi dengan yang baik-baik kan
nggak ada salahnya.
Dan saat akhirnya saya menikah, saya nggak pernah mikir itu
gara-gara saya melakukan amalan itu. Ya mungkin karena Tuhan sudah memutuskan
saya sudah cukup pantas jadi istri saat itu lalu dipertemukanlah saya dengan
seorang lelaki yang mampu bikin hati saya yakin. As simple as that.
--
Waktu bergulir tapi hati saya tetap terusik dengan urusan jumlah
angka dan amalan. Kenapa harus ada sekian puluh atau ratus atau ribu kali?. Siapa
yang menentukan harus segitu?. Kalau berdasarkan sejarah, apa konteksnya saat
itu?. Begitu terus.
Akhirnya saya menemukan jawabannya yang jujur sekarang saya
lupa apakah itu saya bertanya pada seseorang atau karena baca sebuah buku. Tapi
intinya begini.
Setiap ibadah dan amalan itu bisa jadi kita lakukan pada
saat hati belum pada saat yang tepat. Misalnya, sudah waktunya sholat dzuhur
tapi report belum kelar. Sholatnya buru-buru deh supaya bisa balik ke laptop,
yang penting kewajiban kelar (ehem....ini, gue banget deh kadang-kadang. Maaf ya
Allah...).
Atau kita wirid, mengucap setiap kalimat suci, tapi hati entah ada
dimana. Padahal, itu tadi: tujuan ibadah dan setiap amalan itu kan untuk
menetapkan hati kita pada Dia. Membentuk koneksi yang sukur-sukur abadi. Memperkuat
iman. Memperkuat batin. Meyakinkan diri bahwa hanya Dia tempat kita bisa
bergantung dan berharap.
Jadi kenapa ada angka, ada hitungan untuk amalan-amalan itu?.
Jawaban yang saya temukan dan buat saya masuk akal, adalah jangan-jangan di
awal-awal, hati kita belum ‘konek’. Ibaratnya sinyal hape sebuah provider yang
tidak akan saya sebutkan namanya disini daripada kena UU ITE, kekuatan
sinyalnya kalau di daerah pinggiran minta ampun bikin gemesnya saking ‘kuat’nya
atau malah ngilang. Makin menuju ke kota besar, makin nambah garis sinyal, kuat dan stabil.
Begitu juga dengan amalan itu. Makin banyak kita
menyebutkan, maka mudah-mudahan hatipun makin terbawa, makin kuat kita
merasakan kehadiran Sang Pencipta dalam hati, dimana Dia selalu bersemayam tapi
kadang-kadang kita kelewat ndablek untuk mampir dan menyadarinya.
Akhirnya buat saya itu cukup masuk akal. Tapi tetap saja
sih, sampai sekarang saya tidak menemukan jawaban kenapa ada angka tertentu. Mungkin
memang ada dalilnya, saya jujur tidak terlalu tertarik juga untuk tahu karena
sekali lagi nggak penting jumlahnya, yang penting adalah koneksi hati saat
melakukannya.
--
Setelah itu terjawab, lalu ada satu pertanyaan lagi yang terpicu
gara-gara banyak sekali mondar mandir di media sosial akhir-akhir ini: kenapa
harus ada unsur hasil atau pahala dari amalan. Misalnya: kalau menyebutkan x
sebanyak 100 kali, y – 100 kali, z – 100 kali, maka rejeki akan lancar. Atau ya
contoh amalan perlancar jodoh itulah. Ngarep, kalau mau pakai kata yang
kekinian.
Dulu, waktu saya masih kecil dan belum sotoy, saya nggak
mikirin. Ya seneng aja dong, lha ya kalau saya lakukan dapat imbalan kan
katanya, siapa yang nggak seneng.
Tapi lama kelamaan, seiring dengan peningkatan kesotoyan dan
jumlah uban, saya mulai bertanya-tanya. Kenapa sih ibadah dan amalan
diperlakukan seperti kita memperlakukan matematika, 100x + 100y + 100z = rejeki
lancar maneh kayak jalan tol (eh padahal jalan tol aja macet...).
Itu malah bikin saya takut. Saya takut, lama-lama kita lupa
pada esensi bahwa setiap ucapan yang telah diciptakan dengan begitu indahnya
oleh Sang Pencipta adalah untuk memujaNya, menguatkan cinta kita padaNya. Period.
Urusan nanti mau dapat apa, lha sapa yang tahu?. Itu kan
urusan Dia. Dia mau kasih atau tidak, murni hak Tuhan yang tidak
bisa diatur-atur oleh siapapun. Apa lah kita ini, yang bisa dengan semena-mena
(maaf, menurut logika saya yang suka ngawur dan pendek ini ada sedikit unsur semena-mena
dalam urusan ngarep ini), ngatur dan nuntut Dia bahwa:
saya sudah lakukan ini anu itu sekian puluh/ratus/ribu kali jadi saya pantas
dapat imbalan.
Lha saya juga takut nanti malah terjadi penggugatan terhadap
Tuhan: gila nih, gue udah lakukan 100x + 100y + 100z tapi mana imbalan gue,
manaaaaa....manaaaa...kapan gue terima imbalan gue?!... (macam anak kecil
ngambek).
--
Mungkin saya yang terlalu sotoy, tapi kok rasanya kalau mau
wirid, ya wirid ajalah. Kalau mau melakukan sebuah ibadah, ya lakukan aja. Kalau
mau berbuat baik, ya berbuat baik aja. Do good for goodness sake. Kan berbuat
baik atau wiridan atau melakukan apapun amalan itu kan membuat hati kita nyaman
dan tenang kan?. Apa itu saja tidak cukup?. Kenapa harus ‘membebani’ Tuhan
dengan harapan kita dapat sesuatu dari melakukan itu semua?. Tuhan kan juga
bukan guru matematika yang harus ngecek apakah hitungan kita sudah benar atau
belum.
Nggak lagi sok alim sih saya, lha emang nggak alim sih. Saya
juga nulis ya nulis aja, nggak pake buka Quran atau dalil apapun (terus ntar
diomelin ahlinya...hehehe...ya wes, nasib kalau itu terjadi). Tapi sudah lama
sekali saya ingin menggugat urusan jumlah dan harapan imbalan atau pahala dalam
beribadah atau melakukan amalan apapun.
Kasihanilah diri sendiri dengan tidak berharap imbalan dalam
berhubungan dengan Tuhan selain untuk mendekatkan diri padaNya.
Dan jika kita yakin
Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mari kita persembahkan setiap ibadah dan amalan
hanya buat memperkuat batin. Dengan rajin menyebut namaNya dan memuji-mujaNya, semoga
hati kita akan selalu terhubung padaNya. Urusan nanti itu akan memberikan hasil
apa, ya serahkan dan percayakan saja pada Dia. Just do, and forget about what the
outcome will be.
Selamat menunaikan ibadah Ramadan. Semoga kita berhenti berhitung
saat beribadah, karena berhitung itu hanya perlu saat berhubungan dengan uang. Semoga
di bulan penuh rahmat ini kita bisa semakin belajar untuk nggak sekedar mengejar pahala, tapi membangun
kekuatan batin, yang jauh lebih penting artinya untuk menghadapi hidup yang
makin ribet ini.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment