Seminggu lagi, kita bakal merayakan kemerdekaan Indonesia yang
ke-73.
Tadi pagi, sambil duduk di toilet, tempat yang paling sering menimbulkan inspirasi, tiba-tiba saya terhenyak sendiri. Merdeka. Apa sih artinya. Apa
iya, ada, merdeka yang sebenarnya.
Kalau melirik kamus besar Bahasa Indonesia (yang online
tentunya lah. Saya nggak punya tuh kamusnya dalam bentuk fisik. Sad actually),
merdeka itu artinya: 1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan
sebagainya); berdiri sendiri; 2 tidak
terkena atau lepas dari tuntutan; 3 tidak
terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.
Coba deh. Kalau yang diambil adalah makna kedua, mungkin
benar. Kecuali kalau anda sedang menghadapi pengadilan atau malah sedang dipenjara
karena kejahatan, ya bebas merdeka.
Tapi makna pertama – saya sering bertanya: emang bener kita
udah nggak dijajah?. Bener kita tidak lagi menghamba?. Really?. Yang ketiga
juga: apa iya kita tidak terikat? – nggak usah mikir ikatan perkawinan dan
semacamnya karena bukan itu yang saya pertanyakan sambil nongkrong tadi pagi
itu. Tapi merdeka sebagai warga negara Indonesia yang akan merayakan
kemerdekaan minggu depan ini.
Kenyataannya, saya kok merasa kita ini makin lama makin
menjajah satu sama lain. Kita makin menuntut ini itu kepada pihak lain. Dan sedihnya,
semua bermuara pada sebuah so-called penghambaan: menghamba pada Yang Maha Esa. Bela agama. Atau apapunlah bungkusnya you name it.
Sejak beberapa tahun lalu dan meruncing saat Pilkada
Jakarta, saya merasa ini bukan lagi Indonesia yang saya kenal sebagai anak
sekolah yang dulu tiap 17 Agustus harus ke sekolah untuk upacara. Saat sekolah
Islampun tidak semua guru perempuannya mengenakan jilbab yang tertutup rapat. Saat
tidak ada keharusan siswi yang muslim di SMP dan SMA mengenakan jilbab. Saat
tidak ada penceramah (saya sekarang sudah tidak mau lagi bilang ustad…terlalu
banyak kengawuran yang dilakukan atas nama itu), yang koar-koar politik dan
disebarkan oleh loudspeaker berdesibel asoy. Saat orang mau bilang Insya Allah
kek, Insha Allah kek, apapun, tidak masalah. Saat orang bisa dengan bebas
bilang selamat natal, selamat waisak, selamat galungan tanpa diceramahi lewat
WA bahwa itu tidak boleh. Saat selamat ulang tahun ya selamat ulang tahun.
Dan berlanjut saat pilkada berlangsung di beberapa daerah. Saya
kebetulan sempat ke luar kota saat masih banyak baliho para calon bertebaran. Satu
yang saya catat setiap kali saya ke daerah dan lihat semua baliho dan spanduk:
kenapa tiba-tiba banyak sekali peci dan jilbab bertebaran?. Lengkap dengan
ucapan-ucapan islami.
Saya juga sempat ngobrol dengan beberapa orang saat ke
daerah (dasar memang susah buat saya buat nahan mulut…kepo maksimal ini sulit
dibendung). Saya sempat nanya gimana sentimen di daerah itu. Ada beberapa jawaban
yang bikin saya kaget tapi yang paling bikin sedih adalah ini, “Di Jakarta yang orangnya banyak berpendidikan
aja orang masih harus diyakini dengan agama mbak, gimana di daerah”. Glek. Makjleb.
Dan karena saya nggak punya TV, saya nggak nonton segala
acara debat selama pilkada daerah. Jadi waktu saya ketemu dengan salah seorang
teman yang misuh-misuh sebal karena isi debat, “Udah kayak dengerin pengajian aja tau gak loe. Enek gue. Bukan jelasin
program malah jualan kata-kata islami gitu lho bok. Malesin banget nggak sih”,
saya cuma bisa manggut-manggut. Untung saya masih nggak punya TV. What a
nuisance. What a waste of time and energy.
And I was naïve to think that it would not be like that. Damn.
I was totally wrong. Karena sejarah telah menuliskan banyak sekali lho
non-muslim yang berjasa pake banget untuk tanah yang kita injak ini. Jakartapun,
pernah lho punya gubernur non-muslim dan keturunan Tionghoa. Oh tapi apalah sejarah.
Kita ini memang mudah lupa…padahal penduduk negeri ini nggak semuanya lansia...
Anyway terus apa hubungannya dengan kemerdekaan. Wah buat
saya kok ya banyak ya.
Kita ini makin membuat makna kata merdeka itu jadi makin
semu, sebuah bayangan, ide, yang indah tapi kenyataannya makin lama makin
pudar.
Merdeka, tapi kok maksain kehendak. Supaya seragam. Atas nama
sebuah penghambaan pada Tuhan.
Oh ya nggak ada salahnya lah menghamba pada Yang Kuasa. Saya
masih percaya kok bahwa bersandar padaNya adalah pilihan yang terbaik (karena
bersandar pada tembok kalau gempa bisa roboh….ealah…abaikan…). Cuma yaaa….Dia
saja tidak mengharuskan kita semua ini seragam lhoooo, lha kita kok ya maksaaaa
aja kerjanya. Dan lalu, membuat banyak orang merasa tidak merdeka. Membuat mereka
yang tidak mayoritas merasa makin kerdil dan terkerdilkan. Apa sih maunya kita
ini?.
Dan walaupun ada rasa lega dengan pengumuman capres dan
cawapres semalam, karena saya paling tidak bisa berharap isu agama nggak akan
lagi dijadikan bahan gorengan, tapi jujur ada kesedihan. Gaya untuk berjuang
masih harus gitu rupanya ya. Teteup harus mengusung unsur ke-Islaman (sampai
yang nggak menggandeng ulama pun merasa perlu bilang bahwa si anu itu adalah juga
santri. Hadeuh. Demi apaaa??!!!).
Menyedihkan sekali lho kalau dipikir-pikir. Saya malah jadi
makin merasa kita tidak merdeka buat meluaskan pikiran. Dan saya takut, takut
sekali, satu saat, kita lupa bahwa harusnya kita ini mengusung keragaman dan
bangga karenanya..
But I may be wrong. Ini masih awal. Siapa tau kelak ada
perubahan. Entah kapan (yah walaupun nggak cuma tentang pemilihan ya. Isu vaksin
haram karena ada kandungan darah yahudi dan sebagainya saja bikin saya bengong.
Udah tahun 2018 woooyyy….nalar kemana nalaaarrr).
Yang pasti memang mungkin kita masih harus hidup dalam
kemerdekaan yang semu karena ada bayangan besar yang menyelimuti negeri ini. Saya
jujur merasa ada dementor yang mengungkung negeri ini (itu lhooo roh jahat yang
di Harry Potter). Mungkin kita memang satu saat butuh Harry Potter, atau Batman,
atau Avengers, buat ngusir para dementor dan apapun monster yang sedang berusaha
meracuni kemerdekaan kita sebagai orang Indonesia yang beragam ini.
Dan semoga yang dateng selain memang punya keahlian yang
mumpuni buat ngusir dementor, juga ganteng-ganteng #halah #gakpenting #daripadaapatis
No comments:
Post a Comment