Setahun lalu, saya terlibat dalam sebuah studi yang buat
saya sih menarik banget karena menggali salah satu permasalahan akar rumput. Studi
itu membawa saya ke beberapa pelosok di timur Indonesia.
Hasil studi itu lalu dibawa ke sebuah kementrian negara.
Beberapa hari ke depan, sebuah workshop akan dilakukan untuk
menindaklanjuti hasil studi itu (ho’oh….setelah setahun….sudah, jangan banyak
tanya kenapa butuh waktu selama itu).
Sebagai bagian dari tim yang harus ikut memastikan hasilnya
baik (dan baru minggu lalu saya diberi tahu kalau saya harus ikut terlibat dan
bukan hanya sebagai presenter hasil studi), saya harus ikut rapat persiapan.
Rapat dilakukan kemarin, dan tadi pagi.
Setelah selesai rapat tadi, sebelum bubar ya ngobrol dulu
lah dengan beberapa orang.
“Ini ada anggota DPR yang tertarik tahu lebih jauh tentang
program kita nih mbak”, kata seseorang. Klien saya, “Wah bagus dong. Disuruh ke
daerah yang paling bermasalah aja”, sambil menyebutkan daerah X di timur.
“Wah harus dilihat dulu tuh, itu Dapilnya bukan ya”, kata si
mbak itu lagi.
Saya sambil mengerenyitkan kening, “Kenapa harus ada urusan
dapil mbak?”. Klien saya lebih langsung lagi, “Wah sialan. Jadi masih ada
agenda tersembunyi?”.
“Lhooo ya itu harus terkait lah mbak. Mana mau dia ke daerah
yang bukan dapilnya”.
Saya penasaran, “Terus biaya dia kesana, siapa yang nanggung?”.
“Ya kita lah mbak”. “Hah?, kok enak?, bukannya mereka punya dana buat semua
yang berurusan sama dapilnya?”. Si mbak ketawa, “Ah mana mau rugi mereka mbak”.
Klien saya, “Wah sialan banget ya. Itu kan program kita yang
bikin, kita yang minta dananya, terus nanti dia yang bisa ngaku-ngaku kalau itu
jasanya ya ke calon pemilihnya. Kurang ajar”.
Saya cuma bisa mengutuk dalam hati, dari seribu juta topan
badai sampai semua yang lebih kasar dari yang pernah keluar dari mulut Kapten
Haddock (untung sedang nggak puasa….).
--
Mungkin terus ada yang bilang gini begitu baca cerita saya
di atas, “Yah loe kayak nggak tahu aja”.
Problemnya, bukan karena saya tidak tahu. Saya termasuk
salah satu dari sekian banyak orang yang apatis terhadap DPR sebagai sebuah
institusi perwakilan rakyat. Tapi, sejujurnya saya juga masih ingin punya setitik,
setitiiiiikkkk saja, nggak perlu besar-besar, harapan bahwa masih ada yang
punya niat baik demi rakyat.
Tapi kok ya sepertinya salah ya punya harapan seperti itu.
Cerita tadi pagi itu bikin saya bertanya: katanya kan memang
lebih baik tidak berharap pada manusia karena manusia sering mengecewakan. Tapi
lalu katanya juga, kita nggak boleh putus asa, putus harapan karena masih
selalu ada kemungkinan ada secercah kebaikan di tengah keburukan.
Lalu, gimana dengan cerita itu ya…
Saya masih merasakan darah saya masih mendidih bahkan saat
saya menulis semua ini. Saya juga ingin menangis. Menangis karena merasa bego. Merasa
bego karena masih punya harapan.
Tapi ya itu, balik lagi, katanya nggak boleh putus harapan.
Ah mbuh. Lingkaran setan yang mungkin memang cuma setan yang
paham gimana memutusnya. Berita baiknya mungkin saya belum cukup setan karena
sampai sekarang saya masih nggak paham gimana mutusnya.
Sudahlah. Saya makan siang saja, lagi.
Nah....kan.... Tapi, apa masih bisa saya berharap??... |
(R I R I)
No comments:
Post a Comment