Kemarin, hari yang bikin saya merasa seperti dapat rejeki
nomplok.
Banyak sekali teman-teman yang mengabarkan berita baik.
Anak-anak
yang diterima di sekolah-sekolah yang mereka inginkan. Masalah teman yang
lumayan berat akhirnya bisa selesai dengan baik. Ada yang sembuh dari sakitnya.
Ada yang ketemu dengan barang yang dia sayang sejak kecil.
Kemarin juga hari yang menyenangkan sih buat saya. Bisa berbuka
puasa bareng tim kerja yang selalu bikin saya membatin, “Alhamdulillah rasanya kadang
nggak cukup gue ucapin karena bisa ketemu dan kerja bareng orang-orang ini”.
Kami nggak punya kantor, tapi punya basecamp. Kemarin juga
kali pertama kami semua bisa mengunjungi basecamp yang baru. Bahagia rasanya
bisa makan bareng, ketawa bareng, dan berdoa bareng, di tempat baru yang semoga
kelak akan jadi tempat yang seru buat kami saling berbagi (kecuali berbagi duit
#eeeeh).
Tapi, terlepas dari kebahagiaan pribadi, yang lebih bikin
saya merasa dapat rejeki nomplok justru karena semua berita baik dari teman-teman.
Lho kok bisa?.
Nah itu. Kenapa ya kita sering sekali merasa dapat rejeki
kalau itu adalah hal baik yang menimpa diri sendiri. Kemarin baru saya tersadar
gara-gara perasaan ringan dan bahagia yang saya rasakan setelah baca atau
dengar banyak berita baik dari teman-teman saya: eh, this feeling, this light
and happy feeling, itu kan rejeki. Artinya, adalah juga rejeki saat kita bisa
merasa bahagia karena orang lain dapat rejeki.
Kelihatannya sepele ya?. Padahal, jangan-jangan itu bisa
membantu kita menjalani hari dengan lebih baik lho.
Kita pasti sudah kenal juga dengan ini: yang namanya rejeki
itu bukan selalu hal besar. Nggak perlu tunggu dapat gaji besar buat merasa
punya rejeki. Nggak perlu punya rumah baru, atau mobil baru. Hal-hal
sehari-hari yang kita bisa alamipun itu rejeki. Bisa melek di pagi hari, masih
bernafas, bisa mendengar, bisa merasakan sentuhan angin pagi di kulit, bisa
makan, itu semua kan rejeki.
Tapi namanya manusia ya. Hal-hal yang sehari-hari, yang
sudah sering kita jalani, itu kadang malah cenderung bikin kita nggak sensitif
lagi. We take those things for granted. Lalu mulailah kita suka merasa hidup
ini kok nggak asik. Kenapa gue begini, kenapa gue begitu. Kenapa nggak dapet
ini, nggak dapet itu. Lalu, kadang kita malah jadi iri kalau ada teman atau
orang lain yang bahagia karena dapat rejeki.
Lha padahal, ya, kalau kita bisa merasakan bahagia karena
kebahagiaan orang lain, itu rejekinya buat kita adalah hati jadi ringan. Kita juga
jadi bisa senyum atau bahkan ketawa. Dan ketawa atau senyum itu sehat. Otot yang
digerakkan banyak. Hormon yang dikeluarkan tubuh juga hormon-hormon baik. Yang mungkin
tadinya kita mau flu, bisa jadi batal karena perasaan bahagia itu. Wajah kita
jadi cerah. Gimana coba itu bukan rejeki?.
Jadi, mungkin kita harus belajar lagi buat meresapi dan
memahami arti rejeki. Di tengah masih saja marak berita yang kurang asik di
sekitar kita. Masih saja banyak tuh yang menyebarkan berita gak seru. Masih saja
banyak yang sukanya nyinyir. Mungkin kita harus mulai belajar buat mencari ada
berita baik apa ya di sekitar kita, lalu, tersenyumlah.
Rasakanlah rejeki orang
lain itu sebagai bentuk rejeki juga buat kita. Rasakan kebahagiaan itu,
kehangatan, di hati. Buang rasa iri. Buang jauh-jauh perasaan, “Why not me”,
kalau kebetulan itu adalah hal yang kita juga inginkan. Tapi hayati itu sebagai
juga rejeki buat kita karena kita juga jadi senang.
Daripada kita selalu merutuki hidup, merutuki segala
kejadian dan berita yang nggak asik, rasanya mungkin belajar melakukan itu akan
lebih baik, buat semua.
Gimana, bisa kan?.
(R I R I)