Salah satu aktivitas yang paling saya nikmati sehari-hari
adalah mengawasi anak saya ketika ia sudah atau masih lelap tertidur, kapanpun
itu: pagi, menjelang terbit mentari, saat bobok siang, atau malam hari. Hal sederhana, tapi memuat banyak makna buat
saya, yaitu hal-hal yang barangkali paling dasar, dan bisa jadi, paling penting
buat hidup: keintiman keluarga, perasaan damai, masa kanak-kanak yang tanpa
beban, yang mengingatkan saya pada masa kecil saya sendiri, yang -- walau serba
kekurangan, tapi – penuh kebahagiaan, sekaligus harapan akan masa depan. Ya,
karena anak-anak dalam asuhan, pada dasarnya adalah pesan dan harapan kita bagi
masa depan.
Sore itu, Jumat menjelang akhir pekan, seharusnya saya nongkrong
di salah satu mall di Jakarta, menemui teman-teman kuliah di Bandung dulu. Grup
whatsapp sudah ramai semenjak beberapa hari sebelumnya: kapan, dimana, jam
berapa. Kedengaran sangat asyik dan bersemangat. Tapi entah mengapa, tetiba
saya rindu pulang cepat, sampai di rumah cepat, dan membuang waktu cuma-cuma
bersama orang-orang rumah. Buat saya, sekedar merasakan kehadiran mereka di
sekitar, sembari masing-masing sibuk mengerjakan keasyikan sendiri-sendiri,
adalah kebahagiaan yang tercukupkan.
Saya memohon pamit lewat pesan pendek di gawai, bersambut
kekecewaan teman-teman. Tapi saya memang sedang punya kebutuhan lain. Kebutuhan
untuk menyambungkan diri pada apa yang sudah saya punyai – keluarga – yang selalu
terasa lepas, terasa sepintas-sepintas, selalu merucut dari genggaman, karena beban
sehari-hari dan kesibukan.
Sore itu, saya beruntung untuk sampai di pagar rumah
hanya dalam dua puluh menit dari kantor, tepat saat maghrib menyerah pada malam
gelap, berpapasan dengan mereka yang berduyun keluar dari masjid, usai menunaikan
sholat. Yes! Saya punya waktu panjang sebelum anak-anak tertidur.
Tapi saya mendapati rumah sangat lengang.
Tara, anak sulung saya, sedang tenggelam membaca novel,
menanti guru ngajinya di kamar bawah. Riri masih berkutat dengan laptopnya di
meja kerja di kamar utama kami, di lantai atas rumah. Dan Lila, bungsu kami
berusia lima tahun, terbaring bobok di kasur, di seberang meja kerja Riri,
semenjak menjelang petang, setelah seharian kecapean field trip dengan
teman-temannya.
Sadar diri kalau saya tidak bisa mengganggu aktivitas dua
yang lain, setelah bebersih saya memilih rebahan di sisi Lila, memandangi dia
yang bobok dengan damai. Melirik Riri yang masih serius menatap layar
laptopnya, tenggelam dalam deadline, saya meraup gawai, memasang earphone,
memilih lagu-lagu kesukaan saya untuk menemani sleep-watching saya. Satu dua lagu, tak lama saya tenggelam dalam
kedamaian saya sendiri, sembari menikmati salah satu pemandangan yang paling saya
sukai: wajah Lila saat tidur.
Lalu saya tertumbuk pada lagu ini, Inshallah. Lintasan
kesembilan, satu dari tiga litasan terbaik, dari album baru Sting, 57th
and 9th, yang dirilis November kemarin. Bercerita tentang perasaan
putus asa sekaligus harapan seorang ibu yang erat memeluk anaknya, melarikan
diri dari Syria yang porak-poranda oleh perang kepentingan yang mengatasnamakan
agama. Antara hidup dan mati, kapal pengungsian, didera oleh dahsyatnya
gelombang laut Mediterania yang memisahkan masa lalu yang luluh lantak dan masa
depan tanpa kepastian.
Sleeping child, on my shoulder,
Those around us, curse the sea.
Anxious mother turning fearful,
Who can blame her, blaming me?
Inshallah, Inshallah,
If it be your will, it shall come to pass.
Inshallah, Inshallah,
If it be your will…
Sea of worries, sea of fears,
In our country, only tears.
In our future there's no past,
If it be your will, it shall come to pass.
Inshallah, Inshallah,
If it be your will, it shall come to pass.
Inshallah, Inshallah,
If it be your will…
Meski sound Inshaallah sendiri terdengar demikan indah,
sementara di depan mata, saya terpapar oleh keindahan kecil yang lain, tetap
saja horror yang dialami oleh jutaan keluarga dan anak-anak Syria, membanjir memenuhi
kepala saya. Saya mengalami kontras momen yang mungkin paling aneh yang bisa
dirasakan pada saat bersamaan: saya merasakan surga – pada keindahan musik,
pada nafas teratur dan kedamaian di wajah Lila -- dan membayangkan neraka di
saat yang sama. Tentang Syria yang porak-poranda jiwa dan raganya.
Now, debat agama, debat politik tentang Syria mungkin
akan menghabiskan puluhan ribu halaman, saat ditulis. Tapi itu tidak penting
lagi. Apapun keyakinanmu, itu tak penting lagi. Semuanya telah terjadi. Untuk
kita yang tinggal di negeri damai ini, apa yang bisa kita pelajari? Apa yang bisa
kita hikmati? Bagaimana itu bisa dihindari?
Meresapi rasa damai pemberian Tuhan, atau salaam dalam
bahasa Arab, seketika saya sadar, di atas semua ideologi dan kepentingan, di atas
semua konsep tentang Tuhan dan kebenaran, tidak ada yang lebih berharga
ketimbang melihat damai di wajah anak yang tertidur tanpa beban, tanpa
ketakutan, tanpa rasa lapar, tanpa bunyi mesiu yang menggelegar. Tidak ada yang
lebih penting dari melihat damai dan keterpenuhan, untuk semua anak! Untuk
semua anak!.
(C I P)
No comments:
Post a Comment