Waktu tadi pagi saya nyalakan telpon genggam dan melihat di
beberapa grup WA seliweran berita duka tentang Prof. DR. Sarlito W. Sarwono,
atau yang kami di Fakultas Psikologi UI kenal akrab sebagai Mas Ito, saya
spontan menangis.
Padahal, kalau dibandingkan dengan beberapa teman-teman
lainnya, saya tidak pernah punya interaksi yang dekat dengan beliau. Saya hanya
pernah jadi mahasiswi yang duduk di setiap kelas yang beliau ajar, dan setiap
kali pula saya terinspirasi.
Ada banyak hal yang diam-diam saya pelajari dari Mas Ito.
Pertama: beliau adalah orang pertama yang membongkar
persepsi di kepala saya bahwa lulusan psikologi nanti ujungnya jadi psikoterapis
atau kerja di bidang kepegawaian atau HRD. Pandangan klasik itu terbongkar oleh
kuliah perdana Mas Ito yang saya sekarang sudah lupa di semester berapa, mata
kuliah apa. The mind forgets, but the heart remembers how it felt. Begitulah
kurang lebih.
Beliau membuka mata saya bahwa pada hakekatnya psikologi
adalah ilmu tentang perilaku manusia. Jadi, dimanapun ada manusia terlibat di
dalamnya, psikologi bisa diterapkan. Dan nggak perlu punya ijin praktek sebagai
psikolog untuk melakukannya.
Kedua: beliau mengenalkan filsafat dengan cara yang sangat
membumi. Beliau dan Prof. Fuad Hasan adalah dua orang yang mengubah bagaimana
saya memandang mata kuliah filsafat. Bukan lalu berarti saya jadi senang baca
buku filsafat, tapi mereka berdualah yang berhasil membuat saya tidak merasa
‘bego-bego banget’ saat harus berurusan dengan mata kuliah filsafat.
Ketiga: beliau membuat saya tertarik mengamati gejala
sosial.
Salah satu mata kuliah yang beliau ajar adalah Psikologi
Sosial (dan juga Psikologi Seksual – yah ini namanya saja udah bikin saya rajin
datang kuliah...dengan beliau sebagai pengajar, makin rajin lagi saya hadir
karena cara beliau ngajar selalu seru). Gara-gara beliau saya memutuskan
mengambil topik skripsi yang menurut saya akan punya relevansi yang jauh lebih
besar buat komunitas tertentu dan bukan cuma jadi sekedar syarat buat lulus.
Beliau menginspirasi saya buat menulis sebuah karya buat masyarakat, at least,
buat teman-teman saya di fakultas begitu saya lulus.
Beliau memang nggak jadi pembimbing skripsi saya, padahal
saya ngarep banget. Tapi bagaimanapun juga, ada banyak hal dari Mas Ito sebagai
salah satu tokoh Psikologi Sosial yang punya pengaruh besar buat saya saat saya
menyusun skripsi yang makan waktu setahun buat kelar itu.
Selepas kuliah, saya rajin menunggu tulisan-tulisan beliau
di media massa. Terutama saat ada kejadian-kejadian tertentu di masyarakat.
Tulisan beliau selalu bernas, diulas persis sama dengan cara beliau mengajar di
kelas – to the point, tanpa basa basi, tapi ‘nancep’.
Demikianlah peran seorang Mas Ito di hidup saya. Dan untuk
semua itu ada begitu banyak air mata yang saya keluarkan buat beliau sejak tadi
pagi.
--
Sejak semalam saat saya menerima kabar beliau koma, saya
sudah berniat: kalau ini adalah saat terakhir Mas Ito, maka saya harus datang
to pay my last respect. Saya harus berucap terima kasih, walau cuma dalam hati,
atas semua yang telah saya dapatkan dari
beliau.
Saya bilang Cip kalau saya akan melayat.
Sambil siap-siap, saya bilang dia, “Di umur kita ini, udah nunggu aja ya. Ortu siapa yang akan pergi. Guru
kita yang mana yang bakal pergi juga. Kadang-kadang tahu-tahu ada temen juga
yang pergi. Harusnya udah giliran kita ya ninggalin legacy...kita gimana
nih...ninggalin apa kita?”.
Cip, yang sudah sangat sering dengar saya melontarkan
keresahan semacam, cuma senyum dan bilang, “Ah
kamu...”.
Tapi bagaimanapun juga pikiran itu tetap menggantung di
benak saya. Lalu pergilah saya masih dengan pertanyaan itu di kepala, ke rumah
duka tadi pagi. Dan saya terhenyak.
Para tamu yang tak henti datang. Lalu kenangan-kenangan akan
beliau yang terus menerus mengalir, baik di dinding-dinding media sosial, di
grup WA, semua menyadarkan saya akan banyaknya hidup yang telah tersentuh oleh
beliau.
Lalu saya jadi merenung lagi sepulangnya dari melayat: have
I touched other people’s lives in a meaningful way that when I’m gone, people
can feel that my life was worth something?.
Atau jangan-jangan perasaan saya selama ini benar, bahwa
saya masih saja terlalu sibuk mengurusi diri sendiri, masih saja belum
memampukan diri untuk menyumbangkan waktu saya untuk orang lain, selain
tentunya untuk keluarga (bahkan untuk keluarga pun jangan-jangan masih kurang).
Sehingga kelak, jangan-jangan memang saya tidak meninggalkan jejak berarti bagi
kemanusiaan, paling tidak pada diri manusia-manusia yang pernah berinteraksi dengan
saya.
Atau jangan-jangan, saya malah membuat terlalu banyak orang
jadi sebal dan muak dengan kehadiran saya yang egois.
Bukan karena ingin dihormati saya jadi mikir kayak gitu. Tapi
saya percaya bahwa inti dari jadi manusia di bumi ini adalah menjadi sosok yang
punya manfaat buat manusia lainnya. Dan itu buat saya artinya manfaat buat manusia-manusia
di luar keluarga saya – karena bermanfaat buat keluarga ya sudah kewajiban
mutlak, tidak bisa ditawar. Tapi buat mereka di luar lingkaran keluarga, itu adalah kewajiban dalam arti yang lebih
luas: kewajiban kemanusiaan.
Buat apa saya hidup kalau cuma bisa menunaikan
kewajiban yang memang tidak bisa ditawar?.
--
Susah sekali menjawab pertanyaan itu. Sudah 10 tahun lebih
saya punya pertanyaan itu, dan setiap mau tutup tahun saya selalu bertanya pada
diri sendiri, “OK, loe udah melakukan apa
tahun ini, udah menyentuh hidup orang lain dengan cara apa, yang bikin hidup loe bermanfaat buat orang lain selain keluarga loe,
selain sedekah ya bok?”.
Dan selalu, saya tidak pernah bisa menjawab. Atau, jawabannya selalu, “Belum
cyiiiinn....udah ngapain gueee???....gak tauuukkk....”.
Dan hasilnya saya selalu tiba pada perasaan ngelangut yang
sama. Nelangsa karena masih merasa diri jalan di tempat.
Darn it. It’s gonna be 2017 soon. I will turn 46. 4 years to
50. What will I do with my life?, with those years that will disappear?.
Mungkin...mungkin...jawabnya ada pada bagaimana saya harus
menyikapi hidup. Mungkin. Atau mungkin as simple as jadi orang yang tidak
menyebalkan di media sosial, di tempat kerja, di rumah, saat ngumpul sama
teman.
Ah. Another excuse.
Terima kasih lho Mas, sampai Mas Ito pergipun tetap menginspirasi... |
(R I R I)
No comments:
Post a Comment