Sejak beberapa minggu lalu saya kesel kalau baca Facebook.
Yaaa mungkin harusnya nggak kesel ya, tapi saya kan manusia biasa, gimana dong.
Mau jadi malaikat sudah nggak mungkin.
Saat berita yang dibaca itu lagi, itu lagi. Dengan segala
analisanya. Oh dan tak kurang cercaan dari mereka yang merasa benar – baik itu
dari yang sebetulnya saya juga sependapat tapi merasa nggak perlu saya utarakan
di ranah sosial, sampai yang memang betul-betul bikin saya pengen toyor karena
penalaran masalah yang menurut saya nggak ‘lurus’.
Either way, semua berita dan cerita yang berakar pada si
penistaan agama itu saya yakin sudah bikin banyak orang cukup gerah.
Lalu tahu-tahu, dari belahan dunia yang lain, datang berita
yang mengejutkan. Trump jadi Presiden!.
Uwoooowww....what a shock!.
Muncul lagi segala analisa. Dari foto-foto seksinya the
First Lady, segala meme, sampai analisa yang serius tentang bagaimana caranya
mengenali kandidat dengan benar supaya bisa memilih dengan benar pula (dan
dalam hati saya: benar menurut siapa?. Cuma Tuhan yang tahu...).
Ah. Jujur nggak ada yang saya baca. Headlines-nya aja,
cukup. Karena, lihat isi timeline berubah saja saya sudah seneeng banget!.
Seminggu terakhir, ke-eneg-an saya pada isi timeline sudah
maksimal. Jadi yaaa berita-berita yang sekarang sedang seliweran paling tidak bikin
saya sedikit lega. Saya lega lihat teman-teman sebangsa, senegara, sebahasa,
berhenti berdebat!.
Debat berkepanjangan yang akarnya menurut saya adalah ini:
kita sepertinya kehilangan ruang dalam diri untuk memberikan maaf dan sadar
bahwa terus menerus mencoba membuktikan seseorang bersalah itu menghabiskan energi!.
Kita juga masih saja mudah terjebak pada yang kasat mata,
tanpa mencoba melihat yang tersirat yang jangan-jangan adalah masalah yang
lebih serius untuk dihadapi.
Kita kehilangan ruang juga kelihatannya untuk berpikir bahwa
ada banyak jalan menuju Tuhan - jangan-jangan lebih banyak dibanding jalan
menuju Roma. Dan bahwa bagaimana
seseorang memahami ayat-ayat suci adalah cara masing-masing individu mencari
jalan menuju Tuhan. Jadi kenapa harus maksa semua orang untuk ikut cara kita
berpikir karena menurut kita itu adalah cara terbaik menuju Tuhan?. That’s
non-sense.
Tapi saya nggak mau ngebahas itu berpanjang-panjang.
Yang saya lihat menarik dari kejadian berganti dengan
cepatnya isi timeline dalam hitungan jam, adalah kadang-kadang timeline itu jadi
mirip seperti tempat Lila, anak saya yang baru umur 5 tahun itu, main.
Kadang berantakan luar biasa. Dan penuh dengan macam-macam
mainan – dari buku gambar, Lego, bola, slime, topeng Batman-nya. Pokoknya
beraneka ragam. Warna warni. Berbagai bentuk. Berbagai ukuran mainan.
Adakalanya juga hanya ada satu atau dua mainan disitu. Ini
biasanya kalau dia memang sedang sangat suka dengan mainan itu. Entah Lego,
entah menggambar. Kadang juga cuma jubah dan topeng Batman-nya yang menurut dia
‘cool’ itu.
Nah timeline Facebook kadang seperti itu.
Kalau sedang tidak ada topik panas, sebetulnya saya nikmati
banget. Warna warni. Macam-macam topik. Macam-macam pendapat. Tidak linier.
Sama seperti kalau saya lihat tempat main Lila kalau sedang
berantakan dengan macam-macam mainan. Iya sih ada pusingnya, tapi saya juga
senang karena itu artinya dia sedang bereksplorasi. Dia sedang berimajinasi dan
belajar banyak hal.
Timeline Facebook yang isinya beragam buat saya menunjukkan
kita sedang belajar banyak banget. Sedang membuka diri pada begitu banyak hal.
Menikmati banyak sisi dalam hidup.
Keragaman isi membuat saya merasa kita sedang bergerak. Kita
tidak terpaku pada hal yang itu-itu lagi. Dan itu artinya ada kesempatan buat
kita untuk membuat hidup jadi lebih baik. Buat diri sendiri, dan juga buat
orang lain.
Tapi kalau isi timeline mulai seragam, berminggu-minggu
(bahkan pernah berbulan-bulan deh rasanya), itu biasanya membuat saya khawatir.
Kalau saya biasanya seneng lihat tempat main Lila berisi
satu atau dua mainan saja karena itu artinya lebih mudah minta dia beresin
mainannya, tidak demikian kalau saya lihat timeline Facebook jadi tidak
beragam.
It’s as if kita berhenti berevolusi. Kita terpaku pada hal
yang itu lagi, itu lagi. Kita tidak kemana-mana. Cuma sibuk meyakinkan
masing-masing pihak siapa yang benar siapa yang salah.
Dan, buat apa?. Hidup
kan tidak mungkin dibuat satu dimensi. Sejak kita lahir dunia ini sudah
multidimensi, jadi kenapa sekarang jadi ngotot-ngototan?.
Nah mungkin saya yang lebay meracau begini. Kan Facebook
cuma dunia maya?. Dan sama seperti Lila butuh tempat bermain, Facebook adalah
lahan bermain juga. Di dunia nyata nggak begitu.
Ya mungkin. Dan anyway....selalu ada tombol unfollow.
(Pssttt....di Facebook sudah ada iklan tentang another demo
tanggal 25 November...buka pendaftaran...).
Mari kerja lagi.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment