Saya kerja di industri riset pemasaran, alias marketing
research, yang bisa dibilang minim talenta dan peminat. Industri ini, walaupun
sekarang memang relatif lebih dikenal dibanding dulu waktu saya pertama kerja
di dalamnya, tetap saja belum jadi sebuah industri yang bisa menarik banyak
kandidat.
Jadi setiap kali saya harus cari talenta baru, lumayan besar
usaha yang harus dilakukan. Mau cari senior? – dijamin nama yang muncul ya 4L:
Lu Lagi Lu Lagi. Saking banyaknya orang-orang baru yang kurang mau bertahan di
industri ini. Dan ya akhirnya saya memang harus berusaha cari orang-orang baru,
bagaimanapun sulitnya, dilatih dengan benar, dan berdoa semoga shelf life-nya lebih dari 2 tahun.
Aamiin. Begitu terus.
Kesulitan merekrut bukan cuma baru sekarang saja saya alami, tapi
dari dulu. Ini problem mengakar di industri ini. Tapi ya alhamdulillah sekarang
tim saya lumayan lengkap, dan sedang baik-baik saja. Semoga baik-baik terus.
Tapi ada masanya, dulu saat saya masih kerja di korporat
maupun juga waktu saya sudah berdiri sendiri, saya mengalami agak putus asa
mencari kandidat baru. Nah, di masa-masa seperti itu, saya biasanya lalu sering
melakukan kesalahan atas nama ‘gelap mata’ dan ‘kepepet’.
Biasanya dimulai dari: tim sudah mulai merintih kekurangan
orang, usaha mencari kandidat sudah lama dan belum menghasilkan yang layak
rekrut, energi mulai terkuras karena pekerjaan dan kelelahan mengelola emosi
tim supaya tidak turun gara-gara kapasitas. Mulailah muncul pikiran, “Duh kalau
ada yang bagus udah deh rekrut aja dulu, dilatih and deal with it”.
Nah yang bikin gelap mata kalau keadaan sudah begitu
biasanya ya yang kasat mata. Latar belakang pendidikannya. Universitas negeri.
IPK 3 (atau lebih). Bahasa Inggrisnya bagus. Hasil tesnya OK. Hasil interview
not bad. Yuk mari kita jaring.
Saking ingin cepat dapat anggota tim, saya kadang lupa bahwa
rekrutmen itu lebih dari itu. Saya lupa ada yang namanya rekam jejak.
Padahal, bahkan saat merekrut pemula pun, rekam jejak itu
penting. Seperti apa dia waktu kuliah. Seperti apa kegiatan dia di luar kampus.
Bagaimana dia beradaptasi dengan berbagai perubahan dalam hidupnya.
Contoh-contoh kasus seperti apa yang bisa dia berikan untuk meyakinkan kami
bahwa dia akan cukup tangguh menghadapi tantangan kerja di industri yang bisa
bikin orang jungkir balik ini kalau kurang canggih membagi waktu dan pikiran.
Gara-gara mau buru-buru, ada kejadian-kejadian dimana kadang
saya mengabaikan yang tersirat. Karena biasanya saat wawancara sebetulnya saya
suka punya feeling. Ini orang ini
akan bermasalah disini, disitu dan sebagainya. Tapi kalau sedang kepepet,
biasanya saya abaikan itu. Ujungnya saat benar bermasalah saya biasanya cuma
bisa self-toyor.
Yang membayar siapa? – ya semua, satu tim. Dan kadang it can
be very costly – dalam hal energi dan waktu terutama.
--
Terus kenapa tahu-tahu saya ngomongin rekrutmen?.
Saya sebetulnya sedang mengobservasi semua kandidat Gubernur
itu waktu tiba-tiba saya kok teringat semua pengalaman buruk saya dengan
rekrutmen gelap mata.
Sebetulnya kan proses yang kita sedang lakukan sama saja:
kita sebagai rakyat akan merekrut seseorang yang akan mengelola uang pajak
kita, membuat kota ini jadi lebih baik dan lebih layak untuk hidup, dan kita
yang menggaji.
Pertanyaannya: kita ini cukup tahukah kompetensi macam apa
yang harus dimiliki oleh seorang Gubernur?. Dan cukup tahukah kita pekerjaan
dan tantangan macam apa yang harus dia penuhi kelak demi membuat kita-kita yang
membayar gajinya ini senang dan ndak malah ngedumel?. Cukup terbukakah mata
kita – mata yang di kepala dan mata hati, untuk bisa menilai dengan cukup
netral kompetensi dan juga rekam jejak setiap kandidat itu?. Cukup punya
aspirasi yang jernihkah kita tentang Jakarta harus jadi kota seperti apa?. Aspirasi
yang masuk akal dan realistis lho ya, dengan jumlah penduduk yang minta ampun
banyaknya dan tingkat ekonomi yang berjarak sedemikian rupa dari si miskin
hingga si kaya.
Dan cukup jernihkah hati kita untuk bisa memilah antara
KEPENTINGAN, dan KEBUTUHAN. Kepentingan, selalu berdiri atas nama uang. Dan
saat uang berbicara, rasanya ada banyak hal yang bisa jadi kabur
sekabur-kaburnya.
Sama saja dengan memilih kandidat untuk perusahaan. Merekrut
seseorang yang masuk kriteria untuk kejar target misalnya – itu kepentingan
banget menurut saya. Padahal jangan-jangan betul bahwa orang tersebut bisa ‘memecut’
timnya sehingga target tercapai, tapi dengan korban berjatuhan dimana-mana dengan
beragam alasan dari kelelahan emosional sampai ada yang memilih untuk keluar.
Sounds familiar? – oh come on...hal ini terjadi berulang kali di korporat. Let’s
not hide.
Sementara, kebutuhan berdiri atas kepentingan orang banyak.
Kalau di perusahaan, ada kepentingan tim, dengan menimbang juga anggota tim
yang lain, budaya perusahaan dan sebagainya. Selain tentunya kebutuhan
perusahaan untuk berkembang dan menghasilkan keuntungan. Mempertimbangkan kebutuhan adalah
bicara dengan otak dan hati yang seimbang.
Bicara tentang Jakarta, cukup tahukah kita mana yang jadi
kepentingan, dan mana yang kebutuhan – termasuk kebutuhan kita sebagai warga
kota. Kepentingan untuk berdamai dengan para anggota dewan sehingga semua
kantong terisi sama rata, atau kebutuhan kita untuk melihat bahwa dana dikelola
dengan bersih dan bermanfaat?. Kepentingan untuk jadi orang nomor satu saja,
atau kebutuhan kita akan sosok yang bisa jadi pemimpin yang bisa kita banggakan
hasil kerja dan kemampuannya yang mumpuni?.
Mengobservasi apa yang terjadi sekarang ini, terlebih setelah
tadi pagi membaca berita tentang hasil polling tentang posisi dari ketiga
kandidat, saya sangat khawatir kita sedang gelap mata hanya gara-gara satu
kejadian. Saya sangat khawatir saat ada pernyataan yang maknanya kurang lebih
adalah keahlian dan kompetensi itu nomor dua yang penting dia BUKAN anu
(daripada kena UU ITE, saya sensor sajalah).
Hilang pula kesadaran kita untuk melihat rekam jejak mereka. Hilang pula kejernihan berpikir kita untuk menimbang dia sebagai a whole person dan bukan cuma programnya yang kedengarannya bombastis fantastis.
Jangan-jangan banyak orang lupa bahwa mereka ini akan digaji
oleh kita lho. Lha kalau lalu memilih orangnya tidak berdasarkan kompetensi
yang ajeg, milihnya hanya gara-gara emosi sesaat, artinya, kita rela dong uang
kita terbuang percuma?. Wah, saya mah udah kapok mengalami yang begitu. Sudah
terlalu banyak uang kita terbuang percuma oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang
(katanya) terhormat.
--
Semoga saja saya dan pikiran saya yang kadang kelewat naif
ini salah. Semoga saja di bulan Februari nanti kita bisa memilih dengan
kesadaran 100% bahwa ini adalah orang yang kita yakin bisa membuat kota ini
jadi kota yang lebih baik.
Dan yang lebih penting ini: bisa meneruskan segala yang baik
yang sudah dimulai dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Sudahlah, jangan
melulu punya pikiran buruk. Bagaimanapun juga, let’s admit dalam 2 tahun
terakhir ada banyak hal yang membaik di Jakarta.
Lalu juga semoga orang itu punya komitmen untuk tetap bersih
sehingga kita (eh salah, saya deh) tidak perlu ngedumel saat bayar pajak.
Aamiiin.
(R I R I)