Yang butuh cuti adalah mereka yang baru saja cuti.
Itu selalu berlaku di hidup saya kayaknya. Entah karena yang
namanya Murphy’s Law itu benar adanya, atau ya memang itu cuma cara hidup
menyeimbangkan keadaan: setelah senang tibalah susah, dan sebaliknya.
Tanpa bermaksud mengeluh, minggu lalu rasanya berat sekali
saya lewati. Padahal baru saja libur. Dan setelah Senin dan Selasa yang juga
nggak semudah yang saya kira, baru rasanya ada sedikit waktu buat napas dan
berhenti sejenak (ho’oh...padahal wiken rasanya baru kemarin...).
Dan mungkin saya memang ibu yang sedikit abnormal. Sudah ada
di rumah sejak jam 6, saya memang tidak segera cari anak-anak. Yang saya cari
adalah kamar dan ketenangan dan kesendirian. Saat sebentar dimana saya bisa
sekedar berbaring, memejamkan mata tidak untuk tidur, tapi untuk membiarkan
otak saya mengembara kemana-mana.
Pengembaraan otak saya sore tadi bermuara di satu topik: keadaan
‘biasa aja’, rata-rata, tidak istimewa tapi juga tidak gagal. Topik yang mengganggu
saya sejak tadi pagi.
Ini semua mungkin separonya gara-gara saya sedang baper.
Sudah September!. Bukan cuma itu, udah lewat tahun ke-5!. Dan saya merasa
yang saya lakukan sedang jalan di tempat. Perusahaan yang dibilang rugi ya
nggak (alhamdulillah), tapi mau dibilang berkembang ya nggak juga – dia jalan
di tempat.
Not a bad position to be, sih, saya akui. Masih bisa
menggaji 8 orang pegawai itu bagaimanapun juga sangat saya syukuri. Tapi
bagaimanapun juga, kadang saya nggak bisa menghindari pertanyaan klasik itu:
mau dibawa kemana lagi?.
--
Susah ya kadang-kadang tahu emang kita masih bisa stretch?.
Atau juga ini: emang kalau kita lebarkan lagi, kita paksa meluaskan diri, kita
sanggup?. Lalu apa konsekuensinya?.
Saya pernah kerja di perusahaan asing, dimana target selalu
dibawa naik-naik ke puncak gunung. Sampai kadang bikin saya bingung ini yang
bikin target memang sedang ingin naik gunung atau lagi hang over sehingga dia
kira dia burung yang bisa terbang tinggi, tinggi sekali.
Saya terbiasa dipertanyakan: kenapa cuma segini, apa lagi
yang bisa dilakukan; dan saya selalu merasa terpojok dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Saya selalu kembali pada pertanyaan yang sama: emang kenapa
dengan yang sekarang?, kan udah naik, walaupun nggak ke puncak gunung?. Menurut
loe orang-orang ini belum kerja sekeras yang loe mau?. Dan biasanya diskusi itu
akan berakhir dengan saya yang menyerah berargumen dan cuma bisa bilang: OK now
what do you want us to do?. Dan di akhir tahun saya mengirimkan surat cinta
yang gegap gempita tanpa sensor sebagai catatan akhir tahun pada bos saya. Cuma
buat memuaskan rasa kesal saya saja sih. Dan sedikit harapan saya di-PHK karena
terlalu kurang ajar. Tapi sayang saya nggak pernah seberuntung itu walaupun
sudah cari gara-gara.
Saya muak dengan keadaan itu setelah 4 tahun – setelah saya
merasa cukup sampai disini saya belajar untuk dipecut dan menahan ngilu karena
pecutan. Lalu memutuskan untuk keluar dari lingkaran setan itu.
--
Sekian tahun sesudahnya. Disinilah saya. Di persimpangan
itu: mau jadi yang ‘biasa aja’, atau mau dibawa lari lebih kencang lagi?.
Sejak kecil saya rasanya sudah selalu menargetkan diri untuk
jadi yang ‘biasa aja’.
Juara kelas nggak pernah. Juara perlombaan apapun nggak
pernah. Saya juara cuma waktu les nari Bali – beberapa kali jadi murid terbaik
di tingkatan tari tertentu. Tapi itu juga saya nggak pernah anggap luar biasa –
karena saya suka jadi buat saya lumrah saja saya jadi yang terbaik lha wong
emang saya suka banget kok. Ajaran almarhum Papa adalah itu: kalau kamu suka
buktikan dengan memberikan hasil yang baik.
Tapi sampai sekarang rasanya saya memang nggak pernah niat
sampai jungkir balik untuk jadi yang terbaik atau untuk jadi ‘yang tidak
biasa-biasa aja’. Semua saya biarkan mengalir. Dan, I never had any problem
with that.
Until now.
Mungkin ini juga pertanyaan klasik para wirausaha: mau
digedein, atau segini aja?. Kalau digedein, mau segede apa?. Kalau mau dibawa
lari, mau seistimewa apa?. Dalam industri dimana the impossible triangle (murah,
cepat dan bagus – go figure...) masih sering digunakan untuk membeli jasa, mau
gimana supaya tidak bisa dipaksa mengikuti segitiga peyot itu?.
Pening kepala saya mikirinnya. Dan tetap saja saya nggak
tahu jawabannya apa.
Kalau mau jujur kadang-kadang ada keinginan untuk
satu waktu saya berhenti melakukan ini (terus yang baca dan kenal saya panas
dingin nggak ya....hahahaha...). Cuma lalu ada pertanyaan lain: terus mau
ngapain?. Nulis buku cerita anak – ide yang bagus, tapi masalahnya saya juga
nggak kreatif-kreatif banget. Jadi travel agent? – ah terlalu pusing ngurusin
orang.
--
Aaaand as a consolation to myself, saya mengakhiri
pengembaraan otak saya tadi dengan ini: apa sih yang tidak biasa saat di atas
langit masih ada langit, di atas yang bagus masih ada yang lebih bagus?. Mau
dikejar sampai mana?. Kan sekarang walaupun biasa aja tapi loe baik-baik aja.
You still have a life. You can still enjoy your other hobbies. You can still
enjoy being a mother of two. Jadi yaaa....it’s OK lah to be mediocre. Untuk
tidak jadi ‘sesuatu’, hanya salah satu dari sekian pemain.
Saya tahu banget mikir seperti itu artinya
minta dimarahin oleh salah satu rekanan bisnis saya: gilak...mikirnya kayak
gitu mah gak maju-maju.
Ah entahlah. Sekarang saya mau bilang it’s OK to be
mediocre. Cause without us, there are no stars :)
(jadi ceritanya saya minggir, supaya yang lain bisa jadi bintang...that sounds
to be a good excuse for now...supaya saya bisa tidur nyenyak malam ini).
#edisibapergalaudikuartalakhirtahunini
(R I R I)
No comments:
Post a Comment