Waktu saya kelas 2 SMP, saya baru tahu apa rasanya
kehilangan.
Ya sebelumnya sih saya pernah kehilangan nenek saya. Saya
baru kelas 2 atau 3 SD kalau nggak salah. Tapi walaupun saya dekat dengan
nenek, tapi mungkin karena saya waktu itu baru 7 tahun, saya nggak gitu paham
apa artinya kehilangan beliau.
Kehilangan berikutnya yang cukup bikin saya tertampar.
Teremas-remas. Dan baru itu saya ngerasain ada tempat yang kosong di hati yang
sampai sekarang nggak pernah terisi lagi karena saya nggak ingin ada yang ganti
mengisi tempat itu.
--
Suatu siang. Saya masih kelas 4 SD. Papa pulang kantor dan bilang,
“Ri, ada yang harus diambil tuh, di mobil”. Saya dengan girang lari ke mobil
beliau. 2 hari sebelumnya saya ulang tahun, jadi saya pikir tumben nih Papa
kasih saya kado.
Buka pintu mobil, celingak celinguk, nggak ketemu apa barang
yang harus saya ambil. Saya nggak lihat satu barangpun di kursi. Saya balik ke
dalam, “Apaan Pa, nggak ada apa-apa di mobil”. “Lihat di kolong kursi”.
Saya melongok susah payah. And there it was.
A very cute fur ball. Anak anjing. Mungil. Menggigil ketakutan.
Mendengkingpun tidak. Tapi saya tahu, saya sudah jatuh cinta.
Saya kasih dia nama Coki. Seperti nama pelukis serba bisa,
favorit saya di majalah Hai.
Menentang keinginan Mama, saya biarkan Coki tidur di kamar
saya dalam kardus. Awalnya, karena dia keturunan anjing pendek, dia gak berdaya
dimasukkan dalam kardus yang cukup besar. Tapi makin lama dia makin besar, dan
suatu malam, dia berhasil menumbangkan kardus dan berusaha naik ke tempat tidur
saya.
Saya diserahi tanggung jawab penuh pelihara Coki. Papa
ajarkan saya kasih vitaminnya, mandiin, nyisirin tiap minggu. Coki punya sabun
dan handuknya sendiri. Sisirnya sendiri.
Coki jadi anjing saya. Sebelumnya, semua anjing yang kami
pelihara adalah ‘anjing Papa’ atau ya anjing kami. Tapi Coki, anjingnya
Riri.
To cut a long story short, suatu hari, Coki sakit. Dokter
sudah bilang dia tidak bisa sembuh. Jadi satu-satunya jalan adalah membuat dia
nyaman.
Di suatu pagi, saya sudah nggak inget itu hari ke berapa
Coki sakit. Saya kasih dia obatnya, dan saya lihat matanya. Saya pamit mau ke
sekolah, tapi Coki mengais-ngais tangan saya dengan lemah sambil merintih. Saya
bilang nanti pulang sekolah saya temenin lagi. Tapi dia tetap merintih-rintih
sambil terus mengais-ngais tangan saya. Saya lalu minta ijin Papa dan Mama
supaya saya boleh nggak sekolah hari itu. Tapi nggak diijinin.
Pulang sekolah, itu adalah kali kesekian kami nggak punya
pembantu jadi saya bawa kunci pagar dan rumah, saya langsung lari ke belakang
tempat Coki tidur. Dan saya temukan dia sudah kaku.
Saya inget banget saya menjerit. Nangis. Lalu telpon Papa di
kantornya. Sambil nangis sesenggukan saya bilang, “Coki mati Pa”. Papa terdiam
lama sebelum akhirnya bilang, “Papa pulang”.
Lalu kami berdua menguburkan Coki. Lama saya duduk nangis di
kuburannya.
Setelahnya, saya berkabung. Dan setelahnya, saya tahu nggak
ada anjing yang bisa gantikan Coki.
--
Dari kejadian itu saya belajar tentang apa arti kehilangan
sesuatu untuk selamanya. Mungkin buat sebagian orang, itu nggak ada artinya
karena ‘cuma’ seekor anjing. Tapi buat saya, Coki lebih dari seekor anjing.
Terlebih lagi ini: dia adalah kado ulang tahun dari Papa...lelaki pertama dalam
hidup saya yang mengerti apa mau saya dan apa yang saya butuhkan. And till now,
that was probably one of the best birthday presents I’ve ever received.
Bertahun-tahun setelahnya, saya nggak nyangka bahwa orang
yang memberikan Coki, juga akan meninggalkan saya dengan cara yang sama: tanpa
pesan, hanya tanda kecil bahwa dia sedang mengingat saya sebelum dia pergi
selamanya. Dan, saat kami jauh dari masing-masing.
--
Saya masih inget 2 hari sebelum datangnya kiamat kecil itu
di hidup saya. Rabu, 19 Agustus 1998.
Papa telpon ke Melbourne. “Tumben”, batin saya. Biasanya
yang nelpon Mama – yang lebih jujur kalau dia kangen. Beliau bertanya
saya sedang apa. Saya bilang sedang ngerjain corporate finance yang bikin kepala
saya pening. Beliau bilang, “Lari aja keliling flat. Dulu kalau Papa pusing
ngerjain tugas, Papa lari keliling kampus”. Papa dan saya memang persis sama: olahraga
adalah penawar banyak hal buat kami.
Saya ketawa, “Dingiiin Paaa...bukannya seger malah sakiiiit”.
Papa cuma ketawa.
Have I known that would be the last of his laughter that I’d
ever listen to, I would have kept him
talking for hours.
Jumat, 21 Agustus 1998.
Sejak pagi saya gelisah hari itu. Melbourne
mendung, angin dingin, bikin bete dan males. Saya mutusin untuk main ke rumah
pacar (boleh dong punya pacar...hahaha. Ya sekarang mantan dwong. Dia tinggal di rumah dengan central heating - beda banget dengan flat saya yang dingin melulu karena kelewat miskin untuk selalu nyalain heater yang bikin tagihan listrik melejit).
Entah kenapa saya merasa harus membalas surat Papa yang
sudah saya cuekin seminggu. Akhirnya saya tulis surat itu, lalu pulang ke flat
untuk sekalian ambil buku karena kami akan ngerjain tugas di kampus.
And then it came, a phone call. A call that I never imagined
would happen.
Kakak saya tersendat bilang, “Ri, lo bisa pulang nggak?”.
Saya sambil ketawa bilang, “Lo gila?, gue kan lagi kuliah”. “Tapi lo harus
pulang Ri", diam sebentar, "Papa udah nggak ada”. Lalu dia nangis.
Saya nggak inget lagi apa yang terjadi sesudah saya tutup
telpon. Saya cuma inget flatmate saya keluar dari kamarnya (apa jangan-jangan
saya menjerit ya...nggak inget...), memeluk saya.
Selebihnya saya mati rasa. Tapi saya masih inget satu: Papa
harus dimakamkan tanpa menunggu saya.
Dengan tangan gemetar saya telpon ke rumah, minta bicara
dengan Mama, dan cuma minta tolong Papa dimakamkan segera, dengan taburan
sekeranjang melati di atas jenazahnya, teriring doa dari saya.
Dan...saya nggak tahu kenapa. Malam itu saya berusaha baca
surat Yaasiin buat beliau. Tapi semua huruf itu nggak ‘bicara’ pada saya. Saya cuma
bisa menatap nanar Al-Quran di tangan saya. Nggak terbaca satu hurufpun. Apa
itu ya yang namanya reaksi shock. Mbuh.
Saya baru bisa berangkat ke Jakarta jam 7 pagi esok harinya.
That night was a nightmare. A real one. Horor. Conjuring mah lewaaaattt.
Jam-jam di pesawat terasa seperti mimpi. Berkali-kali saya
cubit tangan saya, meyakinkan kalau ini beneran. Saya di pesawat, harus pulang,
untuk melihat pusara Papa. Surat yang saya akan kirimkan buat beliau, tersimpan
di tas. Surat terakhir, yang akhirnya ditanam di pusara beliau diiringi
tangisan yang tidak bisa saya hentikan begitu melihat pusara dengan tanah yang masih merah.
--
Saya nggak pernah nyangka ada luka yang nggak bisa sembuh. Lha
wong saya putus cinta aja lukanya cuma sebulan. Ini kok bertahun-tahun nggak
sembuh-sembuh..
Harusnya, saya belajar dari kehilangan Coki. Ternyata,
nggak. Sepertinya, buat sebuah luka yang tertinggal karena kehilangan untuk selamanya, tidak
ada kehilangan lain yang bisa menyiapkan batin kita.
Mungkin ada yang bilang kok kurang ajar banget nyamain
kehilangan anjing dengan kehilangan orang tua. Wah...kalau ada yang berpikir
demikian, anda belum tahu betapa kesetiaan dan kasih sayang seekor anjing bisa
menembus hati yang paling keras sekalipun. Bahwa punya seekor anjing yang
setia, sama rasanya dengan menerima unconditional love dari orang tua.
--
Saya nulis ini sebagiannya karena ingin berdamai dengan luka,
dan ingin memberi tahu pada semesta bahwa saya takut. Sampai detik ini, kehilangan
Coki dan Papa saat kami berjauhan, meninggalkan ketakutan yang dalam. Saya tidak
ingin lagi ada kejadian itu: ditinggal pergi saat terpisah jarak. Perihnya
terasa terlalu dalam, dan terlalu sakit.
Mungkin Tuhan memang menganggap saya cukup kuat untuk
menghadapi itu. Tapiiii...kan Tuhan juga tahu kalau saya sebetulnya cemen.
Jadiii yaaah...tulisan ini sebetulnya saya bikin untuk
berdamai dengan diri sendiri. Bahwa luka itu akan harus saya bawa seumur hidup,
walaupun dia akan selalu berdarah. Dan semoga dengan menuliskan ketakutan saya,
semesta akan bersepakat, bahwa tidak seharusnya saya menghadapi lagi luka yang
sama. Aamiiiin.
(R I R I)
Coki waktu baru 2 tahun. Selalu diajak kemana-mana. Nemenin saya ke banyak tempat |
No comments:
Post a Comment