Seumur hidup, saya nggak pernah punya target dalam kerjaan. Beneran.
Ajaran orang tua saya cuma: cari kerjaan yang kamu suka jadi kamu nggak
menderita walaupun harus lembur, jujur, dan kerja sebaik kamu bisa jangan mikir
dulu hasilnya gimana. Kalau rejeki kamu ada disitu, you’ll get what you
deserve.
Jadi, seperti kebanyakan hal dalam hidup saya, saya jalani
pekerjaan saya seperti air yang mengalir. Yang saya perjuangkan
waktu lulus kuliah terutama pesan orang tua yang pertama: cari yang kamu suka. Alhamdulillah,
jalan itu terbuka. Alhasil, sampai sekarang saya tetap di bidang yang sama yang
saya tahu saya bakal betah kerja disitu.
Tapi 11 tahun yang lalu, saya sempat goyah.
--
Saya mencintai pekerjaan saya sebagai consumer and market
researcher. Saya seneng kepo-in konsumen. Saya seneng kerja bareng klien
mengupas masalah pemasaran yang mereka hadapi. Dan 11 tahun lalu, saya juga
menikmati tempat kerja saya. Dan saya seneng banget kerja sama bos saya – saya belajar
banyak dari dia. Menurut saya, kami adalah tim yang kuat. Sampai tahu-tahu,
bos saya ini memutuskan untuk berhenti. Dan, mengajukan nama saya sebagai
penggantinya pada para petinggi di Singapura sana.
Saya cuma bisa melongo waktu dia menyampaikan hal itu pada
saya dengan muka lempengnya.
Saya masih ingat kejadiannya. Waktu itu saya masih cuti
melahirkan. Gendut. Bau susu. Berdaster. Bos saya menjenguk ke rumah. Kami duduk
di teras rumah saya. Dan jeng jeeeng...tahu-tahu seperti dikasih bom. Rasanya,
saat itu dunia saya gonjang ganjing. Gempa setempat.
Saya hampir berteriak pada dia waktu bilang, “Loe gila apa?,
gue bisa apa?, gue nggak mungkin gantiin elooo. Kalo loe resign, gue resign!”. Eh
dia malah ketawa. “Bisa lah. Loe kan udah di tim ini dari sejak awal, loe tahu
semuanya dari A sampai Z”. Waktu itu pengen saya cakar dia...
Malam itu, saya cerita pada Cip. Saya cerita kekhawatiran
saya.
Katakanlah para petinggi itu cukup nggak waras untuk percaya pada saya
untuk duduk di posisi kunci itu, emang saya bisa?. Plus, saya baru melahirkan. Kami
menunggu 2 tahun untuk punya Tara. 2 tahun yang panjang, dengan 6 bulan yang
menyebalkan untuk segala terapi dokter, sebelum akhirnya saya ngambek dan malah
tahu-tahu hamil.
Terus, apa jadinya kalau saya di posisi itu.
Bayangan saya, jadi GM lalu MD, kan nggak gampang. Ngurusin orang.
Ngurusin angka ngejar target jualan (OMG...this I was really frightened of). Belum
lagi tarik ulur dengan regional, global dan tetek bengek lainnya. Benang kusut.
Itu yang ada di kepala saya.
Nah terus gimana dengan ngurusin anak dong?. Belum apa-apa
saya sudah merasa bersalah pada Tara. Gimana benerannya. Saya takut sekali
pikiran saya tersita oleh pekerjaan benang kusut itu. Gimana Tara... Lha
kerjaan yang saya sudah pegang saja pasti sudah menyita waktu. Gimana kalau
harus ngerjain lebih dari itu...
Saya ceritakan semuanya pada Cip. Saya tanya, “Aku harus
gimana. Aku pengen keluar aja”.
Cip, dengerin semuanya dengan gayanya yang biasa: muka
lempeng tanpa ekspresi. Selesai saya cerita (yang padahal udah siap mau nangis
karena bingung banget), dia nanya, “Apa yang kamu takutin sih. Kan kamu nggak
sendirian Ri. Ngurusin Tara juga nggak sendirian, ada aku. Di kantor kamu punya
tim".
Saya diam. Namanya takut ya takut aja keleeeuuusss...biar
kata rame-rame juga.
Tapi ‘wejangan’ Cip berikutnya yang bikin saya berpikir
ulang.
Intinya: you have a daughter, make her proud to be your daughter
and TO BE A WOMAN. Show her that a woman can be on top even when she’s married
and just had a baby. Show her what a woman is made of. Show her that a woman
has strength. Ambil pekerjaan itu demi supaya anakmu bisa bilang satu hari
nanti: bundaku bisa lho, jadi aku juga harus bisa. Bikin dia bangga – akan dirinya,
dan akan bundanya. Dan: ajari dia untuk jadi perempuan yang kuat, seperti bunda.
Dan dia juga bilang betapa jadi perempuan di dunia itu nggak
mudah. Apalagi jadi perempuan bekerja, dan seorang ibu. Kalau bukan bundanya sendiri yang
nunjukin kalau perempuan bisa jadi apa saja yang dia mau asal usaha sekuat dia
bisa, siapa lagi.
That shut me up. Completely. Dan membuat saya melongo. And a
decision was made.
Sebulan kemudian saya terbang ke Singapura menghadapi panel para
petinggi. Dan ternyata mereka memang cukup nggak waras untuk percaya pada saya.
And 11 years from then, here I am.
--
Beberapa hari lalu Tara ribut tentang tugas Bahasa
Inggrisnya: harus bikin monolog tentang an extraordinary person. Saya ikut
bantu cari. Menyarankan sejumlah nama, yang semuanya perempuan (saya memang minta dia supaya cerita tentang tokoh perempuan). Tapi rupanya dia belum juga menentukan pilihannya.
Sampai lalu suatu malam, “Bunda, aku mau bunda aja deh yang
aku jadiin monolog”.
Saya kaget. “Haah?, tapi kak, aku kan nggak extraordinary. Achievement
ku kan cuma punya anak dua yang manis-manis aja”.
Kata-kata Tara berikutnya bikin saya hampir menangis, “Ah
bunda, jangan nyela diri sendiri gitu dong. Bikin company itu kan achievement”.
Penutup Tara di script-nya tentang saya, yang akhirnya
betul-betul bikin saya menangis:
My mom is special because she works very hard, but she always has time
for me and my sister. She always supports me. She is the best mom I can ever
have.
--
Apakah dia sudah bangga pada Ibunya? – saya nggak nanya, dan
itu nggak penting...yang penting dia tahu saya tidak pernah jauh dari dia. That’s
what matters now.
Dan yang akan bikin anak akan bangga pada orang tuanya jangan-jangan memang bukan pencapaian kita. Tapi, seberapa banyak di tengah hiruk pikuknya kehidupan, kita tetap ada di sisi mereka - mendengarkan, menemani, mendukung. Presence, is still the greatest gift we can ever give to our children.
Dan yang akan bikin anak akan bangga pada orang tuanya jangan-jangan memang bukan pencapaian kita. Tapi, seberapa banyak di tengah hiruk pikuknya kehidupan, kita tetap ada di sisi mereka - mendengarkan, menemani, mendukung. Presence, is still the greatest gift we can ever give to our children.
--
Beberapa hari setelahnya, Cip, “Kan aku yang saranin dia supaya
bikinnya tentang bundanya aja”. Ah...
Betul, kita memang harus bertanya: sudahkah kita bikin anak kita bangga pada kita?... Karena anak selalu punya keinginan ingin bikin orang tuanya bangga... But, have we done the same? |
(R I R I)