Saya besar di tahun 70 – 80an. Seperti banyak anak, saya
kenal dengan macam-macam jajanan.
Ada kue cubit, dan pastinya salah satu favorit saya
sebetulnya adalah yang setengah matang. Ada martabak mini. Siomay yang
bentuknya pipih yang saya yakin sebagian besarnya cuma tepung (kecuali yang
dulu saya makan di Gedung Wanita di Jln. Diponegoro, sekarang jadi Gedung
Pramuka, yang bisa saya nikmati tiap saya les nari Bali, karena selalu diantar
Ibu saya jadi bisa beli yang lebih mahal. Dan ini enaknya luar biasa buat lidah
Riri kecil). Es lilin yang dulu masih dibuat dengan ‘perahu’nya itu. Es serut
dengan sirup warna warni. Es potong. Permen rokok. Permen asem yang
bulat-bulat. Permen telur cicak. Dan kalau
saya lanjutkan daftarnya pasti panjang banget.
Saya tidak ingat apakah Ibu saya sering melarang saya untuk
jajan, seperti yang selalu diakui para ibu-ibu di grup-grup diskusi yang
tentunya selalu berlawanan dengan kenyataan. Yang saya ingat, dulu dengan uang
jajan yang terbatas, larangan memang jadi tidak penting karena kemampuan
membeli juga terbatas.
Jadi saya punya kebebasan dalam keterbatasan kemampuan
membeli saya dulu. Dan pernah ada periode kami punya asisten rumah tangga, yang
kerjaannya adalah ngejajanin saya tiap pulang sekolah. Apakah itu bakso, es
dung dung yang lewat di depan rumah, atau permen-permen yang sekarang kalau
saya pikir-pikir ajaib banget sih bisa saya suka wong rasanya nggak jelas. Tapi
dulu, itu rasanya nikmat pake banget.
Sekarang, saya punya anak dua.
Sampai 4 bulan belakangan ini, Tara tidak mengenal uang
jajan. Kami baru berikan dia uang bulanan mulai 4 bulan lalu. Alasan kami
sederhana: supaya dia berhenti merengek kalau kami sedang pergi dan pakai
uangnya sendiri kalau dia ingin ini itu. Kami juga ingin dia belajar untuk
lebih menghargai uang.
Dan saya juga merasa aman memberikan Tara uang jajan karena
di kantin sekolahnya jajanan dimonitor kualitasnya oleh pihak sekolah. Dan cara
anak-anak jajanpun dimonitor: mereka hanya boleh jajan dengan menggunakan
kupon. Jadi saya tahu berapa kupon yang Tara beli dan pakai. Dan untuk beli apa
saja.
Iya, rasa aman. Padahal, pikir-pikir, jaman saya kecil,
jajanan saya rasanya jauuuuhhh dari yang bisa memberikan rasa aman itu.
--
Hari Minggu kemarin, kami ke Kota Tua. Tempat yang sekarang
bikin kami senang karena AKHIRNYA, jadi destinasi wisata, walaupun kalau
meminjam kata-kata Cip, “Nggak seperti yang kita bayangkan sih, jadi rapi,
teratur. Ini masih chaotic”. Still, lebih baiklah dibanding Kota Tua dulu, yang
serem dan kumuh sehingga sulit sekali bagi kebanyakan orang melihat kecantikan
gedung-gedung tua di kawasan ini.
Kami ke Musium Bank Indonesia (MBI) dan rencananya dari situ
kami ke Musium Wayang lalu ke Stasiun Kota. Waktu jalan dari MBI ke Musium
Wayang, tentunya kami harus melalui kerumunan orang-orang plus para PKL. Dari
tukang tato sampai tukang es semua ada disitu. Lengkap tumpah di satu kawasan.
Tiba-tiba, Tara, “Aku pengen es potong”. Es potong. Salah satu
jajanan saya masa kecil.
Dan tiba-tiba saja ada alarm yang seperti diaktifkan di otak
saya. Dan reaksi saya adalah, “Nanti aja ya kita beli es krim di kafe situ. Kita
kan nggak tahu si abang itu airnya dari mana, ntar kamu sakit”.
Saya nggak tahu apakah dulu di kepala Ibu saya juga seperti
itu kalau beliau tahu betapa seringnya saya beli es lilin, es dung dung, es
potong dan semacamnya. Yang jelas saya tahu kalau sekarang ini variasi jajanan
Tara jauh lebih miskin dibanding saya dulu. Dan itu semua gara-gara sensor dan
alarm yang ada di otak saya.
Saya sebetulnya merasa bersalah tidak memberikan Tara ruang
untuk mencoba si es potong itu siang kemarin. Karena bisa saja dia tidak
apa-apa. Dan kalaupun dia jadi sakit perut, paling tidak saya tahu persis apa
penyebabnya. Tapi ada tuas-tuas otomatis di otak saya yang tiba-tiba saja
menutup pagar-pagar yang dulu, waktu saya kecil, terbuka sangat lebar. Sulit sekali
buat saya untuk menon-aktifkan tuas-tuas itu.
Saya masih mengijinkan, bahkan sering juga membelikan
anak-anak jajanan pinggir jalan. Seperti kue ape, kue cubit (tapi yang matang),
kue pancong, mie ayam dan semacamnya. Tapi tetap saja ada sensor, misalnya: tukangnya
jualannya bukan di pinggir jalan berdebu, atau gerobak dagangannya lumayan
tertutup jadi kemungkinan debunya kecil, atau abangnya kelihatannya bersih. Pokoknya
selalu ada parameter yang saya pakai untuk memastikan jajanan itu ‘aman’ buat
anak-anak. Parameter yang kalau dipikir-pikir ya konyol juga karena mana saya
tahu di abang itu tadinya dari mana, tangannya tadinya pegang apa and so on and
so forth.
Tapi sensor itu tetap saya butuhkan dan pertahankan supaya
saya tetap merasa aman. Cuma kadang saya mau tidak mau bertanya juga pada diri
sendiri: am I restricting my children’s experiences by doing so?.
--
Memang sih ini cuma soal jajanan, tapi kadang saya juga
takut apakah akan ada hal-hal lain yang saya batasi, lalu malah jadi pembatas
pengalaman hidup anak-anak saya?.
Kelihatannya sepele mikirin hal seperti ini. Tapi dampaknya
jangan-jangan besar kalau saya nggak mikirin dan membuat diri saya sadar 100%
bahwa ada sensor dan alarm itu di kepala saya. Semua orang tua pasti punya. Pertanyaannya
adalah: seberapa jauh dan ketat kita akan aktifkan tanpa membuat anak-anak jadi
miskin pengalaman?.
Saya nggak tahu jawabannya. Mungkin sama saja seperti hidup
dan menjadi orang tua yang nggak ada sekolahnya ini: trial dan error saja. Nanti
kita juga tahu.
Semoga ‘nanti’ itu tidak terlalu terlambat untuk bisa kita
koreksi dampaknya. Aamiiiin.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment