Siapa yang
tidak pernah bohong pada orang tua?.
Bohong
tentang apa?.
Ya tentang
berbagai hal. Dari hal kecil semisal harusnya belajar tapi malah main, sampai bohong
soal uang misalnya.
Saya ya
jelas sering bohong. Lha wong ndablek sejak kecil mana mungkin saya suci dari
hal yang demikian.
Dari
perkara harusnya belajar bareng teman, malah ngobrol. Ngakunya teman, padahal pacaran.
Ngakunya mengerjakan tugas kelompok, malah jalan-jalan. Ah banyak lah.
Perkara
uangpun, ya pernah. Dan ada satu kejadian yang jumlahnya lumayan besar.
--
Saya baru
punya SIM waktu sudah kuliah semester 2. Lha wong memang waktu itulah umur saya
baru cukup buat ambil SIM. Dan saya lupa di semester berapa, almarhum ayah saya
membelikan mobil bekas.
Mobil itu
jarang saya pakai kuliah. Alasannya satu: saya harus bayar bensin sendiri kalau
mau pakai mobil tiap hari. Minta? – wuidih, cuma dilirik thoooookkk.
Uang saku
saya saat itu, tahun 90 awal, Rp 150.000 dan harus cukup dalam sebulan. Itu
juga bukan dari orang tua. Uang itu jatah bulanan dari Bank Indonesia, tempat
kerja ibu saya waktu itu, bagi anak pegawai yang harus saya pertahankan dengan nyetor
nilai IPK minimal 3 tiap semester.
Uang saku
sejumlah itu lumayan cukup buat ongkos dan makan saya tiap hari di kampus. Tidak
ada tambahan lagi dari orang tua kecuali kalau untuk beli buku. Yaaa kadang
megap-megap juga sih, tapi untungnya, di fakultas Psikologi selalu saja ada
yang bisa dikerjakan dari kakak-kakak kelas buat sekedar uang jajan.
Tapi kalau
untuk uang bensin, tidak cukup layaw.
Jadi buat
apa dong dibelikan mobil?.
Buat antar
jemput ibu saya ke dan dari kantor. Buat antar ibu saya ke dan dari pasar
setiap hari Minggu. Cerdas memang almarhum ayah saya. Buat beliau yang waktu
itu sudah pensiun, memang terbayang sih malasnya harus bangun pagi-pagi, antar
istri ke kantor, nanti jemput lagi sore-sore dengan Jakarta yang waktu itu
sudah lumayan macet.
Saya sih
senang-senang saja dilimpahi tugas itu. Karena, mengantar jemput ibu saya artinya
adalah bensin diisi oleh beliau, full tank. Naaahhhh di antara waktu antar
jemput, kan saya bisa pakai mobil itu. Jadi kalau sudah diisi full tank,
biasanya saya sesekali pakai ke kampus apalagi kalau saya tahu pulangnya akan sore.
Sekalian jemput dulu ibu saya di kantornya di Jalan Thamrin sana. Ceritanya
anak berbakti (padahal mah akalnya bulus banget).
Singkat cerita,
tibalah masa dimana saya membuat skripsi.
Sebelum
ujian sarjana, skripsi harus difotokopi 10 kali. Dan waktu itu, kebetulan
skripsi saya nyaris setebal Yellow Pages (yang sudah tidak tahu apakah benda
ini, silakan cari di Google), dengan pendamping data yang tebalnya 2cm.
(Yang kiri skripsinya, kanan data pendukung. Entah apa yang merasukiku dulu kok ya bisa menulis skripsi setebal itu...)
Di saat
yang sama, mobil kecil itu bannya sudah gundul. Sebetulnya saya waktu itu sudah
kerja paruh waktu di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris, dengan gaji bulanan
yang lumayan jumlahnya. Saya sebetulnya bisa mengganti ban tersebut dengan uang
saya sendiri, tapi entah kenapa, saya malah cari akal bagaimana caranya supaya
ban itu diganti menggunakan uang ayah saya.
Minta? –
jelas beliau tidak akan kasih. Pelit?. Tergantung darimana melihatnya. Saya
yakin kalau ayah saya sebetulnya sedang mengajarkan nilai barang, dan bagaimana
sulitnya memelihara sesuatu. Dan bahwa semua butuh biaya jadi sebaiknya kalau
punya uang jangan dibelanjakan seenaknya. “Kalau mau pake uang tu mikir dulu”,
begitu beliau dulu sering katakan pada kami.
Lagipula
saya tahu jawaban beliau apa kalau saya minta, “Lho kamu kan udah kerja, beli
sendiri dong”. Apalagi karena saya memang jadi sering harus mondar mandir ke
kampus, lalu mengajar, lalu jemput ibu saya, ya memang saya jadi sering pakai
mobil itu.
Tapi
pokoknya waktu itu saya memang sedang ingin dibayari. Mungkin separuhnya karena
saya merasa selama saya kuliah 6 tahun, 2 tahun terakhirnya saya tidak pernah
meminta uang termasuk uang buku karena saya sudah punya gaji bulanan. Saya sudah
bayar bensin sendiri. Pengerjaan skripsi termasuk semua biaya yang ada di dalamnya,
saya tanggung sendiri. Beliau hanya bayar uang kuliah saya saja yang waktu itu cuma
Rp 180.000 per semester.
Jadi fair,
dong, kalau saya ingin beliau yang belikan ban baru. Tapi bagaimana cara
memintanya tanpa ditolak ya.
Pilihan
saya jatuh pada, berbohong.
Saya tunjukkan
pada beliau skripsi saya yang tebal itu dan lampiran data yang juga tebal, dan
saya bilang kalau saya harus fotokopi keduanya sebanyak 10 kali, dan skripsi
harus hard cover (padahal sih tidak perlu). Dan untuk itu semua, saya butuh Rp 2.000.000.
Ayah saya,
walaupun dengan sedikit mengerenyitkan dahi, memberikan saya uang yang saya
minta (ya kan mintanya dengan tampang memelas tentunya….susaaaahhh banget gitu kayaknya).
Sebelum itu
saya sudah mencari tempat fotokopi yang murah tapi bagus di daerah Depok, dan
juga cek harga ban baru. Fotokopi kedua dokumen itu, sudah dengan hardcover untuk
skripsinya saja, butuh Rp 800.000. Harga 4 ban baru, Rp 2.000.000.
Lho, tekor
dong?. Hehehe….that’s not the point. Pokoknya waktu itu saya puas bisa beli 4
ban baru dengan uang dari ayah saya. Skripsi? – ya saya fotokopi dengan uang
saya sendiri laaah. Wong gaji bulanan saya waktu itu lebih besar kok dari uang
untuk fotokopi itu. Hehe…
Ngeselin?.
Well. Saya ceritakan
itu semua pada ibu saya.
Di hari ban
yang baru telah terpasang, saya jemput ibu saya ke kantor beliau, saya
tunjukkan ban itu, dan saya ceritakan semuanya.
Reaksi beliau?
– ngakak!. Padahal saya sudah takut dimarahi, dianggap anak tak tahu diri. Eh beliau
malah siap bilang ban itu diganti oleh beliau, kalau ayah saya tanya-tanya. Padahal
bukan itu maksud saya cerita pada beliau. Saya hanya ingin cerita saja, entah
kenapa. Mungkin sebetulnya ingin mengurangi rasa bersalah. Dan, takut ndak
lulus ujian sarjana karena kualat. Paling tidak kan saya jujur pada salah satu
orang tua saya, walaupun tetap saja ayah saya tidak tahu kalau saya bohongi.
Entah karena
jujur pada ibu saya, atau memang karena kebetulan penguji skripsi saya sudah
kadung kagum sejak saya berikan skripsi saya yang nyaris setebal Yellow Pages itu,
saya bisa lulus sarjana dengan nilai nyaris sempurna kalau saja tidak pernah
dapat nilai D.
Sampai ayah
saya meninggal, rahasia itu tersimpan rapi di antara saya dan ibu. Saya tidak
tahu apakah kalau saya cerita, beliau akan memaafkan saya atau tidak. Yang
jelas, sekarang kalau saya lihat skripsi yang ada di salah satu rak buku di
rumah kami, saya kok ya malah ketawa. Parah yo.
--
Saya jadi
bernostalgia tentang ini gara-gara tadi siang melihat postingan bapak Sutrisna
Wibawa, Rektor UNY, tentang mahasiswa yang membohongi orang tuanya tentang
biaya kuliah.
Apapun alasannya, harus diakui itu salah jika orang tua kita memang harus susah payah
membiayai kita menempuh pendidikan yang layak. Mereka, pasti ingin hidup kita
lebih baik, makanya banting tulang cari uang. Lha kok malah dibohongi.
Saya tidak
bilang kelakuan saya dulu membohongi ayah saya benar hanya karena orang tua
saya kebetulan bukan orang susah. Tetap saja sih, salah. Tapi saya tidak makin
membuat hidup mereka susah karena saya tidak membuat ayah saya misalnya jadi usaha
keraaasss untuk mengeluarkan uang itu. Justru karena saya tahu beliau punya
uang, saya berani sebandel itu.
Tapi kalau untuk
hidup sehari-hari saja sudah sulit, ditambah harus mencari uang sekuat tenaga
demi membiayai sekolah kita, lalu malah dibohongi, lha njuk piye.
Kalau masih
jadi mahasiswa saja sudah mental maling, mau jadi apa negeri ini kelak?. Bohong
ya boleh, silakan, lha wong dosanya ditanggung sendiri kok. Tapi ya kalau pada
orang tua sendiri ya bohongnya mbok pakai perasaan juga gitu lhooo. Dikira-kira.
Gemes akutu.
Saya yakin
satu hari nanti, anak-anak saya pasti berbohong juga pada kami. Atau ya mungkin
malah sudah. Tapi saya berharap apapun kebohongan mereka kelak, itu bukan
sesuatu yang massif, yang dilakukan karena kecacatan karakter, tapi semata karena
keusilan berpikir anak terhadap orang tuanya. Karena kalau yang terakhir saya
yakin, semua anak pernah melakukannya.
Kalau sudah
membohongi institusi, lalu membohongi orang tua, secara tidak sadar itu
memelihara bibit korupsi. Koruptor terbaik, adalah mereka yang tidak punya
hati, bahkan terhadap orang tuanya sendiri. Dan membaca postingan bapak
Sutrisna tadi siang, saya takut bibit-bibit itu sedang tumbuh subur. Semoga
saja saya salah.
Tapi lalu masuk
pesan WA dari kakak saya yang cerita ada temannya yang bekerja di UI mengelola
dana untuk mahasiswa yang tidak mampu. Membaca ceritanya, kok ya saya sepertinya
harus mengelola harapan saya.
Ah. Negeriku.
Banyak sekali kepedihan yang harus kau tanggung.