Friday, August 30, 2019

Di ujung pencarian


Dulu, saya juga pernah minta cuti 2 bulan. Saya capek ternyata menghadapi semua tanggung jawab dan kerusuhan memimpin perusahaan. Padahal, cuma perusahaan yang total pegawainya hanya 35 orang.

Tapi memang dari awal saya menjalani tanggung jawab itu, saya tahu saya pasti akan tiba di titik dimana saya akan mau muntah dengan semua yang harus saya jalani.

Sejatinya saya bukan manusia korporat yang bisa taat dan manis pada semua aturan main korporasi. Saya tidak suka dikejar-kejar target finansial. Saya tidak tahan harus basa basi dalam meeting dengan rekan sejawat dalam korporasi. Saya tidak tahan dengan politik yang selalu ada dalam korporasi. Tapi saya tahu: kalau saya tidak memaksa diri saya menghadapi semua itu, mana saya tahu batas kemampuan saya ada di mana.

Jadi dulu, saya menjalani kewajiban itu karena tiga hal. Satu, karena saya tahu itu adalah ladang belajar yang amat sangat luas. Dua, karena saya ingin menantang diri saya sendiri, menemukan batas kemampuan saya. Dan yang terakhir, yang ini tercerahkan oleh Cip sebetulnya, supaya anak-anak perempuan kami punya contoh nyata dalam hidup mereka bahwa perempuan mampu menjalankan tanggungjawab yang besar di luar rumah tanpa melupakan keluarga, asal dia mau terus belajar, mandiri, tanpa melupakan siapa dia di sisi suami dan anak-anaknya.

Setelah 3 tahun saya menjalani kewajiban itu, saya kelelahan secara mental. Dan saya akhirnya minta izin untuk cuti di luar tanggungan perusahaan, selama 2 bulan. Demi mengembalikan energi mental yang rasanya terkuras habis waktu itu.

That was 11 years ago.

Sekarang, saya baru saja menjalani hal yang sama. Cuti di luar tanggungan perusahaan, alias tidak digaji, selama 2,5 bulan. Ya kan walaupun sekarang perusahaan ini sebagian kecilnya juga milik saya, saya tetap memposisikan diri saya sebagai pegawai dengan hak dan kewajiban yang sama seperti yang lain. Jadi saya tidak mau diistimewakan.

Saya ternyata butuh istirahat panjang, seperti dulu.

Inipun, sebetulnya sudah saya prediksi saat kami memulai usaha ini. Saya tahu, bahwa beberapa tahun setelah kami memulai, saya akan tiba di titik dimana saya juga akan kelelahan secara mental.

Managing the nitty gritty of a company is actually not my forte. Saya bisa, mampu melakukannya, tapi saya tidak menyukainya. Jadi saya tahu setelah beberapa tahun, pasti saya akan tiba di titik lelah.

Tapi, ternyata bukan cuma itu.

--

Di awal saya baru saja memulai cuti saya ini, bulan Juni lalu, saya ketemu dengan seorang teman baik. Sesama wiraswasta. Sesama penyuka baking. Dan ternyata, sama-sama sedang mengalami kelelahan menjalani apa yang jadi tanggung jawab kami.

Dari obrolan dengan dia, ada satu hal yang kemudian memaksa saya berpikir: apa sih sebetulnya akar kelelahan ini?. Tanggung jawab yang harus diemban is one thing, tapi rasanya, ada sesuatu yang lain.

Lalu di suatu sore, saat saya sedang berjalan kaki menikmati sore yang waktu itu cukup sejuk di Kawasan Mega Kuningan, saya sibuk dengan semua pikiran-pikiran saya. Sayapun teringat obrolan dengan teman saya itu: apa sebetulnya akar semua kelelahan ini.

Dan begitu saja, tiba-tiba, saya tersentak, dan sadar, apa yang membuat saya begitu lelah.

Ada luka. Ada beberapa kejadian selama beberapa tahun terakhir, yang ternyata, saya tidak pernah mau akui bahwa itu membuat saya terluka. Atau tepatnya, dalam posisi dimana saya harus tegar dan kukuh dalam mengemban semua yang jadi tanggungjawab saya sebagai ‘kepala perusahaan’, saya memilih untuk tidak mengakui bahwa kejadian-kejadian itu sebetulnya membuat hati ini terperosok cukup jauh. Dan saya tidak pernah memberikan diri sendiri waktu untuk mengendapkan apa perasaan itu. Saya memilih untuk berlaku business as usual.

And over time, it ate me inside. Drowned me.

Saat saya sadari itu semua, saya harus mencari tempat untuk duduk dan merenungi semua kejadian itu. Dan begitu saya tiba di rumah, selepas sholat Maghrib, saya keluarkan semuanya. Saya menangis di hadapan Yang Kuasa. Melepaskan beban sekaligus mengucap syukur bahwa saya bisa menemukan jawabannya secepat itu.

Setelahnya saya mengirimkan pesan pada teman saya itu, mengucapkan terima kasih karena kalau tanpa obrolan dengan dia, mungkin saya tidak akan menemukan jawabannya secepat itu.

Dan setelahnya, jadi mudah bagi saya menemukan jawaban saya harus bagaimana. Karena cuti 2,5 bulan ini bagi saya bukan hanya waktu buat istirahat, tapi yang lebih penting adalah waktu untuk mereorganisasi diri. Mereorganisasi pikiran. Menemukan ‘what’s next’ dan ‘what should I do to get there’.

Lalu kenapa saya ceritakan semua ini?. Begini.

--

Dalam menjalani kewajiban kita sehari-hari, apalagi kalau posisi kita kebetulan ada di puncak organisasi apapun itu, kita seringkali MERASA bahwa kita wajib terlihat selalu tegar, kuat, aku rapopo. Dan dalam melakukan itu, kita lalu abai dengan perasaan kita sendiri. Kita abai bahwa kita juga manusiaaa. Dan bahwa: hei, elo juga punya hak buat rontok sesekali!.

Tanpa kita sadari, lalu semuanya menumpuk. Dan membebani. Dan hanya membuat kita jadi manusia yang tidak efektif. Yang pemarah (itu saya). Yang penuntut mungkin. Yang nyinyir pada semua yang dikerjakan. Yang micromanage. Pokoknya, tidak menyenangkan buat mereka yang harus bekerja bersama kita.

Padahal, solusinya hanya satu: sadari apa yang sedang terjadi pada diri. Be mindful. Be present and feel what it is inside you that is boiling. Be there, for yourself. That, is self-care.

Self-care is not selfish. Saya seringkali bilang begitu pada diri saya. Tapi saya sendiripun sering tidak melakukannya.

Cuti, buka laptop. Cuti, cek e-mail di gawai. Padahal sedih karena sesuatu yang terjadi dalam pekerjaan, tapi sok kuat. Apanya yang self-care?.

Saya baru membiasakan diri untuk tidak lagi membawa laptop atau mengecek pesan apapun yang ada hubungannya dengan pekerjaan saat saya cuti, di pertengahan tahun 2017. Iya, nggilani tenan toh?. Sebelumnya, ada rasa berdosa kalau saya tidak bawa laptop dan tetap membantu tim saya dalam pekerjaan. Padahal, sedang cuti. Untung saya akhirnya insaf.

Sok tegar dan kuat itu memang yang susah. Apalagi sebagai perempuan, sebagai ibu dan istri yang tetap harus mengurusi keluarga sambil juga memastikan roda perusahaan tetap berjalan, adakalanya memang rasa, “Aku rapopo”, sambil elus dada, itu dipertahankan. Padahal sih rasanya maunya sudah tinggalkan saja urusan pekerjaan, lalu leyeh-leyeh. Mumet, je. Tapi kan tidak bisa begitu. Tapi lalu juga harusnya tidak jadi alasan untuk selalu sok kuat dan tidak mengakui bahwa, “Duh Gustiii…akutu syediiihh ngadepin nganuu. Aku kudu piye sekarang?” (penasaran ya?. Saya kasih hint apa si nganu itu: mimpi yang sudah dibangun lalu tiba-tiba harus dihapus total karena perubahan manusia. Nah monggo tebak saja sendiri).

Jadilah sok kuat itu jebakan betmen buat diri sendiri. At least, itu yang saya alami.

--

Nah sekarang, apa?.

Weeelllll….sekarang saya tahu lah bahwa saya yang harus mau mengalah, dan kalahpun tidak apa-apa.

Salah satu pelajaran penting yang saya dapat dari baca buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck yang ditulis Mark Manson adalah: you should also be able to not give a f**k to what your heart is saying!.

Kita ini sebenarnya sering menjatuhkan diri sendiri lho. Sering menolak untuk mengalah karena malu pada diri sendiri. Haduuuhh padahal, ya, kalah ya bukan berarti hancur. Yang penting sadar kenapa saya harus mengalah?, dan lalu, apa yang harus saya lakukan berikutnya?. Ituuu yang penting.

Tapi kan memang harus jungkir balik dulu ya kadang-kadang untuk menemukan jawaban. Bahkan untuk menemukan jawaban tentang diri sendiri. We think we know ourselves well, but question this to yourself: how often do you find a quiet place, then actually ‘talk’ to yourself, and go deep inside your soul and be very honest with yourself, about EVERYTHING?. Nah. Itu.

--

Begitulah. Perjalanan 2,5 bulan yang melegakan, mengayakan, dan mencerahkan diri saya sendiri. Berbeda dengan 11 tahun lalu, kali ini saya betul-betul melakukan perjalanan ke dalam dan menemukan banyak jawaban atas pertanyaan saya selama ini.

Bukan berarti saya jadi makin kuat untuk bilang ‘aku rapopo’, justru, saya jadi sadar bahwa saya harus berikan waktu jika saya sedang ‘apa-apa’.

To walk the talk that self-care, is not selfish. 

And it is fine to admit defeat. You are your own worse enemy, fight it with all your might but say, "F*ck you" when you have to. To yourself. Not all fights are worth fighting for. Especially not with yourself.






No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts