Dulu, saya juga pernah minta cuti 2 bulan. Saya capek
ternyata menghadapi semua tanggung jawab dan kerusuhan memimpin perusahaan. Padahal,
cuma perusahaan yang total pegawainya hanya 35 orang.
Tapi memang dari awal saya menjalani tanggung jawab itu,
saya tahu saya pasti akan tiba di titik dimana saya akan mau muntah dengan
semua yang harus saya jalani.
Sejatinya saya bukan manusia korporat yang bisa taat dan
manis pada semua aturan main korporasi. Saya tidak suka dikejar-kejar target
finansial. Saya tidak tahan harus basa basi dalam meeting dengan rekan sejawat
dalam korporasi. Saya tidak tahan dengan politik yang selalu ada dalam
korporasi. Tapi saya tahu: kalau saya tidak memaksa diri saya menghadapi semua
itu, mana saya tahu batas kemampuan saya ada di mana.
Jadi dulu, saya menjalani kewajiban itu karena tiga hal. Satu,
karena saya tahu itu adalah ladang belajar yang amat sangat luas. Dua, karena
saya ingin menantang diri saya sendiri, menemukan batas kemampuan saya. Dan yang
terakhir, yang ini tercerahkan oleh Cip sebetulnya, supaya anak-anak perempuan
kami punya contoh nyata dalam hidup mereka bahwa perempuan mampu menjalankan
tanggungjawab yang besar di luar rumah tanpa melupakan keluarga, asal dia mau
terus belajar, mandiri, tanpa melupakan siapa dia di sisi suami dan anak-anaknya.
Setelah 3 tahun saya menjalani kewajiban itu, saya kelelahan
secara mental. Dan saya akhirnya minta izin untuk cuti di luar tanggungan
perusahaan, selama 2 bulan. Demi mengembalikan energi mental yang rasanya
terkuras habis waktu itu.
That was 11 years ago.
Sekarang, saya baru saja menjalani hal yang sama. Cuti di
luar tanggungan perusahaan, alias tidak digaji, selama 2,5 bulan. Ya kan
walaupun sekarang perusahaan ini sebagian kecilnya juga milik saya, saya tetap
memposisikan diri saya sebagai pegawai dengan hak dan kewajiban yang sama
seperti yang lain. Jadi saya tidak mau diistimewakan.
Saya ternyata butuh istirahat panjang, seperti dulu.
Inipun, sebetulnya sudah saya prediksi saat kami memulai
usaha ini. Saya tahu, bahwa beberapa tahun setelah kami memulai, saya akan tiba
di titik dimana saya juga akan kelelahan secara mental.
Managing the nitty gritty of a company is actually not my
forte. Saya bisa, mampu melakukannya, tapi saya tidak menyukainya. Jadi saya
tahu setelah beberapa tahun, pasti saya akan tiba di titik lelah.
Tapi, ternyata bukan cuma itu.
--
Di awal saya baru saja memulai cuti saya ini, bulan Juni
lalu, saya ketemu dengan seorang teman baik. Sesama wiraswasta. Sesama penyuka baking.
Dan ternyata, sama-sama sedang mengalami kelelahan menjalani apa yang jadi
tanggung jawab kami.
Dari obrolan dengan dia, ada satu hal yang kemudian memaksa
saya berpikir: apa sih sebetulnya akar kelelahan ini?. Tanggung jawab yang
harus diemban is one thing, tapi rasanya, ada sesuatu yang lain.
Lalu di suatu sore, saat saya sedang berjalan kaki menikmati
sore yang waktu itu cukup sejuk di Kawasan Mega Kuningan, saya sibuk dengan
semua pikiran-pikiran saya. Sayapun teringat obrolan dengan teman saya itu: apa
sebetulnya akar semua kelelahan ini.
Dan begitu saja, tiba-tiba, saya tersentak, dan sadar, apa
yang membuat saya begitu lelah.
Ada luka. Ada beberapa kejadian selama beberapa tahun
terakhir, yang ternyata, saya tidak pernah mau akui bahwa itu membuat saya
terluka. Atau tepatnya, dalam posisi dimana saya harus tegar dan kukuh dalam
mengemban semua yang jadi tanggungjawab saya sebagai ‘kepala perusahaan’, saya memilih
untuk tidak mengakui bahwa kejadian-kejadian itu sebetulnya membuat hati
ini terperosok cukup jauh. Dan saya tidak pernah memberikan diri sendiri waktu
untuk mengendapkan apa perasaan itu. Saya memilih untuk berlaku business as
usual.
And over time, it ate me inside. Drowned me.
Saat saya sadari itu semua, saya harus mencari tempat untuk
duduk dan merenungi semua kejadian itu. Dan begitu saya tiba di rumah, selepas
sholat Maghrib, saya keluarkan semuanya. Saya menangis di hadapan Yang Kuasa. Melepaskan
beban sekaligus mengucap syukur bahwa saya bisa menemukan jawabannya secepat itu.
Setelahnya saya mengirimkan pesan pada teman saya itu, mengucapkan
terima kasih karena kalau tanpa obrolan dengan dia, mungkin saya tidak akan
menemukan jawabannya secepat itu.
Dan setelahnya, jadi mudah bagi saya menemukan jawaban saya
harus bagaimana. Karena cuti 2,5 bulan ini bagi saya bukan hanya waktu buat
istirahat, tapi yang lebih penting adalah waktu untuk mereorganisasi diri. Mereorganisasi
pikiran. Menemukan ‘what’s next’ dan ‘what should I do to get there’.
Lalu kenapa saya ceritakan semua ini?. Begini.
--
Dalam menjalani kewajiban kita sehari-hari, apalagi kalau
posisi kita kebetulan ada di puncak organisasi apapun itu, kita seringkali
MERASA bahwa kita wajib terlihat selalu tegar, kuat, aku rapopo. Dan dalam
melakukan itu, kita lalu abai dengan perasaan kita sendiri. Kita abai bahwa
kita juga manusiaaa. Dan bahwa: hei, elo juga punya hak buat rontok sesekali!.
Tanpa kita sadari, lalu semuanya menumpuk. Dan membebani. Dan
hanya membuat kita jadi manusia yang tidak efektif. Yang pemarah (itu saya). Yang
penuntut mungkin. Yang nyinyir pada semua yang dikerjakan. Yang micromanage. Pokoknya,
tidak menyenangkan buat mereka yang harus bekerja bersama kita.
Padahal, solusinya hanya satu: sadari apa yang sedang
terjadi pada diri. Be mindful. Be present and feel what it is inside you that
is boiling. Be there, for yourself. That, is self-care.
Self-care is not selfish. Saya seringkali bilang begitu pada
diri saya. Tapi saya sendiripun sering tidak melakukannya.
Cuti, buka laptop. Cuti, cek e-mail di gawai. Padahal sedih
karena sesuatu yang terjadi dalam pekerjaan, tapi sok kuat. Apanya yang
self-care?.
Saya baru membiasakan diri untuk tidak lagi membawa laptop
atau mengecek pesan apapun yang ada hubungannya dengan pekerjaan saat saya cuti,
di pertengahan tahun 2017. Iya, nggilani tenan toh?. Sebelumnya, ada rasa
berdosa kalau saya tidak bawa laptop dan tetap membantu tim saya dalam
pekerjaan. Padahal, sedang cuti. Untung saya akhirnya insaf.
Sok tegar dan kuat itu memang yang susah. Apalagi sebagai
perempuan, sebagai ibu dan istri yang tetap harus mengurusi keluarga sambil
juga memastikan roda perusahaan tetap berjalan, adakalanya memang rasa, “Aku
rapopo”, sambil elus dada, itu dipertahankan. Padahal sih rasanya maunya sudah
tinggalkan saja urusan pekerjaan, lalu leyeh-leyeh. Mumet, je. Tapi kan tidak
bisa begitu. Tapi lalu juga harusnya tidak jadi alasan untuk selalu sok kuat
dan tidak mengakui bahwa, “Duh Gustiii…akutu syediiihh ngadepin nganuu. Aku kudu
piye sekarang?” (penasaran ya?. Saya kasih hint apa si nganu itu: mimpi yang
sudah dibangun lalu tiba-tiba harus dihapus total karena perubahan manusia. Nah
monggo tebak saja sendiri).
Jadilah sok kuat itu jebakan betmen buat diri sendiri. At least,
itu yang saya alami.
--
Nah sekarang, apa?.
Weeelllll….sekarang saya tahu lah bahwa saya yang harus mau
mengalah, dan kalahpun tidak apa-apa.
Salah satu pelajaran penting yang saya dapat dari baca buku The
Subtle Art of Not Giving a F*ck yang ditulis Mark Manson adalah: you should
also be able to not give a f**k to what your heart is saying!.
Kita ini sebenarnya sering menjatuhkan diri sendiri lho. Sering
menolak untuk mengalah karena malu pada diri sendiri. Haduuuhh padahal, ya,
kalah ya bukan berarti hancur. Yang penting sadar kenapa saya harus mengalah?,
dan lalu, apa yang harus saya lakukan berikutnya?. Ituuu yang penting.
Tapi kan memang harus jungkir balik dulu ya kadang-kadang
untuk menemukan jawaban. Bahkan untuk menemukan jawaban tentang diri sendiri. We
think we know ourselves well, but question this to yourself: how often do you
find a quiet place, then actually ‘talk’ to yourself, and go deep inside your
soul and be very honest with yourself, about EVERYTHING?. Nah. Itu.
--
Begitulah. Perjalanan 2,5 bulan yang melegakan, mengayakan, dan
mencerahkan diri saya sendiri. Berbeda dengan 11 tahun lalu, kali ini saya
betul-betul melakukan perjalanan ke dalam dan menemukan banyak jawaban atas
pertanyaan saya selama ini.
Bukan berarti saya jadi makin kuat untuk bilang ‘aku rapopo’,
justru, saya jadi sadar bahwa saya harus berikan waktu jika saya sedang ‘apa-apa’.
To walk the talk that self-care, is not selfish.
And it is fine to admit defeat. You are your own worse enemy, fight it with all your might but say, "F*ck you" when you have to. To yourself. Not all fights are worth fighting for. Especially not with yourself.
No comments:
Post a Comment