Sebentar lagi Ramadhan. Artinya, sebentar lagi harga bahan
pokok akan merayap naik lagi. Termasuk mungkin harga kelapa muda, cincau,
kolang kaling, cendol, dan semacamnya.
Timun suri akan berlimpah ruah di jalan (yang selalu bikin
saya bertanya: lha kalau bukan bulan puasa siapa yang beli ini ya…. Atau
mungkin memang nggak ditanam saja ya, daripada ndak ada yang beli karena belum
trendy…). Restoran-restoran akan bertirai di siang hari. Undangan buka puasa bersama
seliweran sana sini sampai jalan akan jadi 4 kali lipat lebih macet dari biasa
di jam menjelang buka puasa.
Bulan lalu saya membahas semua perilaku itu dengan teman
jalan saya yang beragama Katolik. Intinya sih kami heran juga kenapa ya bisa
begitu. Kenapa di bulan dimana harusnya hiruk pikuk berkurang, lha malah
bertambah.
--
Obrolan kami yang pertama, seputar buka puasa bersama.
“Kayak undangan-undangan buka bersama itu. Paling cuma
minggu pertama yang kosong. Abis itu ya ampun Ri, gue sampe bosen. Tiap 2 atau
3 hari sekali ada kali undangan buka puasa bersama. Dan gue kan nggak gampang
bilang nggak bisa karena posisi di kantor. Tapi jujur gue tuh males. Ya males
macetnya, kan harus berangkat lebih cepet supaya nggak kena macet. Males ramenya.
Gue kadang bingung lho buat apa sih. Apalagi kalau yang dateng ya itu lagi itu
lagi. Padahal bukannya maksudnya itu buat ibadah ya”, kata temen saya.
Saya cuma bisa nyengir. Karena saya salah satu orang yang
dengan sepenuh hati dan segenap jiwa selalu bilang ndak bisa datang kalau diundang
buka puasa bersama, kecuali kalau itu diadakan di rumah seseorang. Atau tempat yang
punya cukup privasi. Dan dengan orang-orang terdekat saja.
Alasan saya sederhana.
Pertama, saya ndak sudi membuang waktu di jalan. Apapun alasannya.
Silaturahmi?. Iyaaa itu baik. Tapiiiii apa iya harus seheboh itu?.
Ini Jakarta dengan semua keriuhrendahannya. Silaturahmi
setelah lebaran, apa ndak bisa?. Yaaa kalau mau hitung-hitungan pahala, karena
katanya silaturahmi di bulan Ramadhan itu nilainya berlipat ganda, saya ndak
bisa lah ngalahin. Saya kan hitungannya sederhana: waktu yang harus dihabiskan
di jalan itu, bisa saya pakai untuk duduk tenang di rumah bersama anak-anak saya
sambil nunggu Maghrib.
Kedua, kalau di acara yang mengundang anak yatim, saya kok
ya gumun. Di mata saya, mereka hanya jadi sebagian dari acara, kasarnya,
pajangan. Lalu mereka harus melihat om-om dan tante-tante haha hihi di sekitar
mereka. Doa sebentar. Lalu pulang dengan segembolan hadiah.
Saya selalu bertanya dalam hati kenapa sih ndak kasih saja
sumbangan ke rumah yatim. Atau bantu saja perbaiki sekolah bobrok. Atau bantu para
janda tua.
Ndak perlu undang mereka ke acara. Ndak perlu bikin mereka melongo
lihat dandanan tante-tante dengan gamis, tunik atau apapun namanya lah. Ini
pengalaman pribadi lho. Saya ini kalau sudah diundang di acara yang rame,
cenderung melipir dan mengobservasi sekitar saya. Dan itulah yang saya lihat:
ada saja dari para anak panti itu yang setengah melongo ngeliatin tante-tante
dan om-om yang slawar sliwir sekitar mereka.
Dan, ndak perlu bikin mereka antri untuk makan (bukannya
sehari-hari mereka juga jangan-jangan sudah harus antri di waktu makan di
panti?).
Mungkin memang saya saja yang aneh. Tapi ya saya tidak
nyaman berada di situasi yang demikian. Jadi lebih baik saya menghindar.
Ketiga, nah ini alasan sok alim. Gimanapun juga, Ramadhan
adalah bulan special buat saya. Saya ingin di bulan itu memaksimalkan ibadah
yang biasanya ndak terpikir. Dan ya gimana saya bisa memaksimalkan waktu kalau
saya sudah capek. Atau kalau di tempat buka puasa bersama itu mau sholat saja
susah. Dan kalau ada acara rame gitu ya mana bisa lagi berlama-lama duduk di
atas sajadah, ngobrol dengan Sang Empu yang entah gimana, kehadiranNya di bulan
puasa terasa amat sangat dekat buat saya.
--
Lalu kami juga ngobrol soal butuh apa sih waktu buka puasa.
“Emang kalau buka puasa harus seheboh itukah makanan dan
minumannya?. Apa bisa makan atau minum sebanyak itu ya kalau seharian perut loe
udah kosong. Apa nggak sakit perut?”, tanya teman saya.
“Naaaahhh gue juga bingung. Minum segelas aja udah kembung”.
Jujur inipun saya juga bingung. Apa iya kapasitas perut kita
jadi berkembang sedemikian hebohnya di bulan puasa sehingga banyaaaaakkk sekali
tukang jualan di setiap penggal jalan.
Dan belanja, apalagi ke tempat yang jual makanan, saat kita
lapar, itu kan memang cari diganggu namanya, kan. Tapi pertanyaannya: apakah
semua yang dibeli, memang habis?. Atau malah jangan-jangan tidak habis, lalu jadi, sampah?.
Dan benar dugaan saya, bahwa selama Ramadhan, sampah justru
meningkat – misalnya dari berita ini https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/18/06/13/pa8ojl430-volume-sampah-jakarta-meningkat-selama-ramadhan.
Itu baru Jakarta lho ya. Saya baca itupun terjadi di kota-kota
lainnya misalnya Kendari, Banjarmasin, bahkan Pidie di Aceh.
Artinya apa? – yaaaa….kita buang-buang makanan!. Lha kok
iso. Padahal, logikanya kan makannya lebih sedikit toh?. Dan dengan demikian
harusnya logikanya belinya juga lebih sedikit kan?. Tapi kok, malah tambah
banyak sampahnya?.
Ramadhan, bulan suci dimana kita harus berpuasa, kok malah berlebihan, lalu malah, nyampah…. Disitu saya bingung…
--
Ramadhan kan identik sekali dengan mengekang hawa nafsu kan,
tapi lewat tulisan ini saya cuma ingin nyentil: apanya sih yang dikekang?. Atau
benarkah kita sudah mengekang hawa nafsu?.
Esensi dari buka puasa bersama, misalnya, apakah
silaturahmi, ataaaauuu ada nafsu lain yang diam-diam menyelinap di balik semua that
seem to be in good intention?.
Sampah kita selama Ramadhan. Itu apakah artinya kita sudah
mengekang hawa nafsu kita untuk ndak beli ini itu lalu malah terbuang karena
kekenyangan?. Jujur sajalah. Saya juga pernah kok begitu.
Belanja di saat lapar
itu kan jurang banget. Daleeeemmm. Jebakan betmen paling top. Padahal ya itu,
minum segelas air saja sudah cukup bikin perut kembung dan makanpun jadi
sedikit deh.
Lalu, nanti masih mau ngomel-ngomel kalau semua harga
melambung. Lha kita lho yang minta, ya tanggung sendiri lah akibatnya. When there
is demand there is supply but there is also a price to pay for it. Sesederhana itu
saja kok. Itupun, namanya mengekang hawa nafsu lho. Hawa nafsu untuk ndak
ngomelin harga yang naik gara-gara kelakuan sendiri. Bhihik.
Yah sudah. Saya cuma ingin nyentil aja. Termasuk nyentil
diri sendiri kok ini. Supaya betul-betul bisa mengekang apa yang harusnya dikekang di Ramadhan terdekat ini. Dan
semoga bisa tetap mengekang bahkan di luar Ramadhan. Aamiiiiiin.
No comments:
Post a Comment