Baca tulisan
tentang anak Indonesia yang nggak tau seberapa bodohnya mereka, itu bener
banget (silahkan cek disini: http://indonesiaetc.com/indonesian-kids-dont-know-how-stupid-they-are/).
Yang dewasa juga
demikian. Salah satu contoh deh: kita ini bahkan sampai detik ini kayaknya
nggak sadar-sadar seberapa bodohnya kita dimainin oleh para politikus.
Kita kira yang
bisa ngomong tentang agama ya memang murni ingin berjuang tentang agama.
Padahal, pret. Maaf, tapi itu kenyataan yang harus diakui. Akui sajalah bahwa
agama memang dagangan yang paling laris. Dan kita ora uwis uwis bodohnya untuk
menyadari itu. Dan ora uwis uwis bodohnya untuk sekedar menyadari, betapa tidak
ada gunanya beli dagangan agama di atas tanah Indonesia dengan beragam agama
yang justru adalah kekayaan sejarah dan masa depan negeri ini kalau kita bisa
pelihara dengan baik. Gemes saya.
Kenapa ya bisa
begini?.
Pendidikan yang
nggak kunjung dibenahi padahal anggaran pendidikan sudah dinaikkan sedemikian
rupa rasanya memang jadi akar dari semuanya.
Saat kita berharap
ada perubahan, tahu-tahu gebrakan yang keluar adalah gerakan mengantar anak ke
sekolah di hari pertama sekolah. Et dah…no wonder sampeyan dipecat.
Sekarangpun saya
rasanya belum merasa ada perubahan berarti.
Sudah tahun 2018,
tapi sekolah masih saja tetap meminta murid untuk menghafal. Pelajaran yang
diberikan dengan tujuan supaya anak mendapatkan pengalaman indrawi, rasanya
sangat sedikit dilakukan, jika bukan langka. Padahal dengan cara itulah anak
bisa merasa bahwa belajar itu asik dan menyenangkan. Dan apa yang dipelajari
akan meresap ke batin dan benak mereka. Oh I’m not talking about harus
menggunakan sistem Montessori yang super mahal itu. Tapi as simple as keluar
kelas mengamati tumbuhan, misalnya. Cari ulet. Cari cacing. Itu sebetulnya
sederhana tapi bisa dilakukan sekolah manapun asal disediakan guidance yang
benar.
Ada saja yang
bilang ah masa sih seburuk itu. Saya sekarang ingin mengingatkan bahwa anda
jangan-jangan terlalu urban biased. Atau jangan-jangan, sekolah swasta (yang
mahal) biased – yang memang sudah berusaha untuk mengubah bagaimana pelajaran
diberikan, dengan semua keterbatasan yang ada. Ingat bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia justru tidak punya akses terhadap sekolah yang menurut anda sudah
berkurang kecenderungan untuk hafalan dan sudah mulai ada pencernaan ilmu
melalui pengalaman. Jadi jangan gunakan pengalaman orang kota sebagai kacamata.
Dan kondisi pendidikan
seperti itu sudah berjalan berpuluh tahun lamanya. Dengan konteks seperti
itulah bangsa ini terbangun. Dan sepertinya karena itulah kita ini juga jadi sebuah
negeri yang serba gegar.
Kalau kita mundur
sekian tahun ke belakang, jaman Mbah Harto almarhum, mungkin masih ada yang ingat
betapa industrialisasi digenjot habis-habisan. Sawah dan perkebunan banyak yang
disulap menjadi pabrik-pabrik besar.
Jiwa Indonesia
yang berakar pada tradisi agraris – yang bertumpu pada kebaikan alam dan Sang
Maha dan semua yang serba perlahan sesuai proses alamiah, dihadapkan pada perubahan
besar. Dan, kitapun mungkin tanpa sadar mengalami gegar pertama: gegar industri.
Kaget menghadapi banyak
hal tiba-tiba bisa menjadi serba cepat, walaupun saat itu belum instan. Banyak hal
tiba-tiba menjadi lebih mudah. Dan perlahan kita lupa bahwa semua yang terjadi,
butuh proses.
Gegar itu diikuti
lagi dengan gegar teknologi – internet membuka dunia yang sedemikian luas. Mendekatkan
semua yang tadinya begitu jauh dari kita. Lalu kitapun mengalami gegar
berikutnya: gegar keterbukaan informasi yang terjadi sedemikian cepatnya seiring
runtuhnya pemerintahan simbah.
Kegegaran juga
sangat kuat saya rasakan kalau saya mengamati apa yang terjadi di media sosial.
Apapun hot issue yang
dilempar ke timeline – dari pelakor sampai politikus busuk, akan dilahap
seperti sekelompok piranha yang diberikan daging segar. Dan kelihatannya media
sosial yang ‘identity-less’, membuat orang mengalami gegar yang lain: gegar kesopanan.
Baca saja komentar-komentar pada tulisan yang kontroversial – anda bisa jadi pusing,
muntah, sakit perut, atau kalau anda cukup religius mungkin anda akan berdoa
dalam hati semoga yang berkomentar mendapat hidayah (ini kekinian banget
sekarang….).
Semua kegegaran
ini kelihatannya tidak pernah sangat terolah dan terobati dengan baik. Dan saya
sejak dulu memang menyalahkan sistem pendidikan yang tidak pernah cukup cepat
untuk membuat masyarakat beradaptasi dengan semua perubahan. Paradigma
pendidikan yang ada rasanya masih sama: yang penting nilai bagus, dan bukan
pada pengayaan jiwa dan pemahaman yang dalam terhadap apa yang dipelajari yang
terjadi dari proses belajar yang indrawi.
--Lalu kita kudu opo?.
Rasanya sih, kita
harus kembali pada diri sendiri. Cukup repot kalau kita lagi lagi mengharap
pemerintah akan melakukan sesuatu. PR pemerintah sudah cukup bejibun. Negeri
ini sudah dibiarkan dalam status quo sekian puluh tahun. Ada banyak hal yang
harusnya dikerjakan, belum juga dikerjakan. Pendidikan cuma salah satu di
antaranya.
Mungkin memang
kita harus kembali pada masyarakat kecil, dan yang terkecil: keluarga. Sadari dan
awasi apa gejala kegegaran yang terjadi di keluarga kita sendiri – anak-anak
kita, dan hadapi. Bukan ditakut-takuti dan dengan kepanikan, ya. Eh tapi kalau
anda suka ditakut-takuti ya silahkan. Saya lebih suka menggunakan jalur kuno
tapi selalu efektif: komunikasi face to face.
Dan saya juga
percaya orang tua adalah contoh terbaik (atau terburuk) buat anak. Saya sering
tidak bisa paham pada mereka yang menuntut ini itu pada sekolah untuk membentuk
akhlak anak. Hello, your children are still your responsibility. And they are
only at school for 7 – 8 hours maximum. Sisanya di tempat les, mungkin 2 – 3 jam.
Selebihnya? – di rumah kan? (semoga, iya…).
Anda ingin anak
anda nggak melototin gadget? – are you doing it?. Seberapa sering anda
menjauhkan telpon genggam anda saat bersama anak? (ini sambil self-toyor).
Anda ingin anak
anda sopan di media sosial? – perilaku anda, gimana?. How are you commenting?. Apa
yang anda bagi di Whatsapp Group keluarga dimana bukan tidak mungkin anak anda
juga lihat?. Apa yang anda bagi di Whatsapp Group sekolah?. Yang anda share di
Instagram anda?. Anything positive? Uplifting? Atau malah downgrading others,
and, yourself?.
Anda ingin anak
anda bisa memilih dengan baik dan dengan nalar yang sehat? – anda sendiri
pernahkah mengajarkan bagaimana caranya mendapatkan informasi yang baik dan
berargumen dengan sehat?. Ini tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.
Jadi yaaaa….kalau
memang mau anak kita lebih pandai dari sebagian besar anak yang terjaring di tes yang diulas dalam link di awal tulisan ini, PR besarnya tetap ada di kita sebagai orang tua. Sistem pendidikan
tentu tetap perlu. Tapi dengan yang ada sekarang, rasanya kita sebagai orang
tua yang harus lebih rajin meluangkan waktu buat mendidik mereka dan memastikan
mereka mendapat pengalaman indrawi yang tidak didapatkan di sekolah.
Jangan pusing
baca tulisan saya kali ini. Ditulis spontan karena gemes, sekaligus khawatir
dengan masa depan negeri penuh kegegaran ini. Semoga saja, bisa berubah..
Oh dan disclaimer: tulisan ini dibuat spontan tanpa baca latar belakang sejarah dan sebagainya, cuma pengamatan dan pengalaman pribadi hidup di Indonesia selama 40 plus tahun ini. Konsumsi blog, beda dengan konsumsi akademis. Mungkin ada yang tertarik bikin tulisan serius tentang ini, sumonggo.
hmmm.... #sedih |
No comments:
Post a Comment