Dulu, waktu saya kecil, saya suka bingung kalau Mama marah-marah
masalah pisau dapurnya.
Sebagai ibu bekerja, beliau selalu masak di akhir pekan. Ada
asisten rumah tangga atau tidak, pasti setiap akhir pekan beliau masak. Nah beliau
itu selalu punya pisau andalan. Apapun yang mau dimasak, pisau itulah
andalannya.
Yang paling asik, kalau si pisau andalan itu raib, atau tumpul
pas beliau akan mulai masak. Kelar deh nasib semua orang di rumah. Tahu kenapa
pisau itu raib atau tumpul, atau tidak, tanpa ampun semua pasti kena getahnya.
Dan buat Riri kecil waktu itu, saya selalu sebal kalau itu
terjadi karena idiiiiihhh kenapa siiiih ribut cuma gara-gara pisau!. Padahal,
di dapur kami itu selalu ada satu laci yang isinya ya itu, pisau!. Jadi selalu
ada juga pisau-pisau lain yang di kepala saya yaelah ye, pakai saja yang lain
kenapa sih?.
Bukan cuma itu, Mama juga kelihatannya selalu in the quest
of finding the best knife in the entire universe. Kemanapun kami pergi, kalau
ada toko kelontong, beliau pasti selalu akan bertanya tentang pisau. Atau kalau
sedang keluyuran ke luar kota, dan kalau Mama tahu disitu ada tempat pembuatan
pisau bagus, pasti harus kesana.
Lalu waktu berlalu dan kelihatannya pisau bukan lagi jadi
hal yang penting buat beliau. Itu juga karena semakin berumur, beliau semakin
tidak kuat untuk memasak. Walaupun kadang kalau beliau sedang kebetulan masuk
dapur dan ingin memasak, hal pertama yang akan beliau cari ya tetap sama sih:
mana pisau yang tajam. Tapi beliau tidak lagi punya pisau khusus.
Nah. Saya kira, ya sudah. Kisah tentang pisau berakhir disitu.
Lalu saya menikah.
Di kepulangan kami ke kampung halaman Cip pertama kali
sebagai suami Istri, waktu kami akan kembali ke Jakarta, Ibuk memberikan saya
sebuah bungkusan. “Ri, ini bawa ya. Pisau bagus nih, buatan sini. Kuat, tahan
karat dan nggak cepet tumpul”.
Sebagai menantu yang baik, ya saya senyum saja dan bilang
terima kasih. Padahal jujur, dalam hati saya membatin, “Astaga. Another pisau
story?. What’s with moms and knives?!”.
Di jalan, saya tanya Cip apakah Ibuk seperti Mama yang punya
obsesi terhadap pisau. Ternyata oh ternyata, cerita yang kurang lebih sama
seperti yang saya alami waktu kecil terjadi juga di masa kecil Cip. Yaaa mungkin
derajat emosinya lebih rendah, karena Ibuk dan Mama adalah dua perempuan yang
sangat berbeda. Tapi ya itu, pisau is the center of their kitchen universe. Apparently.
Amazingly.
Berbeda dengan Ibuk maupun Mama saya tidak suka memasak lauk
pauk. Hobi saya bikin kue. Jadi begitu saya menikah, ya saya juga hanya masuk
dapur hanya kalau saya mau membuat kue. Jadi, pisau dari Ibuk pun terlupakan
oleh saya.
Dan saya kira, cerita pisau berhenti sampai disitu.
Begitu punya anak, entah kenapa saya tergerak untuk masuk
dapur dan berhadapan dengan perabotan dapur lebih sering. Yang pasti biasanya untuk
membuatkan bekal ke sekolah dan sarapan anak-anak. Atau akhir pekan tertentu
kalau anak saya minta dibuatkan sesuatu (suami? – ah thank God for Go Food).
Tapi tetap saja frekuensinya tidak sesering Ibuk maupun Mama.
Jadi, tadinya, saya tidak pernah merasa harus punya alat andalan.
But one fine day, I found myself becoming like Ibuk dan
Mama.
Saya tiba-tiba merasa sebal karena selalu tidak pernah menemukan
pisau yang pas dengan keinginan saya. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk
punya pisau sendiri.
Iya, saya niat beli pisau sendiri. Yang modelnya beda dengan
semua pisau di laci pisau di dapur kami (iya…masih tetap ada satu laci yang isinya
pisau. Tapi sekarang juga bercampur dengan peralatan bikin kue saya). Yang warnanya
beda sendiri. Dan, tidak ada yang boleh pakai pisau itu kecuali saya.
Satu kali, pisau itu raib saat saya harus bikin sarapan anak-anak.
Jeng jeeeng. And that day was ruined just because I lost my knife.
Lalu apa yang saya lakukan?. Beberapa hari sesudah hari itu saya beli pisau baru. Merek yang sama. Model yang sama. Warna yang sama.
Dan saat itu saya jadi paham kenapa buat Mama dan Ibuk
kelihatannya that seemingly insignificant tool, was the center of their kitchen
universe.
Tanpa benda andalan, yang tajamnya saya tahu, yang
pegangannya pas di tangan saya, yang warnanya bikin hati senang, memasak jadi
berkurang kenikmatannya. The act of creating something with your own hands, hanya
jadi sesuatu yang rutin, yang tak berjiwa.
Atau ya as simple as mengganggu saja sih. Tiba-tiba harus
ganti pakai alat lain, yang walaupun fungsinya sama, tapi yaaaa kurang pas saja
gitu lah.
#tsaaahh moment sekali ya?. Kelihatannya memang idih banget.
Sok romantis. Yaelah pisau buat memotong aja gitu looh. Tapi wait a minute.
Buat sebagian perempuan, memasak adalah the extension of herself. Of her
love. Of the whole her. For the family (atau buat siapapunlah yang jadi penerima
masakan itu). Jadi yaaa jangan-jangan any tool yang buat si perempuan itu jadi
andalan, adalah sesuatu yang memungkinkah dia meletakkan seluruh perasaannya
pada apa yang diolah.
Mungkiiiin sama dengan sebuah dasi andalan seorang eksekutif muda. Atau bolpen andalan seorang mahasiswa.Atau kaos kaki andalan seorang pemain sepak bola.
You know, things yang sebetulnya sepele. Bisa tergantikan
kok, kalau mau. Cuma yaaa somehow ada saja sesuatu yang membuat si penggunanya
merasa, dengan benda itu, hasil kerja atau karyanya akan jadi sesuatu yang punya nilai
lebih. Bukan buat orang lain, tapi buat dirinya sendiri. Sebuah kepuasan batin
yang hanya dia yang bisa merasakan. Dan kenikmatan sebuah proses pembuatan,
yang cuma dia sendiri yang bisa menghayati. Dan hanya dengan si benda andalan
itu.
And I’m not sure if we have ever spared time to think about it.
Tentang benda sepele yang sebetulnya membuat apapun yang kita
kerjakan dengan itu, yang mungkin sebetulnya adalah pekerjaan atau kegiatan
rutin yang bisa jadi sebetulnya membosankan, tapi jadi berarti dan
menyenangkan. Benda yang saat dia hilang, kita bisa kalang kabut. Yang saat dia
rusak, kita bisa jadi sedih tanpa nalar (hmmmm….apa ada ya sedih pakai nalar…).
Dan saat digunakan orang lain, bisa membuat kita kehilangan kesabaran tanpa
sebab.
Yah. Sesekali marilah berpikir tentang hal-hal sepele
seperti itu. Siapa tahu, dengan itu, kita malah jadi lebih bisa menghargai
apapun yang sudah kita lalui, dengan benda itu sebagai elemen kecil dalam hidup
kita.
Atau, malah jadi bisa lebih mensyukuri semua elemen-elemen kecil dalam
hidup, yang jangan-jangan sudah membuat hidup ini jadi berwarna.
Who knows.
Bahkan pisaunya sudah hilangpun, tidak ada rupanya yang berani membuang tutup pisau saya yang hilang itu. See...benda sepele yang bisa berpengaruh sedemikian besar :D |