Suatu pagi di bulan November.
Tinggal saya dan Cip di dapur. Anak-anak sudah berangkat
sekolah. Cip tiba-tiba menghela nafas, ketawa, dan bilang,
“Aaahhh tahun yang aneh”.
“Eh?, kenapa?. Though
I agree, menurutku ini emang tahun yang aneh”.
“Yaaah aneh aja.
Tiba-tiba harus berubah dari nol lagi walaupun nggak literally nol”.
Dia membicarakan soal pekerjaan.
Tiba-tiba, setelah 1 dekade kerja di sebuah perusahaan, dia
harus kembali ke titik awal: cari pekerjaan baru. For many reasons. Setengahnya
personal, setengahnya lagi profesional.
Yang jelas saya tahu, it was not an easy process for him. It
was a struggle in itself karena 1 dekade, yang walaupun penuh dengan ups and
downs and there were times when he was not sure of what he was doing or if he
wanted to continue doing it, tapi jelas 1 dekade yang ‘nyaman’. Kembali ke
titik nol, bukan sesuatu yang nyaman, pastinya.
Dan kok ya ndilalah dia harus menghadapi perubahan itu di
penggal terakhir tahun 2017. Kok ya pas. Tahun baru nanti, mulai sesuatu yang
baru.
Itu kenapa 2017 jadi aneh buat dia.
Lalu kenapa buat saya, ini juga tahun yang aneh?.
Gara-gara 2 hal besar: yang satu menyangkut anak sulung, dan
satu lagi tentang anak ketiga (saya selalu menganggap Eye to Eye itu anak
ketiga saya).
Tapi intinya juga sama seperti Cip. Saya pun, rasanya,
banyak harus kembali ke titik nol di tahun ini. Saya harus banyak refleksi
tentang apa yang sudah saya lakukan, mengenali lagi diri sendiri, dan antara
terpaksa dan tidak, memaksa diri untuk berubah dalam beberapa hal.
--
Menghadapi ABG, mengubah cara pandang.
ABG. Usia labil yang penuh emosi. Dan walaupun saya juga
pernah ABG, tapi sudah tidak jamannya untuk bilang, “Dulu gue juga begini, harusnya dia juga begitu”. Jaman saya ABG,
dunia belum sesinting sekarang.
Dan semakin si sulung jadi ABG, semakin saya merasa ada sisi
dia yang saya tidak mengerti. Komunikasi kami adakalanya jadi buruk sekali.
So bad that one day, she slammed the door right in front of
my face. Dan itu, bikin saya kaget.
Reaksi pertama tentunya adalah murka. Ebuset. Dia banting
pintu di depan muka gue!.
Tapi sebelum saya keluarkan kemurkaan saya untungnya saya
sempat menahan diri. Dan sesudahnya yang ada adalah rasa sedih. Dan, kemudian,
takut.
Saya takut dia akan jadi berjarak dengan saya. Seperti
halnya saya dulu berjarak dengan ibu saya karena merasa beliau tidak pernah
100% memahami saya dan apa yang saya mau.
Saya tidak mau seperti itu, apalagi dengan jaman seperti
sekarang dimana hilangnya kemampuan komunikasi jadi akar dari begitu banyaknya
masalah di dunia.
Akhirnya, saya memutuskan kalau saya butuh bantuan. Walaupun
saya lulusan Psikologi, bukan berarti saya canggih menyelesaikan masalah saya
sendiri. Psikologi, kan, untuk anda #ilmungelessepanjangmasa.
Akhirnya saya ngobrol dengan salah satu teman saya yang
berpengalaman mengatasi masalah dengan anak remaja.
The heart of the matter was: I have to change. Saya harus
mau berpikir lewat cara pandang si sulung. Dan bukan memaksakan bahwa sudut
pandang saya A, maka dia juga harus memahami sudut pandang saya.
Klasik ya?. Begitu klasiknya, begitu lumrahnya, sampai
kadang sebagai orang tua, kita melakukannya tanpa sadar. Dan baru terbangun
saat ada reaksi negatif dari anak. Atau malah, tidak terbangun sama sekali.
Obrolan dengan teman saya menyadarkan bahwa ternyata,
sayapun melakukan hal lumrah itu.
Saya harus mengubah gaya komunikasi saya. Dari, “Menurut
bunda blablabla”, menjadi, “Kalau menurut kamu, gimana Kak?”. Tanpa saya
sadari, ternyata, saya sering sekali bergaya ceramah tanpa diminta. Padahal, si
sulung ini jenis pemikir dan sangat intraverted. Berinteraksi dengan orang lain
secara intense is just not her forte. Itu termasuk dengan orang tuanya.
Jika saya ingin didengar, maka saya yang harus mengenali
dirinya, dan sensitif untuk tahu apakah dia sedang ‘bukakan pintu’ atau tidak.
Dan bukan sebaliknya saya tanpa tedeng aling-aling barging into her life, and
give her a speech.
Pelan-pelan, saya berusaha mengubah diri. Not an easy thing.
Saya harus amat sangat self-aware saat ada dalam situasi dimana secara
otomatis, insting saya adalah ‘berceramah’. Atau, ngomel. Dengan amat sadar
saya harus menunggu apa yang si sulung ingin katakan, baru berespon. Saya jadi
harus sangat sadar dengan intonasi bicara saya supaya si sulung mau cerita
tanpa saya tanya.
Things get better now. Saya merasa Tara sekarang lebih
rileks untuk ngobrol dengan saya.
Hadiah terbesar dari semua usaha saya, saat di suatu malam
minggu kami pergi berdua saja. Malam yang sederhana, nongkrong di warung kecil
sambil cerita remeh temeh.
Dan tiba-tiba, dia cerita tentang orang yang dia taksir
waktu SD dan apa rasanya naksir cowok. Topik yang sebelumnya tidak pernah mau
dia sentuh seberapa usahanyapun saya bertanya karena saya ingin membuka obrolan
tentang perempuan dan laki-laki. Bagaimanapun juga, saat jadi ABG, itu adalah
horizon baru yang harus dia hadapi dan saya tidak ingin dia salah langkah.
Klasik, lagi, iya kan?.
Tiba-tiba saja, kesempatan itu datang.
Mendengar cerita spontannya. Perasaannya. Melihat seluruh
ekspresi wajahnya. Dan tanpa kami sadari, mengalirlah obrolan tentang jatuh
cinta, dan segala resiko jatuh cinta. Mengalir begitu saja. Tanpa rencana. Tanpa
ceramah, tapi sebuah dialog antara dua perempuan.
Dan saya bahagia.
Saya masih berproses untuk terus mengubah diri supaya tetap
eling dengan cara komunikasi yang sesuai dengan kepribadian anak yang unik ini.
Tapi obrolan malam itu, jadi sinyal bahwa I am on the right track now.
Sebagai ibunya, I always thought I knew her. Saya lupa,
kalau seiring dengan perubahan usia, dia juga akan berubah. Atau mungkin
sebetulnya, saya kira saya kenal dia, tapi sebetulnya tidak, atau belum.
Dan saya kira, saya kenal siapa saya. Tapi ternyata, ada
saat I was being someone else who I did not think I was. Saya kira saya bisa
menghindari hal-hal yang buat saya menakutkan kalau sampai saya lakukan sebagai
orang tua. Tapi ternyata, saya melakukannya juga tanpa saya sadar.
Jadi orang tua memang tidak mudah. But then, so is life. If
it was easy, why would God create us all to preserve this beautiful life?. Rasanya
karena Tuhan tahu, setiap dari kita, mampu berubah.
Wefie kami malam itu. 2 Desember 2017. She used to say, "Bunda konyol". Oh well...I'll stay like that if that's what it takes to get to her heart |
--
Berubah, tanpa mengubah
Saya bukan orang yang ambisius. Target, buat saya, tidak pernah
jadi sebuah kata yang sakral, bahkan di saat mungkin harusnya saya begitu
karena harus mengelola bisnis yang idealnya berkembang terus.
But I just can’t be like that.
Tahun 2016, dengan segala kesulitannya, kami bisa melaluinya
dan alhamdulillah baik-baik saja.
Belajar dari tahun lalu, kami banyak melakukan rencana
perubahan sebagai persiapan masuk ke tahun 2017. Salah satunya, mencanangkan
target pencapaian pendapatan perusahaan yang jumlah digitnya lebih banyak
daripada tahun lalu.
Waktu para partner ketemu buat membicarakan target, dan
angka itu dijabarkan di muka saya, saya keringet dingin. Kata pertama yang
nongol di kepala saya, “Gila kali”.
Tapi dengan argumen-argumen yang diajukan, yang walaupun
terdengar meyakinkan tapi saya tetap tidak bisa hilangkan kata ‘gila’ dari
kepala saya, akhirnya saya mengalah pada kegilaan.
Keringet dingin pake banget. Karena saya tahu resikonya.
Resiko yang paling besar, yang bikin saya yakin itu adalah
kegilaan, adalah: if that is achieved, there is no turning back. Tidak mungkin
balik ke digit yang lebih sedikit!. Akan sakit sekali kalau terpaksa mundur. Dan demotivating sekali, pastinya. I’ve been there once and it was
not at all pleasant.
Resiko lain: saya takut kami akan jadi pabrik. Yang sibuk membuat
hasil produksi, dan lupa menjadi ‘manusia’. Saking sibuknya mengejar target,
saya takut kami jadi lupa kalau kerja juga harus dengan hati.
Tapi, yang bikin saya menerima kegilaan itu karena saya juga
tahu, kalau itu tercapai, then, artinya ternyata saya dan teman-teman mampu ya
ambisius. Haha…jadi someone yang ‘nggak gue banget’.
Saya bukan orang ambisius tapi ada darah nekat di diri saya.
So I guess, itu terkilik sedikit.
Dan pastinya, kalau tercapai, akan ada banyak hal yang sebagai
sebuah tim bisa kami lakukan. Ada lebih banyak pelajaran yang akan mengayakan
pengalaman mental kami. Ada resources untuk melakukan lebih banyak – investasi
dalam hal-hal yang bisa bikin kami lebih keren (bukan oplas, tentunya….).
Dan bagi saya, berpikir bahwa perusahaan ini akan bisa lebih
membahagiakan mereka yang bekerja di dalamnya kalau target gila itu tercapai, adalah
muara dari segalanya. Itu mercusuar saya, no more, no less.
Dengan itu, di rapat tahunan kami tahun lalu, kami ketok
palu. Mengiyakan kegilaan. Dan bersama kami melangkah ke 2017.
Dan begitulah. Waktu bergulir. Kami kejar-kejaran dengan
waktu. Mengejar target, sambil terus berusaha tidak kehilangan kewarasan dalam
melakukannya.
Ada saat-saat dimana rasanya saya ingin menginjak rem (saya tidak
tahu bagaimana dengan teman-teman…mungkin merasakan hal yang sama tapi tidak
berani bilang…hehe). Ada saat-saat rasanya saya sedang nabrak tembok dan babak
belur.
Perjalanan saya untuk diving sebentar ke Pulau Weh di bulan
September, yang jadi highlight tersendiri di tahun ini, hanya ampuh menghibur
buat beberapa minggu setelahnya. Memasuki Oktober energi saya rasanya ada di
level 30% saja.
So, it was challenging. Melawan diri sendiri untuk terus
berlari saat rasanya hati hanya ingin dibiarkan sendiri untuk mengumpulkan lagi
energi.
Tapi juga ada saat dimana saya merasa sangat bersemangat.
Merasakan energi luar biasa saat para anggota tim bertepuk tangan bersama (seringkali
secara virtual lewat emoji di ruang WAG kami), begitu keluar hitungan demi
hitungan yang kami capai. Bulan demi bulan.
Dan dalam semuanya, di saat yang sama saya merasa keanehan.
Ternyata, saya tidak kehilangan siapa saya. Kami tidak kehilangan siapa kami.
Target itu tidak mengubah saya menjadi orang yang dingin. Saya
tetap bisa berpegang teguh pada prinsip bahwa bisnis ini, harus untung di dua
sisi: untung di Bank, dan untung di hati.
Saya tetap bisa menikmati proses melakukan pekerjaan yang
sudah bikin saya nggak bisa pindah ke lain hati ini. Walaupun di saat saya
sedang di titik paling lelah dan saya sempat mengeluh pada Cip, komentar dia
bikin saya ngakak, “Ya kan kamu aslinya
bukan orang yang seneng ngelayanin orang. Kalau bisa, kamu maunya nggak
berurusan sama orang kecuali orang-orang yang emotionally important buatmu.
Tahun ini kamu harus mati-matian ngelayanin klien hampir nggak ada putusnya.
Travel juga lebih jarang tahun ini dibanding tahun lalu. Ya jelaslah kamu jadi
capek banget”.
Spot on :)
Dan ternyata, kami tetap bisa solid sebagai tim. Kami masih
bisa berkarya tanpa lupa bahwa setiap karya harus memberikan sesuatu yang
berarti. Buat kami sendiri, dan buat klien.
Keanehan lainnya: bahkan dengan kegilaan yang terjadi, kami
ternyata tetap bisa melakukan beberapa perubahan. Ada beberapa hal baru yang
kami lakukan. Beberapa kesintingan kami lakukan karena kami bosan melakukan
yang itu-itu saja.
Padahal, melakukan hal baru artinya menambah beban pikiran
karena yang baru selalu butuh penyesuaian. Padahal, kami juga kehilangan
beberapa anggota tim dan itu juga pukulan lumayan buat kami. But we did all
that, with laughter (sweet or bitter laugh, let it be the personal secret of
everyone), nevertheless.
Dengan semua kegilaan itu, ternyata, kami bisa. Kami
mengejar ambisi, tanpa kehilangan hati.
Dan, di minggu pertama Desember, hello target, here we are!!!.
We have reached the finish line earlier than we expected!.
Oh my God. Luar biasa rasanya. Leganya. Herannya. Harunya.
Senang, pasti. Tapi juga cautious. Karena ini artinya justru kami harus lebih hati-hati dalam melangkah ke depan. But at least, we've learned to stretch ourselves.
Saya tidak tahu kegilaan macam apa lagi yang menunggu kami
di 2018. Tapi pengalaman tahun ini, dengan semua jungkir baliknya, betul-betul
membuka mata saya bahwa you just need to believe. In yourself, and in your
team.
Persis seperti potongan lirik lagu ‘When You Believe’ dari
Prince of Egypt yang dinyanyikan dengan keren
oleh almarhumah Whitney Houston dan si suara setinggi langit Mariah
Carey:
There can be miracles
when you believe
Though hope is frail, it's hard to kill
Who knows what miracles you can achieve
When you believe, somehow you will
You will when you believe
Though hope is frail, it's hard to kill
Who knows what miracles you can achieve
When you believe, somehow you will
You will when you believe
Yes. You’ve just got to believe. No matter how frightful or strange
it may be.
And that you can change, without losing yourself. And believe that even when you THINK you are at your lowest point, God will lift you up somehow, in ways that only He knows how.
So just believe, with all your might!.
--
A year can do so much to a person. 2017 did just that to me:
it has changed me in so many ways. It’s been a year filled with personal and
professional challenges.
Semoga semua perubahan itu membawa hasil yang manis di tahun
2018.
Dan bagi semua yang telah baik hati mampir di tulisan ini, selamat
menyambut 2018. Selamat bersiap dengan rencana apapun.
Semoga kita semua bisa berlayar dengan baik di tahun depan. Lebih
kuat menghadapi badai dan kegagalan. Lebih bisa belajar dari setiap kegagalan
maupun keberhasilan. Lebih bijak menghadapi hal yang tidak sesuai dengan
keinginan kita. Aamiiin.
Bismillah. God bless you all in your journey!!.