Sudah seminggu saya wara wiri ke beberapa penjuru Jakarta
buat sebuah kerjaan yang mengharuskan saya ketemu dengan horang-horang kayah
yang asetnya milyaran. Seminggu pula saya sudah dengar banyak sekali cerita
menarik dari setiap individunya.
Salah satunya, 2 hari lalu.
--
Seorang bapak, usianya 55 tahun. Pengusaha yang asetnya
sudah 2 digit milyar, anak sudah besar-besar. Gayanya santai, sangat terbuka,
ramah, dan sangat rendah hati.
Cerita ngalor ngidul tentang bisnisnya, dan beberapa hal
lain, saya tiba di pertanyaan tentang agama karena kebetulan si bapak
menyinggung tentang keadaan saat ini yang dia gambarkan sebagai, “Ngeri sekali lho. Orang kenapa ya nggak
ngebiarin aja orang mau beragama kayak apa, itu kan urusan masing-masing sama
Tuhan”.
Saya tanya si bapak memang agamanya apa. Dan bergulir sebuah
cerita menarik.
Dia mengaku ‘mencari agama’ sejak remaja. Terlahir di
keluarga muslim, dengan seorang nenek yang dia sebut sebagai Ustadzah, dan
keluarga yang cukup taat, ternyata tidak cukup membuat dia merasa inilah agama
yang benar.
Dia mencari dan belajar dari banyak orang dan ustadz,
termasuk neneknya. Tapi masih ada ketidakpuasan di hatinya. Masih ada
pertanyaan: apakah iya ini yang paling benar?.
Lalu di usia remaja, dia ikut-ikut teman yang kebetulan
beragama Kristen. Dia pun kembali mencari orang-orang terbaik, pendeta-pendeta
yang menurut orang paling bagus dalam mengajarkan pakem-pakem dalam alkitab. Tapi
tetap saja dia merasa belum puas.
Kemudian dia belajar tentang agama Katolik. Dia menyebutkan
nama beberapa pemuka agama Katolik yang saya juga pernah dengar katanya bagus. Tapi
itupun, belum membuat dia puas.
“Akhirnya, saya
memutuskan, agama itu malah bikin orang jadi bingung. Si A menerjemahkan 1 ayat
begini, nanti ngobrol dengan si B, lain lagi. Nah, gimana kita tahu mana yang
benar?. Padahal itu kan ayat katanya dari Tuhan, tapi yang menerjemahkan siapa?
Manusia kan?. Nah, gimana kita tahu mana manusia yang bener nerjemahinnya?. Jadi
mulai dari situ saya mutusin ah nggak penting agama apa, yang penting saya
percaya pada Tuhan yang sudah menciptakan saya, bumi dan langit. Itu saja. Sudah
cukup. Jadi kalau ditanya agama saya apa, di KTP sih Kristen, tapi saya nggak
beribadah dengan cara Kristen. Saya memilih untuk berdialog langsung dengan
Tuhan, tanpa segala batasan kitab dan ayat. Dan terbukti kok, sejak itu, rejeki
saya lancar. Saya nggak lagi ngerasa gelisah, tenaaang rasanya hati ini”.
Dan memang, sejak ketemu pertama kali, saya memang menangkap
kesan teduh dan adem itu dari si bapak. Wajah yang sangat menenangkan. Seperti ketemu
seorang bapak yang siap mengayomi, siap mendengarkan keluh kesah kita. Suaranya
lembut. Dalam menjelaskan sesuatu juga
tenang, runut, dan tidak ada sedikitpun dari suaranya yang merendahkan. Tidak ada
kesombongan disitu.
Beda pake banget dengan suara pak Ustadz dari masjid belakang
rumah yang selalu teriak-teriak sampai saya kesel, dan bikin saya beberapa kali
pakai sumbat kuping daripada terus merutuki baik suara maupun isi ceramahnya.
Atau air muka so-called habib yang saat ceramah di mata saya terlihat beringas, tidak ada alur kasih sayang pada sesama pada ekspresinya.
--
Apa yang dia ceritakan, bagaimana dia menceritakannya, dan
kesan yang ditinggalkan si bapak, melekat erat di benak saya.
Perjalanan seseorang mencari Tuhan-nya, yang buat saya
sangat inspiratif. Saya tidak pernah melakukan itu. Sebagiannya sih jujur saja
karena saya takut menemukan hal-hal yang akan membuat keimanan saya goyah. Rasanya
saya belum cukup kuat untuk menghadapi kegoyahan semacam itu. Tapi sebagiannya
lagi untungnya saya masih menemukan ada saja yang meyakinkan saya bahwa saat
ini, menjadi muslim, masih bisa menjaga hubungan saya dengan Tuhan.
Tapi saya juga percaya bahwa ada begitu banyak jalan menuju
Tuhan – dalam arti harafiah kematian maupun menemukan siapakah Tuhan dan
bagaimana cara terbaik menjalin hubungan dengan Sang Pencipta. Saya tidak
pernah terlalu peduli dengan segala aliran, dan jujur juga, agama. Buat saya,
setiap agama mengandung kebenaran. Jadi bahkan apa yang dianut si bapak inipun,
mengandung kebenaran.
Dan hubungan tiap manusia dengan Tuhan adalah sangat
personal. Tidak ada yang berhak menghakimi dan melabel. Karena kitapun tidak
tahu apakah Tuhan sebetulnya berkenan atau tidak dengan bagaimana cara
seseorang menggamit dan berdialog dengan Dia. Jika benar ada hari akhir, dimana
semua amal ibadah kita akan dinilai oleh Sang Empu, maka itulah kebenaran yang
hakiki. Bukan disini. Bukan di bumi, and certainly bukan oleh kita.
Lalu kenapa kita tidak pernah belajar untuk berhenti belajar
jadi Tuhan, ya?. Kenapa ada banyak sekali orang yang masih saja sibuk menilai tingkat keimanan dan kepercayaan orang lain terhadap Tuhan, padahal, siapakah dia? siapakah kita untuk melakukan itu?.
Mungkin yang baca tulisan ini ada yang membatin dalam hati: kebenaran
kan sudah tergariskan dalam ayat-ayatNya, gue nggak lagi belajar jadi Tuhan
kok, gue cuma ngikut apa yang ada dalam ayatNya.
Atau jangan-jangan ada yang membatin: itu si bapak sesat
banget sih, masa kayak gitu.
Nah, saya juga ingin bertanya balik: tiap agama, dalam tiap
kitabnya, jangan-jangan punya lho ayat yang sama yang menyatakan bahwa jalan
itulah yang paling benar menuju Tuhan. Lalu, mau sampai kapan kita berdebat?.
Kenapa tidak belajar legowo menerima bahwa perbedaan itu ada!. Buat apa terus
melabel, terus mencari pembenaran atas ini dan itu, terus merasa gue yang
paling benar?.
Whatever your religion is, bahkan ber-Tuhan atau tidak, itu
kelak masing-masing dari kitalah yang harus bertanggung jawab. Dan jangan-jangan, ya, nanti kita juga ditimbang berdasarkan pertanyaan
ini: seperti apakah kamu sudah memperlakukan mereka yang berbeda, mereka yang
juga Aku ciptakan tapi memilih jalan kepadaKu dengan cara yang berbeda denganmu?.
Nah. Kamu, gimana mau jawab pertanyaan itu?.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment