Melakukan hal yang baru. At least once, every year. Itu
janji saya pada diri sendiri waktu ulang tahun ke 40. Kenapa?,
yaaaa….sebagiannya karena saya tidak ingin cepat tua dan pikun. Melakukan hal
baru kan artinya saya harus belajar dan beradaptasi. Katanya itu mencegah
pikun.
Sebagiannya lagi karena saya memang aslinya pembosan. Saya
tidak pernah tahan dengan rutinitas. Jadi saya harus selalu punya alasan untuk
mendobrak rutinitas saya sendiri.
Tahun ini, saya lakukan itu dengan pertama kalinya memutuskan
untuk ikut dive safari. 5 hari, yang
kerjanya tiap hari cuma diving di spot yang berbeda-beda, di Bali. Melakukan
perjalanan sendiri, sudah sering. Tapi yang begini, ya baru ini.
Yang saya temukan, bukan cuma keindahan bawah laut Bali yang
menawan. Mulai dari pulau Menjangan di Pemuteran, lanjut ke Tulamben, lalu
Padang Bai.
Tapi yang juga asik, seperti biasa kalau saya jalan
sendirian, ada cerita manusia yang sebetulnya ada di sekitar kita bahkan
mungkin kita juga alami, yang selalu menarik untuk diselami.
--
Di sela-sela sesi penyelaman, saya ngobrol dengan dive guide
yang nemenin sepanjang 5 hari itu.
Sempat kuliah di Universitas Hasanudin, jurusan Hubungan
Internasional. Di semester 7, dia makin merasa bahwa ini bukan dunianya.
Walaupun nilainya baik-baik saja, tapi dia merasa ‘nggak nyambung’ dengan apa
yang dipelajari. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah.
Karena senang main online games, temannya menawarkan dia
untuk kerja di bidang IT. Dari situ, dia mengumpulkan uang dan mengambil kuliah
D3 Informatika. Setelah beberapa lama kerja di Makassar, ada lowongan pekerjaan
sebagai tenaga IT di sebuah resort di Bunaken. Iseng, dia coba, dan ternyata
diterima.
Bekerja disana membuat dia juga jadi melihat banyak dive
instructors. Sebagai pecinta alam (katanya selama kuliah dia lebih sering
nongkrong di markas dan ikut kegiatan Mapala dibanding ada dalam kelas), dia
tertarik. “Kayaknya kok asik gitu. Saya jadi
pengen tahu. Terus saya bilang bos, boleh nggak kalau kerjaan saya udah
selesai, saya ikut diving. Eh dibolehin”.
Mulailah dia belajar. Dari Open water diver, Advanced dan
terus sampai Master.
“Bos saya terus
bilang kok kamu kayaknya lebih pantes ngerjain ini ya. Mau nggak jadi dive
guide dan instruktur aja. Ya saya nggak mikir lagi, saya iyain karena emang
saya seneng. Lagipula saya juga mikir IT mau kemana sih. Saya kan cuma lulusan
D3. Mau kuliah lagi udah males lah saya. Dan jadi dive guide juga bayarannya
lumayan”.
Dan sekarang, sudah lebih dari 15 tahun dia melakukan ini.
Seperti banyak pekerjaan, ada suka dukanya. Sebagai dive
guide, dia yang harus bertanggung jawab pada keselamatan tamunya. Dan bagaimanapun
juga menyelam membutuhkan kondisi fisik yang selalu prima yang kadang membuat
dia berpikir bagaimanapun juga usia berpengaruh. Belum lagi selalu ada faktor
alam pada setiap penyelaman yang seringkali sulit untuk diperkirakan sehingga
dia harus selalu siaga.
Tapi sampai sekarang dia juga masih menemukan momen yang
membuatnya senang misalnya kalau harus menemani tamu ke spot yang jadi
favoritnya.
“Kayak yang spot kita
berikut ini nih mbak, itu favorit saya karena suka ketemu yang lucu-lucu aja. Saya
juga seneng kalau tamunya bisa ketemu yang mereka cari. Jadi ya walaupun capek,
tapi masih ada lah yang saya enjoy dari kerjaan ini. Tapi kalau ada yang bilang
eh kamu enak ya ngerjain hobi tapi dibayar, ya saya bingung juga. Hobi kalau
udah jadi kerjaan kan ya sama aja kayak kerjaan yang lain. Ada tanggung jawab
disitu, udah nggak bisa lagi dibilang hobi”.
Waktu dia bilang begitu, saya jadi ingat kata-kata ‘find your
passion and make it your job’, or something around that line, yang pernah
sangat populer. Entah apakah sekarang masih populer. Tapi sejak pertama saya
dengar kalimat itu, saya tidak pernah setuju.
Passion itu melibatkan emosi. Emosi, paling sedikit delapan
puluh persennya, melibatkan hati. Padahal, pekerjaan membutuhkan faktor logika
yang sangat besar karena ada unsur profesionalitas dan tanggung jawab disitu. Persis
seperti yang dibilang si Pak dive guide itu.
Jadi alih-alih bilang bahwa itu adalah passion si dive guide
ini, saya sih bilang bahwa dia beruntung bahwa akhirnya menemukan apa yang dia
senang lakukan, dan lalu dibayar untuk itu.
Dan memang tidak bisa dipungkiri, bahwa bekerja di bidang
yang sangat kita senangi itu melegakan. Dive guide saya mengakui itu. “Tetap capek dan ada beratnyalah. Tapi ya
seneng karena paling nggak saya nggak ngerasa terpaksa ngelakuin ini”.
Itu, adalah rejeki.
--
Cerita lain bergulir dari dive guide lainnya yang saya temui
waktu harus berbagi kapal dengan 2 kelompok tamu lain.
Seorang perempuan. Bahasa Inggrisnya bagus sekali. Dia kebetulan
menemani tamu yang kedengarannya dari Perancis. Dengar dia berbincang dengan
tamunya saya sudah menduga ini harusnya bukan orang yang sekedar belajar bahasa
Inggris demi jadi guide.
Selesai diving, baru saya sempat ngobrol.
Ternyata dia lulusan UI, fakultas MIPA jurusan Biologi.
Melanjutkan S2 di Queensland, jurusan Biologi Kelautan.
Kembali ke Indonesia, cita-citanya adalah menjadi peneliti
laut. Melamar ke LIPI, dan tidak diterima dengan alasan yang menurut saya
teramat sangat konyol.
“Di LIPI itu mbak,
kalau ada 2 kandidat yang kemampuannya sama, tapi satu perempuan dan satu lagi
laki-laki, yang akan diterima ya yang laki”, katanya.
“What?, kok konyol,
atas alasan apa?”, tanya saya.
“Nggak tahu juga ya. Mungkin
karena lebih mudah kali ya buat laki-laki untuk ditempatkan dimana aja,
termasuk tempat terpencil”.
“Lho tapi kalau udah
ngelamar jadi peneliti kan udah tahu dong harusnya resikonya, mau dia perempuan
atau laki. Iya gak sih?. Aneh banget”, seperti biasa, saya selalu nyolot
kalau dengar masalah ketidaksetaraan seperti ini.
Sambil ketawa, dia, “Ya
gitu lah mbak kenyataannya. Terus saya sempat kerja di NGO setahun. Wah selama
itu kerja saya cuma berantem sama kantor pusat. Terus saya lihat ada dive
center ini, saya coba ngelamar, diterima. Orang tua saya sih protes, ngapain
sih kamu udah S2 malah cuma jadi dive guide. Ah akhirnya saya bilang mereka lho
kenapa, pays very well, better than jadi peneliti, dan hidup di Bali jauh lebih
enak dibanding di Jakarta yang bikin pusing”.
Waduh…ini mah rejeki kuadrat, kalau ada ‘tinggal di Bali’ in
the equation, batin saya.
Tapi dengar ceritanya saya juga sedih.
Indonesia mungkin sudah kehilangan peneliti handal yang
punya dedikasi tinggi. Perempuan muda ini kelihatan sekali cerdas, dengan
kemampuan bahasa yang sangat handal. Entah sudah ada berapa orang seperti dia,
yang terlempar keluar dari dunia penelitian Indonesia yang sebetulnya sangat
butuh tenaga ahli, cuma gara-gara alasan yang (buat saya sih) tidak masuk akal.
Tapi ya mungkin dengan keberadaan dia di dunia pariwisata,
malah ada untungnya juga. Dengan pengetahuan yang dia punya, dia malah bisa
menjaga supaya tamunya punya pengetahuan tentang apa yang dilihat. Dan dia juga
ikut aktif di usaha tempat kerjanya menjaga lingkungan. Pengetahuan dia tentang
laut, tetap sangat berguna.
--
Dua orang dengan dua cerita yang serupa.
Dua-duanya sama-sama masih menyelami dunia yang mereka
cintai, di tempat yang kaya dengan semua yang mereka suka.
Dua-duanya sama-sama melalui ‘perjalanan’ sebelum akhirnya mendarat
di tempat mereka sekarang.
Dua-duanya tidak berangkat dari premis, “Saya kerja untuk
cari uang”, tapi dari melakukan hal yang mereka sukai, mereka menemukan bahwa
itupun bisa menghidupi.
Do what you love and the money will follow, kata sebuah
quote entah oleh siapa.
Tidak semua orang bisa seberuntung itu. Tapi menurut saya,
semua orang harusnya berusaha untuk menemukan jalan itu. Karena kerja, mau
tidak mau kita lakukan lebih dari separo usia kita. Kalau bukan mengerjakan
yang kita cintai, betapa tersiksanya…
(R I R I)