Baru hari ini saya sempat nonton La La Land yang sudah
dibahas kanan kiri. Komentar yang saya baca, kayaknya banyak sekali seputar
baper gara-gara kedua tokoh film ini memilih untuk berpisah demi mengejar
impian masing-masing.
Tara bahkan cerita ada temennya yang nangis nonton ini
gara-gara, “Sedih banget filmnya katanya”.
Tapi mungkin pada dasarnya saya memang suka cerita tragedi,
makin banyak yang baper saya malah makin penasaran apa sih ceritanya. Dan, saya
suka musikal. Buat saya segala garapan musikal patut ditonton karena ini sesuatu
yang tidak linier. Ada olah suara, olah tubuh, dan segala olah lainnya yang
kalau mau dipikir gimana bikinnya kok ya super njelimet. Bikin film biasa aja
udah njelimet, apalagi film musikal.
Dan, betul, saya terpukau.
--
Yang main jelas lah keren. Literally cantik dan ganteng
(Ryan Gosling gitu loh…hadeuh…plus main piano….hadeuh…). Mainnya juga bagus
banget. Alur cerita yang mengalir halus banget – nggak ada sepenggalanpun film
itu yang bikin saya pengen ngalihin mata ke tempat lain. Menyihir, mengikat,
bikin betah.
Cerita tentang cinta yang harus patah tengah jalan karena
persimpangan mimpi. Buat saya itu nggak bikin baper sih. Malah rasanya itu
realistis sekali: when you think your feet can take you somewhere much further
if your heart is not tied to someone or something, then might as well free yourself
up so you can move faster. Nggak mudah memang. Tapi yah siapa sih yang pernah
menjanjikan hidup bakal mudah?. Apalagi kalau sudah berurusan dengan hati.
Saya malah terkesan dengan cerita tentang cinta Sebastian
pada jazz. Jazz yang murni, seperti akarnya di New Orleans dulu saat karena
kendala bahasa orang nggak bisa ngobrol tapi malah menemukan musik untuk menyatukan
mereka. Jazz yang berubah setiap saat dimainkan, penuh improvisasi, setiap
pemain punya hak tampil dengan caranya dan alatnya sendiri.
Betapa keukeuhnya dia harus punya jazz club di sebuah klub
samba-tapas, sampai rela tiap pagi nongkrong minum kopi di depan tempat itu,
ngebayangin one day it may become his. Dan kalau dia bisa bikin klub itu, dia
juga keukeuh bahwa hanya jazz yang murni yang akan dimainkan disitu.
Dia tahu jazz seperti yang dia cintai itu makin lama makin
pudar cahayanya, terancam punah. Tapi justru karena itu dia yakin dia harus
mempertahankannya dengan caranya sendiri.
Tapi memang, dia kere. Main dari satu klub ke klub lainnya,
yang dia yakini punya pakem yang sama dengan dia, nggak bikin dia makin dekat
dengan mimpinya.
Lalu dia ketemu Keith, teman lama yang ngajak dia main dalam
jazz band yang dibentuk Keith. Awalnya dia menolak. Tapi karena dia pikir Mia,
pacarnya, ingin dia lebih sukses, akhirnya dia memutuskan untuk bergabung
dengan Keith demi mendapatkan uang.
Dan disini saya suka banget dengan konfliknya.
Saya suka dengan perbincangan Keith dan Sebastian di latihan
pertama mereka, “You are better than any players here but you are a pain in the
ass”.
Keith yang memasukkan unsur electronic dance ke dalam aransemennya, yang
buat Sebastian adalah dosa besar untuk pakem jazz yang dia cintai. Sementara dari kacamata Keith, jazz tidak akan selamat kalau
tidak berevolusi, jika tidak bisa menarik minat anak muda. Jazz di klub yang
dicintai Sebastian cuma didatangi orang tua.
“You want to be revolutionary, but
you stay traditional”. Itu, menurut saya
keren banget. Dan, bener banget terutama buat jaman sekarang.
Coba saja lihat sekitar kita. Banyak hal yang kalau kita
menolak buat berevolusi seiring jaman, pasti akan punah. Batik, contohnya. Ada masanya
batik dianggap sakral tapi juga dianggap cuma cocok untuk orang tua.
Lalu, batik pelan-pelan beradaptasi. Model baju batik mulai
beragam. Lalu dibuat tas beraneka bentuk dan cara aplikasi. Dibuat jadi aksesoris
yang lucu. Bahkan di alat rumah tangga. Tiba-tiba semua orang jadi cinta batik.
Padahal bisa jadi sebelumnya mau pakaipun tidak, kecuali mungkin sebagai daster
atau baju kondangan.
Persis seperti yang dikatakan Keith. Mau revolusioner, mau
mengubah atau mempertahankan sesuatu, tapi mikirnya tetap harus tradisional ya ruwet.
--
Kita boleh saja cinta pada sesuatu – apapun itu dari profesi
sampai hobi, tapi lalu bukan berarti kita harus keukeuh dengan bentuk ‘dasar’
sesuatu itu. Mempertahankan cinta terhadap apapun itu seringkali tidak salah,
tapi cara mengekspresikannya agar tetap relevan dengan jaman yang mungkin perlu
ditelaah. Jangan-jangan memang perlu ada sedikit (atau banyak, tergantung apa
yang kita pertahankan), adaptasi agar dia jadi bisa diterima dalam konteks masa
kini. Apalagi kalau ada urusannya dengan cari penghasilan dari situ.
Tapi ya itu juga harus dikembalikan ke diri kita
masing-masing. Yang kita cari apa?. Kalau mau dapat hasil yang lebih baik
(alias hepeng lebih lancar), menurut saya evolusi itu penting sekali. Kalau hanya
cari kepuasan emosional, uang sedikit ya nggak apa-apa tapi ada kepuasan dengan
mempertahankan yang tradisional itu, ya monggo.
Semua ada konsekuensinya, dan
tentunya butuh pemikiran yang berbeda.
--
Dan, gara-gara cerita cinta Seb pada jazz ini, sementara orang
lain baper karena Mia dan Sebastian putus, saya malah baper karena lalu terpikir
gimana supaya profesi yang saya cintai bisa berevolusi. Dan gimana saya bisa
berevolusi sebagai pribadi supaya tetap relevan di dunia yang terus berubah.
Mari menyambut hari Senin.
Yang satu realistis, satu idealis. Mau jadi yang mana? - tergantung mau mencapai apa kita. Tapi jangan-jangan, selalu ada jalan tengah. |
(R I R I)
No comments:
Post a Comment