Sejak baru menikah, kami tinggal di rumah orang tua saya
karena ibu saya tinggal sendiri.
Di awal pernikahan, pas banget kami sedang tidak punya
pembantu. Tanpa ada kesepakatan apapun, Cip dan saya berbagi pekerjaan rumah
tangga dan nggak ada pakemnya siapa harus kerjakan apa. Pokoknya siapa yang
bisa ya kerjakan saja.
Hasilnya, saya dulu sering banget kena tegur ibu saya. Sekarang
juga masih tapi jauuuh lebih jarang. Mungkin beliau mulai lelah.
“Riri, kok dibiarin sih Cip nyuci piring di belakang”
“Itu kok suami kamu yang ngurusin cucian"
“Kamu gimana sih suami dibiarin bikin mie sendiri, bukannya
dibikinin”
Saya biasanya kalau ditegur begini, saya samperin Cip nanya, “Kamu ngapain sih ngerjain ini?”. Tentunya sambil cengar
cengir. Dia dulu suka jawab, “Bilang Mama, santai aja Ma, mantunya aja gak
apa-apa kok dicuekin istrinya”, sambil balas cengar cengir.
Lalu kami punya anak. Dan komentar ibu saya juga tidak
berhenti.
“Ya ampun masa Cip yang ngebedong Tara, kamu nggak bisa?”.
Nyatanya memang dia lebih jago ngebedong bayi. Bedongan saya luluh lantak dalam
waktu kurang dari 3 menit. Kalau dia yang bedong pasti tahan.
“Kok Cip yang belanja ke supermarket sih Ri. Kamu emang
nggak bisa?”. Dulu karena saya sering sekali harus kejar waktu supaya sampai
rumah sebelum jam 6 sore untuk nyusui Tara yang masih ASI eksklusif, kami
sepakat sesekali Cip yang belanja ke supermarket setelah saya kasih daftar
belanjaannya karena saya nggak sempat. Dan kami nggak suka ke supermarket di
akhir pekan. Sesekali itupun akhirnya sempat jadi rutinitas bahkan setelah Tara
sudah nggak ng-ASI karena saya nggak suka belanja bulanan. Grocery shopping is
just not my forte, I never enjoy it, believe it or not.
Dan masih banyak printilan lainnya yang dikomentari ibu
saya.
Intinya adalah, menurut beliau, ada kompartemen yang khusus
istri, ada yang khusus suami. Demikian beliau melihat kehidupan Datuk dan
Nenek, dan demikian pula yang beliau terapkan di pernikahannya.
Dengan pakem tersebut, jadilah saya dan Cip terlihat ajaib
di mata beliau. Suami kok cuci piring. Suami kok cuci botol susu anak. Suami
kok belanja ke supermarket sambil ngegembol si kecil (iya ini juga. Dulu saya sering
harus keluar kota atau negeri karena tuntutan kerjaan. Kalau saya nggak ada, Cip
kadang ngajak Tara ikut ke supermarket. Dan kesepakatan kami adalah: kalau
masih bisa dipegang sendiri, babysitter di rumah saja. Di mata ibu saya ini
juga ajaib…).
Tidak ada yang salah dengan hal itu. Saya sama sekali tidak
sedang menyalahkan ibu saya. Saya juga nggak kesel dikomentari beliau. Itu ekspresi
sayang beliau pada saya. Lagipula, saya harus menerima bahwa every person has
grown up and accustomed to beliefs and values that existed in that era.
Ibu saya besar di jaman yang beda dengan saya, dan lalu
harus beradaptasi dengan jaman yang berbeda pula. Normal saja.
Tapi memang, saat jaman berganti, pasti akan terjadi friksi
antara apa yang kita yakini benar dari hasil pendidikan masa lalu kita, dengan
apa yang di jaman yang baru diyakini benar.
--
Di akhir tahun 90an, terutama di kota-kota besar, mulai
bergaung sedikit demi sedikit tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam menjalankan
peran di rumah tangga. Termasuk, dalam pengasuhan anak.
Mungkin sebagiannya adalah hasil dari makin banyaknya
perempuan yang bekerja, sehingga makin dibutuhkan peran serta sang suami untuk
mengurus anak-anak dan rumah.
Saya banyak baca artikel yang membahas bahwa saat krisis
melanda kita di tahun 1998, perempuan ternyata menjadi tonggak penting di masa
itu untuk membangun kembali ekonomi rumah tangga. Dan hasilnya, suamipun jadi
makin terlibat dengan urusan rumah tangga. Mungkin sebagiannya tadinya ‘mau
nggak mau’. Tapi lama kelamaan jadi menjamur.
Waktu saya kembali ke Jakarta di tahun 1999 setelah 2 tahun
numpang hidup di negeri orang, saya sempat kaget juga mulai melihat laki-laki
yang belanja ke supermarket. Belanja di lorong sayur. Belanja di lorong susu
anak (dan membaca tulisan di kemasan, bukan ngeliatin SPG). Belanja di lorong
gula dan tepung. Sebuah pemandangan yang bisa dibilang langka saat saya
meninggalkan Jakarta 2 tahun sebelumnya.
Dan sekarang, sudah tidak asing melihat para ayah yang
menggendong bayi dengan gendongan bayi. Atau ayah yang makan berduaan dengan
balitanya. Atau ayah yang menceracau dengan si bayi dengan bahasa bayi yang
lucu (apalagi kalau ayahnya juga ‘lucu’….aduh… #eeehhh). Para ayah yang antar
jemput anak ke dan dari sekolah. Ayah yang bacain cerita dari buku My Little
Pony pada gadis kecilnya di sebuah kafe. Ayah yang pulang kerja lebih cepat untuk
mendampingi si kecil belajar.
Emaknya leyeh-leyeh, ayahnya yang jagain anak-anak. |
Di kalangan teman-teman sayapun hal-hal semacam ini sudah
tidak asing. Kami, Generation X yang kebetulan jarang banget sekarang diomongin
thanks to The Millenials yang katanya nyebelin itu, mengadopsi nilai kesetaraan
itu dengan cukup mulus menurut saya.
Friksi kami mungkin memang ada pada saat menghadapi para
mertua yang asing dengan hal itu. Asing dengan pemandangan suami masak, atau
cuci botol susu, atau gendong bayi dengan gendongan bayi yang melilit itu. Atau
bahkan dengan istri yang kerja (or in my case, istri jalan-jalan sendirian…my
poor mom rolled her eyes on this one, sorry mom :D), sementara bapaknya ngurusin
anak.
--
Pengalaman pribadi, dan melihat fenomena kesetaraan di
kalangan teman-teman saya sendiri, suka bikin saya iseng mikir tentang masa
depan. Bagaimana nanti, saat anak-anak saya dan mereka yang segenerasi dengan anak-anak
saya, berhadapan dengan kami para mertua.
Mungkin komentar saya akan beda sekali dengan
komentar-komentar ibu saya. Alih-alih mempertanyakan kenapa suami anak saya
yang cuci piring, jangan-jangan malah saya yang nyuruh menantu saya cuci piring
dan nyapu rumah sementara saya ngajak anak saya shopping.
Akan sangat menarik untuk menunggu saat itu datang. Oh ya
tentunya mikir anak nanti menikah bukan sesuatu yang menyenangkan, sih…gimanapun
juga buat saya my babies are still my babies. Membayangkan mereka akan keluar
dari rumah menjalani hidupnya sendiri, walaupun harus saya akui ada sisi diri
saya yang akan sangat feel liberated, tetap saja akan ada sisi hati yang galau.
But still, to wait how we as a generation become in-laws. Berdiri di garda belakang nontonin dan
mungkin juga akan ngrasani gimana anak-anak kita menjalani kehidupan keluarga
mereka, adalah sesuatu yang asik untuk ditunggu.
Oh well…every generation has its growing pains. Saya yakin,
generasi anak saya bakal punya cerita unik lain tentang berurusan dengan orang
tua atau mertua, yang akan sangat beda dengan apa yang saya alami.
Tapi satu hal yang saya syukuri adalah, banyak dari kita yang
sudah belajar buat jadi setara di bawah satu atap. Kita sudah belajar bahwa
peran suami bukan cuma nitipin sperma dan ngasih uang belanja. Suami, dan ayah,
adalah partner sepanjang jalan selama kita mengemban tanggung jawab sebagai
orang tua. Anak, nggak akan jadi hebat, kalau ayah dan ibu nggak saling
membantu apapun yang harus dilakukan sejak dia lahir sampai kelak bisa berdiri
sendiri.
--
Dan kalau masih ada laki-laki yang kepalanya masih
terkotak-kotak dengan, “Ini tugas gue, itu tugas istri gue”, daripada dimarahi,
mendingan dibilang gini, “Tahu gak sih, loe tuh jadi desirably sexy and
irresistible kalau mau gendong anak, mau nyuapin anak, ngobrol asik berdua anak.
Pokoknya ikut ngurusin anak. Macho, ganteng dan sexy bangeeeetttt.
Ngurusin anak itu male sexiness redefined".
Masa iya ada laki yang nggak luluh digituin. Itu kan
layaknya buah zakarnya dicolek. Betul?.
Ya asal jangan mertua yang ngomong gitu.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment