Bukan, ini bukan mau bikin cerita tandingan Bondowoso yang
berusaha bikin seribu candi buat si cantik Roro Jonggrang.
Ini cerita tentang membangun jembatan hati. Yang
memang, nggak mungkin juga terbangun cuma dalam 1 akhir pekan. Tapi rasanya,
usaha menuju kesana, bisa dimulai dari suatu akhir pekan.
--
Waktu remaja, saya ngalami berdebat dengan ibu saya tentang
hal-hal yang menurut saya sepele. Saya yang nggak pernah rapi, nggak pernah
sudi pakai rok kecuali ke sekolah dan acara pesta, yang kamarnya selalu
berantakan kecuali hari Minggu (karena itu hari dimana saya beresin kamar). Dan
sederetan hal lain yang selalu sukses bikin saya kena omel.
Katanya, anak perempuan memang akan mengalami itu dengan
ibunya. Akan terjadi gesekan di usia remaja, karena ibu punya ekspektasi
tertentu tentang ‘menjadi perempuan’ dan pastinya si anak juga punya ekspektasi
dan keinginan yang lain, yang bukan nggak mungkin bertentangan dengan maunya si
ibu. Saya, nggak luput dari yang begitu itu.
Lalu ada almarhum Papa. Orang yang dalam masa-masa itu saya
anggap sebagai ally, sekutu terbaik
karena beliau jarang berkomentar. Dan yang paling saya ingat: sederetan
perjalanan berduaan dengan beliau. Saat kami bercerita tentang banyak hal remeh
temeh, saat saya kenal siapa Pak Rustam di masa kecil dan masa-masa perang di
tanah Jawa.
Saat-saat itu terpatri kuat di benak dan hati saya. Saya
hanya ingat sekelebatan kecil tentang tempat-tempat yang kami datangi – yang
seringkali entah ada di mana. Tapi, sampai sekarang, saya masih ingat rasa yang
ditimbulkannya: nyaman, hangat, aman.
--
Begitu punya anak, yang dua-duanya perempuan, ketakutan saya
kembali pada ingatan saya di masa remaja saat saya sering berdebat dengan Mama.
Saya tahu hal itu tidak mungkin dihindari, tapi saya juga ingin paling nggak
saya masih bisa nyambung dengan mereka.
Masalahnya, saya punya stok sabar yang lumayan tipis.
Cip menjuluki saya ‘the dog whisperer’, karena dua hal.
Pertama karena entah gimana anjing galakpun bisa diam kalau saya dekati
pelan-pelan. Kedua, karena menurut Cip (dan belakangan saya terpaksa mengiyakan
observasinya), kalau saya sudah marah pada anak, keluarlah suara dalam, berat,
nggak kenal kompromi, dengan kalimat-kalimat singkat, macam pelatih anjing yang
bilang, “Blacky, sit”. Ganti saja itu
dengan, “Tara, bisa nggak dengerin aku”.
Atau, “Lila, beresin mainannya”. Dan
memang, kalau saya sudah begitu, tidak ada satupun yang bakal berani membantah
saya.
Cip juga bilang kalau saya kadang terlalu keras pada Tara.
Terlalu sering meminta dia melakukan ini itu. Terlalu sering bilang kalau dia
salah melakukan sesuatu. Terlalu sering ngomel. Dan dia sering mengingatkan
saya supaya kalau mau marah pada Tara, stop
and breathe, supaya saya menahan diri dan tidak bikin dia merasa terlalu
sering dikritik oleh bunda.
Diingatkan seperti itu pastinya bikin saya takut. Saya
berusaha nahan diri kalau sadar darah mulai naik saat menghadapi Tara. Tapi
gimanapun juga selalu ada saat-saat dimana suara meninggi dan kami jadi
berdebat – apalagi sekarang, saat hormon perempuan di tubuhnya mulai beraksi.
--
Suatu hari, saat Cip dan saya sedang duduk-duduk di warung
di siang yang panas di kompleks Angkor Wat, kami ngobrolin anak-anak. Saya
menyuarakan kekhawatiran saya: saya sadar saya sering kehilangan kesabaran, apa
mungkin nanti Tara akan tetap bisa merasa saya adalah ibu yang bisa jadi tempat
dia cerita. Apakah mungkin saya bisa mematri rasa itu di benaknya: nyaman,
hangat, aman.
Dan, datanglah tantangan itu dari Cip.
“Travel gih berdua
Tara. Over the weekend aja dulu. Nggak usah jauh-jauh. Kalau kalian bisa nggak
bertengkar selama 2 hari itu, aku ganti semua expenses kamu di perjalanan”.
Dua hal di ide itu: travel dan tantangan, kontan saya
terima. Itu, adalah kesempatan terbaik buat membangun pelan-pelan jembatan yang
lebih kuat di antara hati kami. Jembatan yang dibangun di atas sebuah
petualangan kecil. Yang mengingatkan saya pada apa yang dulu saya alami bersama
almarhum Papa.
Dan saya selalu percaya: perjalanan mengeluarkan kita dari comfort zone. Dan saat itu, kita akan
jadi siapa kita yang sebenarnya – tanpa topeng. Itu, adalah saat terbaik buat
membuka diri pada siapapun.
Dengan itu, saya mulai petualangan kami yang pertama.
--
Sebuah perjalanan pendek, ke Borobudur dan Punthuk Setumbu
untuk lihat sunrise, jalan-jalan ke Yogya, dan ke Prambanan dan sekitarnya.
Perjalanan, yang ternyata, seperti yang saya duga, belum
bisa imun dari pertengkaran (dan pastinya, saya nggak jadi dapat ganti biaya perjalanan deh :D).
Tara menikmati naik ke Borobudur dan menunggu sunrise. Tapi
ternyata minta dia bangun jam 4 pagi, lagi, keesokan harinya untuk ke Punthuk
Setumbu adalah sebuah kesalahan. Kombinasi dia capek karena hari sebelumnya
kami jalan cukup lama, dan fakta bahwa, “Ini
kan liburan, kenapa sih jadinya aku harus bangun pagi terus”, itu ternyata killer combination untuk bikin dia
jengkel.
Tapi kami menikmati kekonyolan-kekonyolan yang terjadi. Kami
ketawa ngakak saat Google Maps membuat kami tersesat ke jalan desa yang buntu dan sedang
diperbaiki. Kami menikmati obrolan-obrolan remeh temeh. Saya ketawa dengerin
Tara cerita tentang sekolah dan teman-temannya.
Saya ganggu dia tentang periode naksir-naksiran, yang
ternyata, belum dia rasakan. “Kak, kalau
nanti ada cowok bilang suka sama kamu, gimana”. Dan dia jejeritan sambil
ketawa bilang, “Aaah bunda, ngapain sih
ngomongin itu”. “Lho Kak, itu akan terjadi satu hari nanti lho. Kamu juga akan
suka sama cowok satu hari nanti. Sekarang aja belum”.
Dan dia ngakak nggak bisa berhenti – ngebayangin naksir
cowok buat dia ternyata masih sebuah hal yang aneh, lucu, dan ini yang asik: jijik. Saya bilang, “Sekarang
mungkin njijik’i, nanti, kalau kamu lebih besar lagi, that may be one of the
best feeling you can have: to like and be liked by a guy. Percaya kata bunda
deh”. Dan dia malah makin ngakak.
Di tengah ketawa-ketawa itulah saya coba sisipkan
pesan-pesan sederhana tentang menjaga diri dan kehormatannya sebagai perempuan.
Saya juga ceritakan kekhawatiran saya tentang masa depannya dan kenapa, saya
mungkin sering ngomel. Tapi ternyata, di mata Tara, “Bunda emang kadang-kadang bossy, nyebelin banget kalau lagi gitu. Tapi
bunda konyol. Kelakuan bunda kadang-kadang aneh gitu, jadinya lucu aja”.
Hmmm....kredibilitas macam apa yang sedang saya bangun di mata anak saya,
ya....hahahaha.
Obrolan-obrolan yang terjadi mengalir begitu saja. Saya juga
nggak bermaksud menasehati dia, tapi untuk lebih memahami dia, dan mendengarkan
dia dengan sepenuh jiwa raga saya.
Saya juga belajar dalam dua hari itu, bahwa saya yang harus
berubah. Saya yang harus beradaptasi.
Perjalanan kemarin mengajarkan saya bahwa saya harus mulai
menghormati area yang dia inginkan. Saya harus mulai melibatkan dia, menyusun
itinerary misalnya, mencari tempat-tempat asik untuk nongkrong dan makan. Saya
harus belajar untuk nggak pakai agenda saya saat merancang perjalanan.
Saya belajar bahwa mendengarkan dia, sesepele apapun
ceritanya, adalah hal yang menyenangkan. Bahkan saat saya nggak ngerti apa yang
dia ceritakan, tetap menyenangkan.
Tara sedang baca sebuah novel karya Tere Liye, dan dia
menceritakan cuplikan-cuplikan cerita dari novel itu. I had no idea what she
was talking about, tapi mendengarkan dia, yang seperti ingin mengajak saya
menyelami apa yang sedang dia nikmati, rasanya menyenangkan sekali.
--
Waktu nunggu pesawat pulang ke Jakarta, saya kirim pesan via WA ke Cip: I had a great time. Nggak tau apakah Tara juga had a
great time.
Jawaban Cip bikin saya senyum: ah dia kan sebenernya bangga
dan sayang sama bundanya, pasti seneng jalan sama kamu, nggak usah ditanya.
Ya mungkin. Entah, saya memang nggak nanya. Yang jelas, ada
candu baru di hidup saya: perjalanan berdua saja dengan dia, dan kelak akan
saya lakukan juga dengan adiknya, membangun jembatan-jembatan kecil, yang bikin
nyaman, hangat dan aman.
Kenapa harus berdua saja? – karena, saat itulah saya bisa
bikin dia merasa, bahwa saya ada disitu cuma buat dia. Persis seperti yang saya
rasakan dulu setiap almarhum Papa ngajak saya pergi berdua. Saat-saat yang kami
nikmati sepenuhnya. Cerita-cerita yang kami pupuk pelan-pelan. Dan rasa yang
terpatri kuat. Itu, tak tergantikan. Jadi jembatan hati yang abadi, tak lekang
oleh waktu.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment