Change is
the only constant in life.
Sering banget denger itu ya. Dan sekarang ini, entah
gara-gara kedekatan yang luar biasa dengan gadget yang namanya smartphone yang
kadang-kadang sialnya mendekatkan kita pada berbagai berita dari seluruh
penjuru dunia, atau memang bumi berputar lebih cepat; rasanya perubahan demi
perubahan terjadi in a blink of an eye.
Tapi adakalanya juga, kita ngerasa, “Kok gue nggak berubah-berubah sih ya. Kok gue tetep aja rasanya
sebloon dulu. Nggak melakukan sesuatu yang baru. Muter disitu-situ aja.
Reinventing the wheel. Again and again and again”, dan lalu tiba-tiba
merasa muak pada diri sendiri karena merasa stagnan.
Saya sedang tiba di titik itu. Sejak beberapa bulan yang
lalu. Restless with myself. Feeling that I need to change something, anything,
dalam bagaimana dan apa yang saya kerjakan. Di dunia yang sudah sekian tahun
saya selami ini.
Bukannya malah merasa makin tahu saya merasa makin bodoh.
Makin nggak tahu apa-apa. Dan, merasa nggak kunjung berubah di saat dunia
tampaknya menuntut perubahan dalam gimana saya kerja dan menyelami pekerjaan
saya.
Lalu saya mutusin saya harus belajar lagi dari sesama
praktisi. Pergilah saya minggu lalu ke sebuah konferensi. 2 hari yang dipenuhi oleh
sejumlah orang-orang keren yang mempresentasikan hasil kerjanya. Studi-studi
kasus yang membuka mata saya, dan membuat saya belajar tentang hal-hal baru dan
memberikan ide-ide yang segar.
Tapi bukan itu saja yang saya bawa pulang.
--
Karena acara itu dilakukan di negeri jiran, saya menggunakan
kesempatan itu buat ketemu teman-teman lama. Dan, dari merekalah, saya
mendapatkan sesuatu yang lain.
Kami sudah lama nggak ketemu. Beberapa di antaranya malah
sudah hampir hitungan 2 digit tahun. Lalu bertemulah kami di sebuah restoran –
9 of us. Dan seorang teman berinisiatif
supaya kami saling cerita apa saja kegiatan kami saat ini, and how life has
been treating us.
Human stories, were then always interesting and impactful.
Ada yang mencoba jadi wirausaha, yang sangat berbeda dengan
dunia korporat yang dulu dia geluti. Buka food stall di bandara Changi, karena
dia suka masak dan punya resep andalan warisan ibunya. Tapi setelah setahun
lebih, memutuskan untuk menghentikannya karena ada terlalu banyak tantangan dan
beberapa di antaranya sulit untuk diatasi. Padahal, business was good.
Keuntungan juga lumayan. Tapi dia memutuskan bahwa ada terlalu banyak hal yang harus
dikorbankan, salah satunya adalah kedekatan dengan anak-anaknya.
Sekarang, teman ini sedang mencari pekerjaan lagi. Dengan
uang tabungan yang sudah menipis karena digunakan untuk membuka usahanya.
Dengan seorang istri dan dua orang anak.
Yang bikin saya sangat ingin memeluk dia saat dia cerita
adalah ini: bagaimana wajahnya tetap berseri dan tersenyum saat cerita. Saya
ingin memeluk dia dan bilang, “Thank you
for STILL being the same person that I knew, the same person who is now sitting
there making me ashamed at how much time I felt like giving up while my
problems were nothing compared to yours!”.
Saya tetap menangkap dia yang sama yang saya kenal
bertahun-tahun lalu sebagai seorang yang mumpuni di bidangnya di dunia korporat,
yang selalu penuh kegembiraan. Malam itu kami duduk bersama, dia cerita tentang
kehidupannya dengan senyum padahal dia juga tahu sekarang sulit untuk menemukan
kembali pekerjaan yang sama dengan posisi yang sama dan pendapatan yang sama di
usia yang tidak muda lagi.
Bagaimana tetap dengan senyum dan optimisme dia bilang, “I will take whatever job that I can get as
long as I can learn about it and from it. Doesn’t matter if the pay is lower
than what I usually got. But that will be a way to go somewhere. I will do it”.
Dalam hati saya, sambil ngeliatin dia setengah menahan air
mata karena terharu melihat optimismenya, saya membatin, “If only more and more people think like him, then we will need no
motivators” (ups...maaf...tapi jujur...kadang kita hanya butuh mendengarkan
cerita orang lain untuk bisa belajar dari pengalaman orang lain, yes?, dan
bukan cuma sejumlah kalimat penyemangat).
Lalu ada teman lain yang cerita bahwa dia harus mengubah
gaya hidupnya, terutama dalam hal makanan, karena baru saja terbebas dari
kanker payudara setahun (atau dua tahun...saya tidak ingat detilnya) yang lalu.
Saya yang duduk di sebelahnya spontan merangkulnya – I know how scarry that
must have been. She survived, thanks to deteksi dini dan dukungan dari
keluarga, tentunya. Tapi sekali lagi saya melihat hal yang sama di wajahnya:
keberanian merangkul hidup yang penuh tantangan ini, dengan segala
ketidakpastiannya. Keberanian untuk bilang, “I
survived. And now I have to make changes in my life to make sure I stay healthy”.
Lalu saya ketemu teman lain lagi di hari berbeda. Seseorang
yang bertahun-tahun lalu selalu bikin saya melongo kalau lihat laporan yang dia
buat. Yang dulu sering bikin saya berpikir, “Gue
kemana aja ya, kok segini doang ilmu gue. Kapan bisa kayak dia”.
Baru punya anak di usia yang sama dengan saya. Berada di
industri yang sekarang ini memang sedang nggak asik untuk perusahaan-perusahaan
besar apalagi di Singapura. Sejumlah ketidakpastian sebagai pekerja asing.
Ketidakpastian tentang apakah jika harus kembali ke negerinya sendiri keadaan
akan lebih baik atau malah makin buruk. Dengan seorang anak lucu berusia 18
bulan.
Tapi yang dia bilang pada saya, “I don’t want to think about it. Just think about it when it happens.
Worrying about it doesn’t do much now anyway”.
--
Perubahan selalu merangkul kita. Dan kita sendiri juga seringkali
menginginkan perubahan dalam kehidupan kita sendiri kan, apapun itu. Tapi
perubahan juga bukan sesuatu yang mudah dicapai atau dihadapi.
Yang saya bawa dari pertemuan dengan berbagai teman itu
adalah: beranilah menghadapi perubahan itu. Atau bahkan juga beranilah mengubah
sesuatu dalam hidup kita. It’s inevitable anyway, what choice do you have but
to be brave?. What choice do you have other than embrace it and march on?.
Jatuh, bangun, merangkak di saat kita tadinya sudah bisa
berlari. Berjalan perlahan, mungkin harus tertatih, tapi yang pasti, bergerak
terus. Rasanya itu yang harus bisa dilakukan saat diterpa perubahan atau harus
berubah – apapun itu.
Dan yang saya pelajari dari teman-teman saya itu adalah
juga: don’t fuss about the future too much.
Saya diajarkan oleh orang tua saya untuk merencanakan hidup.
Sampai sekarang saya percaya itu penting. Tapi rasanya ada satu yang saya lupakan:
plan you may, but worry too much about whether your plans are going to happen
or not, you may not. Itu, rasanya saya masih harus banyak belajar.
Mendengar cerita teman-teman saya itu, saya seperti dicubit,
ditegur: Riri, slow down. Dont’ be too hard on yourself, you’re not doing too
bad, in fact you’re OK and that’s OK!.
Hidup memang penuh tantangan. Dan sebentar lagi, tahun akan
berganti (kemarin saya lewat Ecobar di Kemang – ini bar pasang penghitung hari
di luar, mengarah ke jalan raya, menunjukkan berapa hari lagi dalam tahun itu
tersisa, dan sakit perut saya lihat angka disitu: 59). Pasti akan ada lebih
banyak perubahan, dan makin banyak dan beragam tantangan yang harus kita
hadapi. Apakah kita akan mengkhawatirkannya, sekarang?.
Mungkin jawabannya adalah bukan khawatir, tapi, mencari
keberanian macam apa yang harus kita bangun mulai hari ini supaya nggak loyo di
tengah jalan.
Atau mungkin, mencari apa yang bisa kita jadikan mercusuar
keberanian saat jalan yang harus dilalui terasa berat, dan kita hanya bisa
berjalan lambat padahal ingin berlari.
Ada Tuhan, pasti. Tangan Tuhan selalu bekerja dengan cara
yang misterius. Itu saya percaya banget. Tapi mungkin, selain itu, kita juga
butuh yang kasat mata (tolong saya jangan dilempar ayat..), yang bisa ngingetin,
“I am OK and going to be OK no matter
what”. Entah siapa, mungkin pasangan kita, teman, guru, mentor, atau bahkan
mungkin, anak! (iya, para orang tua, jangan egois, anak kita juga bisa jadi
sumber keberanian).
Siapapun itu, ada baiknya keeping them in mind. Sebagai
contoh hidup, bahwa whatever balls life may throw at you from whichever curve
and angle, we will and shall survive.
--
Mungkin hujan dan udara ngelangut ini yang bikin saya
tiba-tiba jadi nulis yang semelankoli ini. Tapi yang pasti sih saya ngerasa
cerita-cerita yang saya dapat minggu lalu terlalu berharga untuk saya simpan
sendiri. Walaupun, mungkin, saya yakin kalau Anda sedang baca ini sekarang,
Anda mungkin mikir: ah ini kan udah sering banget gue denger.
Doesn’t matter to me. Saya bahagia punya teman-teman yang
punya keberanian yang bisa saya contoh. That when I feel like curling myself up
and hide from this world, I will remember them and what they have gone through,
and I march on taking their courage as my example.
Itu saja.
(R I R I)