Akhirnya kesampaian juga saya nonton film
Tiga Dara yang direstorasi.
Mengingat film ini dibuat tahun 1957, ‘baru’ 12 tahun
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, saya jujur saja punya bias
terhadap kehidupan masa itu. Sebagiannya dari cerita-cerita orang tua, sebagian
lagi sebetulnya rekaan otak saya saja sebagai orang yang hidup jauuuh setelah
masa itu.
Di bayangan saya, tutur kata si tiga dara dalam film ini
pasti yang modelnya masih lemah lembut pada orang tua. Nggak ada tuh
bantah-bantahan dengan orang tua – apalagi dengan nenek. Bapaknya pasti tipe
yang cuek banget, nggak bisa diajak ngobrol, nggak bisa diajak kolaborasi dan
kompromi.
Dengan segala asumsi itu, semalam saya nonton. Dan amat
sangat menikmati filmnya. Dan ada rasa bangga juga dengar lagu-lagu gubahan
almarhum om saya yang nggak pernah sempat saya kenal, Saiful Bahri.
Selesai nonton, saya malah jadi mikir ini: apa iya sih tiap generasi
itu berbeda?.
--
Nonton film ini terus terang buat saya feelingnya ya seperti
nonton interaksi antara orang tua dengan anak jaman sekarang saja. Ketiga dara
ini sangat open bicara pada ayahnya, bahkan pada neneknya. Nggak mau ya bilang
nggak mau. Nggak suka ya bilang nggak suka. Mau ganggu ayah atau neneknya ya
diganggu aja. Nggak ada sungkan. Nggak ada batas-batas yang tadinya di kepala
saya pasti kaku banget lah.
Nah nggak tau ya apakah memang karena ini film. Tapi salah
satu yang bikin saya suka nonton film adalah karena percaya bahwa film
menggambarkan sebagian kenyataan dalam masyarakat. Pasti ada bumbunya, tapi
saya selalu percaya kalau mau merasakan sebagian denyut suatu masyarakat,
nonton lah filmnya.
Film-film Eropa misalnya, selalu terkesan pabeulit. Ada
segmen cerita ini, lalu cerita itu, lalu cerita anu, tapi tahu-tahu nanti
muaranya satu. Entah gimana ntar pokoknya pasti saling nyambung. Dan...umumnya
akhir ceritanya bikin melongo. Entah melongo karena aduuuh ampuuuunn tragisnya
(tapi ya hidup memang tragis...piye...), atau melongo karena oalaaah ngono
tooooh, atau melongo karena aduh kok ya begitu ya bagusnya (yang ini biasanya
karena pemandangannya).
Itu buat saya menggambarkan Eropa yang multidimensi,
beragam, dan dihantui masa lalu yang sebetulnya tragis gara-gara Hitler dan
saya percaya itu mempengaruhi bagaimana orang Eropa memandang hidup.
Nah film Tiga Dara kurang lebih buat saya menggambarkan jiwa
di masa itu. Indonesia yang sedang membangun, sedang semangat. Filmnya terasa
sekali energi positifnya – bahkan dengan topik yang buat perempuan kayak saya
yang ngerasain dirasani orang karena umur 30 belum juga menikah, bikin
gemes...hahaha. Neneknya pengen ‘tak pites.
Tapi yang saya nikmati sekali adalah bagaimana film ini membuka
mata saya tentang interaksi ortu dan anak di masa itu. Ternyata ya, di jaman
apapun, kelakuan anak ke ortu ya sama aja kok: ngebantah juga, ngeyel juga. Dan
di film itu digambarkan ngebantahnya ya sama aja dengan saya dulu, atau Tara
sekarang. Bapaknya juga walaupun sibuk tapi ternyata seru – bisa diajak
kompromi dan kolaborasi demi kedamaian kakak beradik itu.
Tapi setelah nonton film itu semalam saya jadi ingin tahu
juga sih: jangan-jangan model interaksi seperti itu belum lazim sebetulnya di
jaman itu. Jangan-jangan film itu bikin heboh di jamannya karena mendobrak
pakem. Nah saya belum sempat browsing tuh. Dan nggak tahu juga apakah ada
cerita-cerita tentang bagaimana film yang sangat sukses di jamannya ini,
mempengaruhi pandangan masyarakat kala itu.
--
That aside, kita kan suka ngomel ya, “Anak sekarang
blablablabla....”. Dan blablabla itu beragam dari dimensi yang positif sampai
negatif. Dari yang makin pinter dan kreatif sampai makin kurang ajar dan nggak
tahu adat.
Tapi nonton film semalam saya jadi mikir: jangan-jangan itu
ketidakadilan penilaian buat generasi selanjutnya. Mungkin iya benar bahwa
konteks kehidupan berubah, sarana yang mengelilinginya berubah, sehingga pasti
ada sisi-sisi perilaku yang berubah. Tapi jangan-jangan yang kita tuduhkan pada
mereka juga tidak benar.
Jangan-jangan kita yang TERLAMBAT berubah. Kita
yang masih gagap meningkahi semua perubahan. Masih pakai kacamata lama untuk
melihat sesuatu yang sudah jauh berbeda. Jadi alih-alih menyalahkan generasi
selanjutnya, jangan-jangan kita yang harus berhenti menilai mereka dan mulai
menilai diri sendiri: sudahkah saya paham apa yang sedang terjadi dengan
dunia?, dan dengan itu paham bagaimana saya harus beradaptasi?.
--
PR besar, itu: memahami bagaimana kita harus berubah. Karena
itu terjadi dengan alami buat anak-anak kita – mereka sedang tumbuh dan besar
bersama perubahan itu. Lha kita, gimana nih. Jadi sebetulnya, sama seperti
pesan yang saya tangkap dari film Tiga Dara itu adalah, bagaimana kita sebagai
orang tua mau mengikuti perubahan yang sedang dialami anak-anak kita.
Termasuk
menghargai setiap pengaruh perubahan itu pada perilaku mereka – selama itu
baik. Dan menggiring mereka ke koridor yang baik DAN SESUAI DENGAN PERUBAHAN
JAMAN, saat kita merasa arah mereka mulai melenceng. Definisi melenceng pun
jangan-jangan harus dikalibrasi juga setiap kali jaman berubah.
Saya sih bisa nulis gini. Pada prakteknya, masih berjuang. Sama sekali tidak mudah. Butuh waktu-waktu dimana saya harus diam dan kontemplasi, terutama saat saya marah pada anak-anak. Lalu bertanya: adilkah saya marah?, is it them or me who was wrong in thinking that they are wrong to be like that?. Ah kadang malah bikin gemes sama diri sendiri.
Mari kita belajar bersama. Semoga kita bisa jadi orang tua
yang lebih baik dan lebih ‘change friendly’ :)
(R I R I)