Dua atau tiga hari lalu, ada status teman di Fesbuk yang bilang pelajaran empati harusnya ada dalam kurikulum sekolah.
Empati. Apaan sih itu?.
Ada
salah satu kutipan yang selalu saya ingat, yang saya nggak sengaja baca
di sebuah dinding gereja di Melbourne, yang menurut saya sangat pas
menggambarkan empati: Don't do unto others what you don't want others do
unto you (iya saya Muslim, jangan rewel kalau saya pakai kutipan dari
agama lain. Sensitif itu kadang nggak ada gunanya, lho). Jangan lakukan
terhadap orang lain apa yang kamu nggak mau orang lain lakukan
terhadapmu. Keren abis, menurut saya. Makna paling inti dari empati.
Mengacu pada status teman saya, saya membatin: lalu apa iya empati itu tugas sekolah?.
Saya
ingat almarhum Papa (iya. Gw emang bangga banget sama bapak gw, gimana
dong..) yang secara tidak langsung membuat saya paham tentang kutipan
itu tadi.
Banyak hal-hal kecil yang beliau lakukan dalam
kesehariannya. Misalnya sekali dua hari, beliau selalu keliling halaman
rumah kami yang ditanami macam-macam pohon, dan memastikan tidak ada
satupun cabang yang menjulur ke lahan tetangga dan menjatuhkan entah
daun atau buah busuk ke halaman orang. Papa punya golok pribadi khusus
untuk memotong dahan dan cabang pohon. Beliau juga memastikan aliran air
dari garasi mobil saat beliau mencuci mobil, tidak mengalir ke jalan
karena itu fasilitas umum - beliau buatlah selokan kecil yang
mengalirkan balik air itu ke tanah halaman kami sendiri (dan akhirnya
terserap balik oleh tanah kami - keren abis ya bapak gw!). Saat saya
mulai belajar nyetir, beliau cerewetnya minta ampun: jangan pencet
klakson sembarangan!; matiin lampu kamu kalau ada orang jalan berlawanan
arah sama kita di jalan yang sempit, silau buat orang itu!; jangan
parkir sembarangan nanti orang susah lewat!.
Mama juga
melakukan banyak hal yang mengajarkan kami tentang itu. Tapi mungkin
karena saya jauh lebih banyak menghabiskan waktu bersama almarhum Papa,
yang banyak sekali nempel di kepala saya ya perilaku beliau.
Iya.
Perilaku. Beliau bukan orang yang banyak omong. Tapi apa yang beliau
lakukan, jadi contoh luar biasa buat kami anak-anaknya.
Jadi
saya yakin bahwa empati itu dibentuk dari rumah. Berakar dari para
orang tua. Ditularkan pada anak-anak. Sekolah mungkin bisa membantu
menyuburkannya, tapi akar itu dibentuk dari rumah kita sendiri.
Lalu
ada banyak sekali fenomena di sekeliling kita sekarang, yang bikin saya
jadi suka bertanya pada diri sendiri: kemana si empati itu?, liburan?.
Atau tepatnya kemana mereka yang seharusnya menularkan empati?. Lupa?.
Seperti misalnya yang baru heboh sekarang soal pilpres. Keputusan hukum sudah keluar. Lalu kita gimana?.
Yang mendukung si pemenang pasti senang. OK fine.
Yang
tadinya tidak mendukung - OK lah kalau masih tidak ikhlas. Tapi apa iya
perlu mendoakan yang buruk-buruk?. Jujur saya sedih..
Bukan sedih karena saya kebetulan mendukung yang menang, tapi sedih karena ya itu: si empati itu lagi-lagi tidak muncul.
Saya
pernah ada dalam posisi dimana saya yakin ada banyak orang yang ragu
saya bisa memimpin. Di awal umur 30. Perempuan pula. Baru melahirkan
pula - namanya ibu baru emang bisa bagi perhatian dengan baik?. Emang
saya punya kemampuan untuk itu?. Apalagi perusahaan sedang dalam titik
harus lari sekencang mungkin mengejar kompetisi, emang punya nyali dan
energi buat ngadepin itu?.
Sayapun meragukan diri saya
sendiri. Ada pertengkaran hebat di hati saya. Kalau bukan karena
dukungan keluarga dan teman-teman terdekat, saya nggak akan berani ambil
tantangan itu. Ada orang-orang yang percaya saya bisa. Dan saya nggak
mau mengecewakan orang-orang itu dengan tidak mencoba.
Terus apa hubungannya dengan Presiden baru?.
Pernah
nggak sih teman-teman yang terus menerus menguarkan aura negatif itu
berpikir bagaimana rasanya perasaan diragukan, apalagi didoakan untuk
gagal?. Atau saya balik pertanyaannya: kalau elo digituin, mau?. Dan
pernah nggak sih teman-teman mikir bahwa ada orang-orang yang percaya
dia bisa, apa akan kita biarkan dia tidak mencoba?. Kalau elo digituin,
mau?.
Ya ya ya of course ini konteksnya adalah negara
dengan sekian juta ratus ribu sekian keinginan dan agenda dan entah apa
lagi. Ya pasti ada sekian juta ratus ribu sekian alasan untuk tidak
berempati. Tapi pernahkah kita sadar, bahwa ini juga adalah tentang
kita?. Kalau dia gagal, yang kena getahnya juga siapa?. Kalau kita sudah
berdoa supaya dia gagal - guess what, seluruh fakultas di tubuh kita
juga akan berusaha supaya dia gagal. Terus, gimana?. Daripada ngedoain
gagal bukannya mendingan doa yang baik-baik saja untuk semua?.
Kekuatan
doa katanya bisa menolak bala. Itu saya yakin dan sudah buktikan
sendiri. Lha kalau ada yang nggak percaya pada kemampuannya, atau pada
siapa di belakangnya, atau ada kekhawatiran dia dikuasai
kekuatan-kekuatan jahat, ya lakukanlah sebaliknya: doakan dia mendapat
pertolongan dan petunjuk dari segenap penjuru semesta supaya tidak
gagal, karena kegagalan dia akan berimbas ke kita juga, bukan?. Daripada
ngedoain dia gagal. Terus ntar, kita-kita juga yang susah, bukan?.
Dan
pernahkah terpikir bahwa kemampuan berempati itu juga artinya adalah
memperbaiki hati kita sendiri?. Emang loe gak capek mantengin kapaaan ni
orang gagal yaa?. Emang nggak pernah ya ngebayangin apa yang terjadi
dengan hati dan seluruh sel di badan loe saat loe berpikir negatif?.
Empati
itu rasanya bukan cuma berkaitan dengan orang lain, tapi juga dengan
diri kita sendiri. Berempatilah pada segenap bagian dari tubuh ini -
yang setiap hari sudah kita dera untuk melakukan apa yang harus kita
lakukan. Yang setiap hari sudah kita 'rusak' dengan kebiasaan-kebiasaan
buruk kita: makan nggak bener, istirahat nggak bener, gerak badan nggak
bener. Maukah kita tambah bebannya dengan menyimpan pikiran dan energi
negatif?. Kasihan juga Tuhan yang sudah memberikan tubuh yang sedemikian
sempurna.
Yah ini sekedar renungan aja. Dan ini tidak cuma terbatas pilpres. Tapi juga keseharian kita.
Berempati
itu secara nggak langsung juga membuat kita berpikiran positif tentang
banyak hal di sekitar kita, karena kita kan juga nggak mau disakiti kan.
Jadi....jangan biarkan dia liburan dan pergi dari hati kita...
Friday, August 22, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)
Bayangkan
Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...
Popular Posts
-
On my birthday, I found this statement: Life doesn’t get easier, you just get stronger. At a glance, it seems true. It feels right....
-
For the whole trip, we hired a car from a guy called Andre (082170551155). He’s got quite a good rate so you can check him out. We we...
-
My learning about current characters that children love started from bookstores. That was also how I found out about Franklin , the creati...
-
I had wanted to go to Madura since I bought my first Madurese batik in one of the handicraft show, about 3 years ago. Something fascinated m...
-
“If a Torajan has a lot of money, he would not spend it on traveling like you do. He will keep his money to finance the death ceremonies...