Gara-gara belum bisa move on alias ketagihan sejak ‘kerja
sehari’ di Kelas Inspirasi Jakarta #3 bulan April lalu, saya dan teman-teman sekelompok
(yang diberi nama keren ‘Sixpiration’ oleh salah seorang dari kami – kelompok nomor
6 J), berencana akan balik
lagi ke sekolah tempat kami mengajar sehari, di SDN Kembangan Utara 06 Pagi.
Hari dan bulan berlalu. Di tengah kesibukan kami
masing-masing, dan UKK di sekolah, akhirnya kami baru melaksanakan niat ini
tanggal 14 Juni 2014.
Karena hanya berenam, kunjungan kali ini kami memutuskan
untuk hanya mengajar siswa kelas 4 dan 5. Jadilah kami memisahkan diri menjadi
2 trio – trio pertama bertanggungjawab mengajar kelas 4 dan 5 A, dan trio
lainnya mengajar kelas 4 dan 5 B.
Well, kata ‘mengajar’ mungkin kurang tepat, berbagi sambil
bersantai mungkin lebih tepat.
Rencana kami sederhana saja. Saat melakukan Kelas Inspirasi,
juga kalau dengar cerita-cerita dari para fasilitator KI, rasanya yang
dibutuhkan anak-anak ini adalah budi pekerti, dan perilaku-perilaku baik yang sederhana
dan bisa mereka lakukan dalam keseharian mereka. Jadi kami memutuskan untuk
mencari video sederhana yang bisa menampilkan perilaku sehari-hari.
Pilihan kami jatuh pada video dari Greeneration tentang
sampah (Petualangan Banyu di Negeri sampah: http://www.youtube.com/watch?v=wvN5XUp-gFk)
dan listrik (Petualangan Banyu dan Elektra Menyalakan Kota http://www.youtube.com/watch?v=Dk9Qonlxv6E).
Kami akan nobar, kedua kelas akan nonton film yang berbeda.
Setelahnya kami
akan minta mereka menggambar. Kelas yang nonton tentang sampah, membuat gambar
tentang lingkungan yang bersih dari sampah dan bagaimana menjaganya. Kelas yang
nonton tentang listrik, membuat gambar tentang listrik di lingkungan mereka dan
bagaimana jika pasokan listrik tiba-tiba habis. Lalu beberapa orang akan
diminta cerita tentang gambar mereka.
Saya kebetulan ada di trio yang berbagi tentang sampah.
Awalnya jujur saja saya skeptis mereka akan bisa duduk diam
dan menonton video ini. Karena saat ditanya, “Mau nonton nggak?”. Kompak, “Mauuuuu!!!”.
Dan ada yang nyeletuk, “Mau film setan bu!”.
Ehem...dalam hati saya, yah
sudahlah, kalau mereka tahu-tahu meninggalkan kelas karena bosan dengan film
ini, yang cuma berdurasi 14 menit lebih, paling tidak kami sudah berusaha.
Saat film berlangsung, saya senang juga melihat mereka
kelihatan cukup tertarik.
Menunggu film diputar |
Menyimak... |
Deretan paling depan yang bergelimpangan :) |
Setelah nonton, kita ajak mereka tanya jawab seputar film
yang barusan ditonton. Siapa tokohnya, apa ceritanya dan sebagainya. Waktu saya
tanya, “Kalian pernah nggak buang sampah sembarangan?”. Banyak sekali yang
jawab, “Pernaaahhh!!”, sambil tertawa. Saya tanya kenapa, jawabnya, “Males cari
tempat sampah”, ada yang bilang, “Nggak ketemu tempat sampah”. Ada lagi, “Temen-temen
lain juga buang sembarangan”.
Hehe....saya cuma bisa nyengir dalam hati. PR besar nih
mengubah perilaku seperti ini, yang dilakukan tanpa merasa bahwa itu salah. Artinya
sih sepertinya kalau nanti kami berkunjung lagi, pesan tentang jangan buang
sampah sembarangan itu tampaknya harus diulang....lagi, lagi dan lagi jika
perlu.
Selanjutnya, acara menggambar. Mereka kami bagi dalam
kelompok bertiga atau berempat, dan menggambar lingkungan yang bersih dari
sampah.
Nah ini yang jadi sumber kejutan buat saya.
Saya pernah membaca ulasan Prof. Sarlito di link ini: http://www.toktokwow.com/2014/06/anak-anak-masih-diajari-menggambar.html?m=1.
Ya saya pikir menggambar gunung kembar dengan garis lurus-lurus yang notabene
tidak akan kita temukan di alam semesta, itu hanya terjadi di masa kecil saya. Ternyata....saya
salah besar.
Ada 2 hal kompak yang dilakukan hampir semua (jika tidak
semua) siswa: (1) mengeluarkan penggaris, dan (2) mengeluarkan buku gambar berisi
gambar-gambar mereka sendiri dan mencari mana yang bisa mereka tiru (mungkin
memang hari Sabtu ada ekskul menggambar – saya tidak tahu, karena semua murid
menyimpan buku gambar dan karya mereka di tas masing-masing).
Dan saya lumayan kaget lihat banyak sekali gambar gunung – kembar
maupun tidak, dengan pakem dan aura yang kurang lebih sama. Dan saya juga kaget
melihat semua kelompok menggunakan penggaris untuk membuat beberapa elemen dari
gambar mereka – dari membuat horizon, sampai membuat tepi jalan. Bahkan teman sekelompok
saya bilang ada yang menggunakan busur untuk memastikan garisnya tegak lurus!.
Kejadian ini terjadi juga di kelompok trio lainnya. Bahkan teman
saya sampai ada yang berkomentar, “Geometrical freak banget deh jadinya
kesannya mereka ini”.
Ada satu dua kelompok di kelas ini yang gambarnya berbeda - bukan gunung dengan pakem yang sama. Tapi perilaku MENIRU APA ADANYA, dan tidak berusaha mengubah elemen apapun dari apa yang mereka tiru, itu ada di setiap kelompok.
Mencari contoh...pilihan mereka jatuh pada gunung kembar... |
Mencontoh gambar pegunungan |
Walaupun tidak terlalu terlihat, kelompok ini sudah siap dengan penggaris untuk menggambar horizon |
Walaupun mencontoh gambar yang sudah pernah dibuat sebelumnya, tapi lumayanlah kelompok ini menggambar sesuatu yang cukup berbeda - rumah pohon |
Selesai acara menggambar ini, kami pulang ke rumah
masing-masing. Saya dengan beban di benak saya.
Ini sudah tahun 2014. Yang saya hadapi kemarin itu adalah
generasi kesekian di bawah saya. Tapi kenapa pakemnya tidak juga kian berubah?.
Tidak, saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Ini juga mungkin
adalah salah satu dampak dari perilaku pembiaran kita semua, yang sering tidak
lakukan apa-apa walaupun sudah tahu ada yang salah. Ya termasuk saya.
Ini adalah sekali lagi potret pendidikan kita – yang tidak
pernah jauh dari hafalan, yang tidak pernah jauh dari ini benar dan itu salah.
Yang kedua itu tidak ada salahnya jika yang kita lihat adalah bukan perilaku
yang harusnya kreatif dan bebas dari kungkungan. Kalau ini adalah acara berbagi
tentang hukum – mungkin saya tidak merasa ada beban... Ini adalah menggambar –
perilaku yang ada di tiap anak yang pada dasarnya senang corat coret. Anak-anak
yang punya ranah kreatif yang luas. Dan semuda itu pula, di kelas 4 SD,
ranah itu sudah terdistorsi.
Sementara saya percaya kreatifitas anak harus dipupuk dan
bukan dipatahkan. Karena kreatifitas bagi saya adalah keterbukaan cara berpikir.
Dan itu yang akan membantu negeri ini, sekarang dan di masa depan, untuk bisa
melangkah lebih jauh. Saya saja suka jengkel kalau Tara sudah bilang, “Tapi
kata bu Guru kayak gitu”. Biasanya saya akan ceramah panjang lebar bahwa dia
harus punya pemikirannya sendiri, apapun yang bu Guru sudah utarakan di kelas.
Dan baru saja 3 hari yang lalu, di perayaan ulang tahun ketiga
usaha saya dan teman-teman, kami baru saja juga merayakan gegap gempitanya
Indonesia. Yang sedang berubah. Yang makin kinclong dan jadi perhatian dunia. Lalu
tiba-tiba, di tempat yang lain, saya melihat ada sesuatu yang seperti sudah
jadi tumor, di dalam sebuah sistem yang harusnya jadi dasar semua perubahan:
pendidikan.
Lalu apa yang akan kita, atau saya, lakukan kemudian?. Ini adalah
generasi kesekian yang akan jadi penerus saat saya mungkin sudah bongkok dan
pikun dan terlalu lelah untuk melangkah. Mau jadi apa mereka, dan negeri ini,
kalau saya tetap diam?.
Kejadian kemarin meyakinkan saya bahwa saya tidak boleh berhenti.
Tidak sekarang. Tidak selamanya.
Mungkin sesi berikutnya adalah sesederhana meminta mereka menggambar apapun yang belum pernah mereka gambar, tidak mencontoh punya teman, menggambar apa saja yang ada di benak mereka dan menceritakannya setelah selesai. Saya percaya sekali kegiatan menggambar itu stimulasi asik untuk otak anak-anak. Sederhana, tapi mengena.
Semoga langkah-langkah kecil sekarang, kelak bisa mengubah
segelintir dari mereka. Tidak perlu muluk-muluk mengubah semuanya. Satu atau
dua orang saja, semoga bisa berubah. Demi negeri.
(R I R I)