Palembang. Top of mind?: Jembatan Ampera, dan Pempek.
But just like with other areas in this lovely country, I’ve
always been intrigued to find out, “What else is there?”.
Dan setelah selalu jalan di daerah Jawa, Bali, Lombok,
rasanya tahun ini kami ingin lakukan sesuatu yang berbeda. Dan keluar deh
idenya Cip: let’s make 2013 a ‘Visit Sumatra’ year. Dan, jadilah (eh...bukan
kunfayakun lho maksudnya :D). Keluar deh rencana: Palembang, Ranah Minang,
Medan dan Aceh...across the year.
Bagian pertama, Palembang. Kebetulan pas: ada long weekend,
dan Tara baru selesai UTS. Jadi, both bunda dan Tara butuh liburan :D
Kami tiba di Palembang di sore hari. Tanpa buang waktu,
jelang dos, pempek!. Pas sudah lapar pulak (and we all know what airline food’s
like). Meluncurlah ke Pempek Candy yang ramainya ajiiibbb sekaliii. Setelah
itu, kami meluncur ke Jembatan Ampera.
My very first impression saat menuju Ampera: ini kok
jalannya menarik ya, naik turun. Tiba-tiba teringat San Fransisco. No I’ve
never been there. Tapi kan di pelem-pelem sering lihat, so it should count lah
yauw :D
Anyway, kenapa inget SF?. Karena kontur naik turun itu tadi
di sepanjang jalan menuju Ampera. Kan di SF juga selalu digambarkan kontur
jalannya naik turun. Nah itu ya kurleb mirip laaah. Plus, jembatan di
penghujungnya.
Kami parkir di depan Benteng Kuto Besak. Ini ‘kraton baru’
yang pembangunannya diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, tapi baru
dilaksanakan oleh penerusnya Sultan Mahmud Bahauddin. Dari luar, dan dengan
lampu redup, kelihatannya tempat ini keren untuk dijelajahi. Sayangnya, tempat
ini masih jadi markas tentara, jadi saya bunuhlah niat exploring tempat ini di
hari berikut...hiks...
Hari sudah gelap saat kami tiba disitu. Nah, di sepanjang
pelataran itu, banyak sekali tukang jajanan. Yaaa basic-lah, mie goreng, nasi
goreng, dan segala jajanan rakyat lainnya. Tapi buat orang Jakarta yang selalu
kesulitan cari oasis, sekedar tempat jalan kaki sambil dapat pemandangan dan
angin malam, tanpa diklakson dan kena macet, pelataran ini menghibur sekali.
Hiburan murah, tepatnya. Nikmat sekali rasanya malam-malam sekedar bercanda
lari sana sini sama anak-anak di tempat ini. Dengan temaram lampu, suara tukang
ngamen sumbang sana sini, kelap kelip lampu Jembatan Ampera di kejauhan. Dan
bangunan bisu benteng. Nice.
Benteng Kuto Besak di temaram lampu |
Tukang jajanan dengan kursi-kursi pendeknya |
Jajanannya mie tek-tek, ada bakso dan jajanan-jajanan sederhana lain. |
Capek lari sana sini, kami ke hotel. Kami menginap di
Novotel. Karena kabarnya tempat ini dibuat di tanah bekas pabrik gula, dan
mereka masih membiarkan cerobong asapnya berdiri tegak. Wah, saya sudah
semangat 45 pengen lihat tu cerobong!. Tapi, sayangnya harus kecewa. Karena
ternyata mereka merobohkan cerobongnya beberapa waktu lalu, karena banyak tamu
yang complain: itu tempat mistis.
Yak. *tepokjidat* moment indeed!!!!!. Khas orang Asia (or,
Indonesia??), banget inih!. Yang menghubungkan segala yang kuno dengan mistis,
hantu dan semacamnya. Padahal kan baguuuussss. Dan, unik kan?. Mana ada hotel
yang punya ‘monumen’ semacam itu. Hadeuuuhhh... Anyway untungnya hotel ini juga
punya lanskap yang menarik. Bentuknya yang sirkular, dengan kolam renang di
tengahnya, lucu juga.
Kami memulai petualangan esok harinya dengan menyeberang
Ampera ke arah Ulu. Destinasi: Stadion Jakabaring. Iya, lokasi Sea Games 2011.
Sampai sana, jujur saya merasa harus angkat topi pada para pemrakarsa lokasi
ini. Keren lho, diluar Jakarta bisa punya stadion seluas dan semegah itu. Tapi
sayangnya memang terkesan kurang dipelihara. Jadi ya agak gak terbayang juga 3
tahun dari sekarang akan jadi apa tempat itu.
Thanks to the heat (iya gilak panas beeeeeuuuutttt!!!!),
kami agak malas keluar mobil dan berfoto-foto di tempat ini. Kita muter-muter
di kompleks itu saja. Kagum dengan konsep indoor aquatic stadium-nya, dan disainnya
yang lumayan futuristik. Suka dengan bangunan kompleks atlitnya yang terkesan
modern. Dan dengan stadion utamanya yang gede. By the way di halaman stadion
ini kami lihat tuh teronggok gitu aja bekas tempat nyala api Sea Games. Sekali
lagi, *tepokjidat* moment dong. Itu kan harusnya dipelihara ya, bukan dibiarkan
jadi besi tua.
Kepanasan. Kelaparan. Kami berhenti di restoran Pindang
Meranjat. Kata Cip ini salah satu tempat yang terkenal pindangnya. Dan melihat
tempat yang kayaknya juga asik untuk nongkrong, saya mah iya aja.
Kami pesan pindang baung dan pepes patin. Dan begitu makanan
datang, nyem nyem nyem...seru deh pokoknya. Ada 4 macam sambal: sambal mangga,
sambal jeruk, sambal terasi dan sambal teri.
Pepes patin ternyata diolah dengan
tempoyak. Jujur walaupun saya suka sekali duren, tapi gak pernah tertarik coba
tempoyak karena buat saya, duren ya duren, gak oke dicampur cemacem. Etapi,
saya harus jilat air liur saya sendiri karena pepes patin ini wenaaaakkk
sumpah!. Sambalnya rasanya gak sesegar sambal jeruk, tapi ya, itu, enak!.
Pindang Baung-nya juga aduhai rasanya. Kuah yang segar, agak
asem pedes plus bau kemangi, melengkapi makan siang yang maknyus di siang panas
hore itu.
Empat macam sambal, ada juga ikan apa saya gak nanya, yang digoreng kering |
Nah ini si pepes patin dengan sambal tempoyaknya. Yummyyyy |
Selesai makan siang, kami mencari Kampung Kapitan tepat di tepi
sungai Musi.
Ini kampung sisa-sisa peradaban Tionghoa, yang berawal dari
datangnya perwira China dari Dinasti Ming sekitar abad 14. Saat Belanda
menjajah, para pendatang ini dijadikan pengawas atau pengatur kawasan ini.
Mereka yang paling tinggi status sosialnya, diangkat menjadi Kapitan atau
Kapten. Dan karena status sosialnya yang tinggi, Sang Kapitan ini memiliki
rumah yang paling besar di kawasan itu.
Di kampung ini ada sekitar 15 rumah, dengan campuran gaya arsitektur Cina, kolonial, dan Palembang. Saya tidak menghitung sih sebetulnya ada berapa rumah yang sekarang ada disana.
Yang paling mencolok adalah rumah inti si Kapitan, dua rumah besar. Dari cerita orang sekitar, keluarga Kapitan yang terakhir sudah tidak memiliki kekayaan yang sama seperti dulu, sehingga tidak lagi mampu merawat rumah peninggalan itu.
Yang paling mencolok adalah rumah inti si Kapitan, dua rumah besar. Dari cerita orang sekitar, keluarga Kapitan yang terakhir sudah tidak memiliki kekayaan yang sama seperti dulu, sehingga tidak lagi mampu merawat rumah peninggalan itu.
Nevertheless, one can still see the beauty of the past.
Traces of Chinese culture masih terlihat sangat kuat di sana sini. Di rumah
utama ini bahkan tersimpan panggung untuk Wayang Potehi.
Rumah panggung di depan gang |
Masih dengan lampion khas Cina |
Rumah inti si Kapitan. Nurut saya benda di tengah itu agak mengganggu... |
Anak-anak lokal berteduh di bawah rumah tua |
Panas yang luar biasa memaksa kami tidak berlama-lama di
Kampung Kapitan ini. Kami menelusuri tepi Sungai Musi dan menemukan Klenteng
Dewi Kwan Im. Ternyata, sedang ada perayaan hari ulang tahun (or
something...pokoknya sedang ada perayaan), sang Dewi. Jadi ada banyak sekali
lampion-lampion khas Cina, dan orang-orang yang datang untuk berdoa.
Saya ajak
Lila masuk ke klenteng ini. Hihi....dia lumayan bengong dengan bau asap hio,
patung di sana sini, dan orang-orang yang sembahyang. Nice introduction to the
different side of life.
Lampion yang kalau malam membuat tempat ini gemerlap |
Masuk ke klenteng |
Salah satu meja persembahan |
Di dermaga menuju klenteng ini ada masjid kecil. Di jalan
kecil tepat diluar klenteng ini ada toko yang menjual buku-buku agama Islam.
Ada kursus baca Al-Quran. Berdampingan rapi dengan klenteng dimana di dalamnya
ada persembahan daging bagi. Tuh. Kerukunan beragama. Toleransi. Tapi kenapa
kita selalu bolak balik dengar berita miring tentang agama berbeda yang
bertengkar?!. Dari tempat ini saja kelihatan betapa kepercayaan yang berbeda
ini sudah lama berdampingan dengan damai. Lalu kenapa harus ribut-ribut tuh
yang lain-lain? *gemesmodeon*. Some heads deserve some good smack. Or tepatnya,
butuh pelajaran sejarah dan sedikit usaha mblusu’an untuk kenali negerinya
sendiri!.
Beranjak dari klenteng, kami berusaha cari Kampung Arab.
Tapi karena minimnya tanda, dan minimnya pula keterangan di peta-peta yang ada
di tangan Cip, kami hanya menemukan tempat yang ternyata adalah pabrik es batu
untuk industri milik keluarga Alwi Asegaf. Siapa mereka?. Jangan tanya saya,
wong saya juga tahunya dari tulisan di gedungnya. Gedung pabriknya yang cantik
yang bikin kami berhenti sejenak. Tepat di seberang, berdiri tegak pabrik Pupuk
Sriwijaya, atau Pusri.
Kelihatannya ini gedung kantornya... |
...dan ini gedung pabriknya. I like the building. Well built and well preserved |
Menyeberang balik ke Musi Ilir, maksud hati menjelajahi
musium Sultan Badaruddin. Ini adalah bekas istana. Alas, it was under
renovation!. Hwaaaa....terpaksa gagalkan niat.
Untungnya juga hari mulai agak teduh. Saat yang tepat untuk
naik perahu ketek menyusuri sungai Musi menuju Pulau Kemaro.
Ada 2 pilihan
untuk ke Pulau Kemaro ini. Bisa menggunakan perahu ketek, atau perahu motor
biasa; atau speed boat. Makan waktu sekitar 30 - 40 menit dari dermaga di dekat
Pasar 16 Ilir untuk menuju ke pulau kalau dengan perahu ketek. Dan 20 menit
dengan speedboat. Tapi jauh lebih menarik dengan perahu ketek, karena bisa
nikmati pelan-pelan kehidupan di tepian Musi dan rumah-rumah panggung mereka,
dan melewati kapal-kapal besar kecil.
melewati bawah jempatan Ampera |
Hehehe...kasian Pak Supir, difoto deh :) |
Nikmati pemandangan dari sungai ini menarik. Rumah-rumah panggung, dan yang jadi favorit saya: mesjid-mesjid kampung TANPA KUBAH. That's a refreshing view, seriously!. A totally local architecture. |
Ini salah satu masjid bersejarah |
Pulau Kemaro di kejauhan |
Pulau Kemaro ternyata punya cerita. Ada sebuah legenda, yang
ditulis di prasasti di pulau ini. Orang-orang lokal membangun kuil atau
klenteng di tempat ini untuk menghormati legenda tersebut.
silahkan dibaca apa legendanya :) |
tempat-tempat persembahan |
prajurit gagah perkasa |
'stupa' tinggi di kejauhan |
Beranjak dari Pulau Kemaro sekitar jam 5 lewat, kami
disuguhi pemandangan matahari terbenam yang romantis ke arah Jembatan. Bangunan
pabrik Pusri cakep juga lho dengan cahaya matahari terbenam!...hehe..
Cakep juga kan pabrik ini begitu matahari mulai terbenam? :) |
Sampai di darat, kami nikmat sebentar gedung istana sang
Sultan yang sekarang diterangi lampu. Cantik sekali gedung ini. Mudah-mudahan
setelah renovasi bertambah cantik.
Our last day in Palembang, sebelum terbang balik ke Jakarta
esok siangnya, kami ingin habiskan dengan mengunjungi musium-musium. Ada 2 yang
ingin kami kunjungi: Musium Tekstil dan Musium Balaputradewa. Sayang, apes
lagi.
Musium Tekstil sedang dalam proses alih fungsi
menjadi....heritage hotel!!!. Wah padahal saya ngarep banget bisa lihat
koleksi-koleksi kain-kain khas Palembang. Dengan sejarah songketnya dan
songket-songket tuanya. Hiks...
Mencari musium Balaputradewa juga bukan perkara mudah
saudara-saudara!. Dari peta, Cip tahu bahwa arah musium ini adalah ke arah
bandara. Dan dari beberapa info dari internet, Cip tahu gedung musium ini juga
cukup besar. Naaahhh....kami berasumsi gedungnya di pinggir jalan. Tapi setelah
celingukan, gak juga ketemu musium itu.
Akhirnya ketemunya pun gak sengaja. Cip lihat plang dengan
tulisan Musium Balaputradewa, di ujung sebuah belokan kecil!.
Waduuuhhh....musium kok nyempil. Dan gak ada tanda yang maksimal. Kami jadi
wonder, ini siapa kira-kira yang akan datang ke musium ini ya.
Dan benar saja. Sepi sekali musiumnya. Pengunjungnya hanya
kami, dan ada satu pasangan lagi. Musium ini supposed to keep the story of
tanah Sriwijaya. Nah saya agak punya high expectation nih, having been to
Trowulan dan musiumnya yang koleksinya bikin bangga. Considering ini adalah
Sriwijaya, saya ngarep bisa ketemu peninggalan-peninggalan pentingnya, plus
koleksi yang sama massive-nya dengan Trowulan.
Ternyata, kuciwa lagi. Semua relief, dan barang-barang batu
terutama, hanya replika. Kami menduga aslinya mungkin sudah ‘pindah’ ke Jakarta
(semoga di Musium Nasional). Dan koleksinya secara umum lumayan sedikit. Ada 3
ruang pameran, dan hanya sedikit yang dipamerkan. Saya nggak tahu apakah karena
masih dalam proses pendataan, atau memang hanya itu, atau memang sudah pindah
ke lokasi lain misalnya Musium Nasional itu. Nevertheless, agak sedih juga
lihat koleksinya di tempat yang sepenting Palembang dengan sejarah
Sriwijayanya.
Diorama pelayaran Melayu |
Patung-patung di belakang Tara itu semua replika. Rather sad, sih... |
Sebagai obat kuciwa, target berikutnya adalah belanja. Kami
ke daerah kerajinan songket. Nah di daerah ini juga, waktu kami celingak
celinguk mencari toko yang pas, sekelebatan kelihatan banyak rumah-rumah
panggung. Saya jadi gemes, pengen mblusu’an dan lihat-lihat.
Akhirnya setelah belanja, karena hari masih panas dan
kayaknya gak pas untuk mblusu’an tanpa resiko pening kepanasan, kami ngadem
sebentar di KFC. Haha....long live modernity!. Kenapa ke KFC?. Simple: cari es
krim!. Dan gak seperti di Surabaya atau Semarang yang punya toko es krim
legendaris, di Palembang ini (sepertinya, at least kami gak nemu info
dimanapun) gak ada. Padahal panaaasss asoy. Jadilah, KFC itu tadi :D
Setelah ngeskrim, kami nyebrang ke Kambang Iwak Family Park
yang teduh gak jauh dari KFC. Ini juga oasis banget. Mirip seperti Situ
Lembang, bedanya ini lebih besar dan lebih teduh.
Kayak di hutan ya? |
Setelah matahari sedikit lebih ramah, kami balik ke daerah
songket. Saya sendirian sedikit mblusu’an di kampung sekitar. Nikmati kehidupan
sore. Diikutin anak-anak yang tertarik ingin tahu saya ngapain dengan kamera
saya. Dan nikmati sisa-sisa rumah-rumah panggung cantik disana sini.
mancing sore-sore |
that charm somehow stays in these houses |
ngobrol sore-sore |
Bahkan dengan segala 'tumpukan' pun, rumah-rumah ini tetap kelihatan charming. Oh well, need some imagination. Di imajinasi saya, saya sedang mblusu'an di 'Indonesian's Venice'... |
Another charm that lasts... |
Ini saya lupa nama masjidnya tapi termasuk salah satu masjid kuno. Sekali lagi saya suka sekali dengan non-kubah style-nya. Go local architecture! |
Yah gitu deh sekelebatan Palembang. Jujur kami sedang
sedikit malas mengeksplorasi saat kami disana. Panasnya agak membuat kami sedikit repot
untuk me-manage anak-anak. Hihi...bukan karena takut hitam, tapi takut mereka
semaput kepanasan :D
But those 4 days and 3 nights were nice to know this place
though not a lot. Sekali lagi kami belajar: Indonesia itu, indah dalam segala
kemajemukannya.
No comments:
Post a Comment