Beberapa waktu lalu gue pernah terlibat di studi yang ngecek alat edukasi untuk ningkatin awareness remaja bahwa pernikahan dini itu dampaknya panjang. Bahwa pursuing education is still their best bet, baru setelah itu, silahkan memikirkan pernikahan.
Gara-gara studi itu juga gue kan jadi
denger ya cerita mereka dan juga para ortu dan pengajar di daerah itu tentang
kenapa sih pernikahan dini sering dilakukan di daerah itu.
Alasannya beragam, dari tekanan ekonomi sampai takut anaknya nanti berzina.
Lalu gue bingung juga. Ini daerah
miskin. Para ortu ini pasti ngalamin beratnya hidup kan ya. Pasti ngalamin apa
rasanya jadi perempuan yang pendidikannya terbatas, tiba-tiba harus ikut
menghidupi rumah tangga dengan anak yang bererot karena uang dari suami nggak
cukup (dan kenapa juga sih gak KB. Aduh ampun....njelimet kalik lah).
Lah terus, ngapa gitu masih mikir menikahkan anaknya cepet-cepet itu adalah solusi?. Kok gue lihatnya, maaf ya, ini jahat. Menurut ngana mereka bisa apa saat menghadapi kesulitan dalam pernikahan?. Not to mention pertaruhan nyawa saat melahirkan anak di usia dini. Udahlah, kepala gue sakit mikirnya...
Sementara
cerita di urban, beda lagi. Terutama perempuan, yang udah berumur 25 tahun
apalagi lebih, dan masih single, pasti sering ditanya, “Kapan nikah?”. By the way, jombloers, siap-siap. Bentar lagi musim
halal bihalal. Udah punya jawaban belom?.
Dan
gue juga lihat di sisi lain, ada gejala banyak juga di urban yang menikah sesegera
mungkin setelah lulus kuliah (atau pas masih kuliah). Itu adalah sesuatu yang
ada di checklist (macam gue bikin checklist belanjaan. Atau kerjaan yang harus
dikelarin sebelum jam 5 sore).
Gue
gak tahu juga alasan sebenarnya apa. Tapi yang pernah gue denger sendiri adalah
ini: biar nanti kalau anaknya udah gede dia juga masih cantik. Atau bisa jadi mahmud
yang masih bisa tampil walaupun udah punya anak.
Itu
dikemukakan dengan raut muka serius, by the way. Dan mungkin gue yang udah
terlalu tua dan emang udah ngalamin generation gap dengan generasi ini, di
kepala gue langsung, “Seriously?. Really?.
Are these girls mad or was that really seriously an expectation of life?”.
Nah, kemaren gue baca tulisan ini https://linimasa.com/2018/05/24/biru-yang-membilu/.
Tentang mempertahankan pernikahan.
Di
tulisan itu, ada cerita ini:
Seorang teman yang sudah menikah cukup lama, pernah berujar
seperti ini saat kami bertemu:
“I
still don’t get it, kenapa orang-orang kita, terutama keluarga
besar, suka sekali menyuruh orang untuk menikah. Tapi nggak ada sama sekali
satu pun dari mereka yang pernah bilang bahwa mempertahankan pernikahan itu
beratnya luar biasa! Nggak ada sama sekali yang pernah kasih tips how to
survive marriage and keep it last, bisanya cuman nyuruh doang.
Kesel kan gue?! Apa jangan-jangan mereka cari temen seperjuangan yang sama-sama
menderita ya? Jadi pas tau kita struggle to keep the marriage afloat, jangan-jangan
mereka teriak dalam hati, “Welcome to the club!””
Gue
nyengir baca bagian itu. Karena dulu gue juga sering mikir gitu tuuuuh.
Gue
masih asik-asik aja dengan diri gue sendiri sampai lulus S2. Lalu balik ke
tanah air, kerja. Dan ya emang gue yang mau kalo sampe umur 29 gue belom juga
nikah?. Iya sih dalam hati selalu ada pertanyaan: elo udah kelar beloom sama
kemauan loe?. Tapi ada satu lagi: belom kunjung dipertemukan sama yang bisa bikin
gue yakin bahwa tantangan apapun dalam pernikahan, gue bisa jalanin nih sama
orang ini. Jadi yaaa…udah lah ya.. Mau bilang apa kan?.
Nah
dalam masa-masa itu dulu ada aja entah tante atau sepupu yang bilang, “Apa lagi sih yang ditunggu. Kapan mau
nikah?”. Dan berbagai versi lainnya tapi ya miriplah ujungnya.
Dalam
hati gue suka membatin: elo lagi cari temen susah ya?. Lah kehidupan elo contoh
tuh buat gue betapa susahnya nikah apalagi sama orang yang salah!, malah nyuruh-nyuruh
gue nikah (dan yang paling bikin gue manyun kalo ada embel-embel demikian: gak
usah pilih-pilih tebu banget lah…et dah…elus dada aja deh dulu). Sopo sing
gendheng. Tapi yaaaa itu cuma tersebut di hati, gak pernah gue keluarin. Segila-gilanya
Riri, gue masih cukup waras buat ngejaga nama emak gue di keluarga.
Tapi
ya bener banget itu kan, kenapa sih masyarakat kita demen banget ya mikir nikah
secepatnya itu baik. Yang ngejalanin juga bukan dia, lho.
Dan
baca that specific part of the article, gue juga jadi mikir: berapa banyak
sebetulnya mereka yang berpikir, dan sadar sesadar-sadarnya, bahwa pernikahan
itu adalah tantangan, dan pekerjaan baru lho!, sebelum mereka mutusin akan
menikah. It’s not a walk in the park. Urusannya panjang pake banget. A walk in the park aja gak semudah kelihatannya, lah kalo tahu-tahu keinjek pup anjing, emang enak? (opo sih Riii....).
Jadi
setelah baca itu, gue tersadar ada dua hal yang harusnya kita sadari. Pertama,
udah deh berhenti nanya-nanya para jombloers kapan nikah. Siapa tahu mereka
amat sangat waras, ngerti tantangannya apa and hence pengen yakin
seyakin-yakinnya bahwa orang yang dipilih adalah yang bisa diajak susah bareng.
We never know their struggle inside lho.
Dan gue juga pernah baca ini: it's better being single than being with the wrong person. Nah. Tuh.
Dan
kedua, we have to educate our children dengan narasi bahwa menikah dan semua ‘transaksi’
yang ada di antara kedua orang yang menikah itu gak mudah dijalani. Butuh kedewasaan
emosional. Butuh kepala dingin. Butuh kelegaan hati. Dan butuh kompromi disana
sini.
Dan bahwa ngebayangin yang susah-susah dulu itu pentiiiing bingits. Bikin skenario dan diomongin berdua itu penting. Mau sampe berantem ya malah bagus (haha...ups...ketahuan deh gue dulu gimana), karena kan jadi tahu ini orang gimana kalo harus ngadepin yang gak asik gak asik.
Berhentilah
creating stories in your head, and others’, bahwa it’s gonna be happy ever after.
Kecuali kalo elo hidup di dalam sebuah buku cerita.
Tulisan
itu menyadarkan gue, bahwa itu adalah PR kita sebagai orang tua.
Ih.
Makin banyak aja ya PR.
Selamat
hari Jumat. Gak usah mikirin PR dulu kali ya. Besok weekend.
This is NOT a fairy tale. At least, not to me... |