Pulau Banda. Banda Neira. Des Alwi.
Nama-nama yang cukup akrab di telinga sejak saya kecil.
Kebetulan, salah satu abang dari Mama menikah dengan perempuan dari Banda
keturunan Arab dan masih sekerabat dengan Des Alwi, salah satu tokoh Banda yang
amat sangat rajin mengangkat sejarah kepulauan itu.
Cerita-cerita tentang keindahan Banda, laut yang kaya, Bung
Hatta, Sjahrir dan Cipto Mangunkusumo terjalin dalam sosok perempuan yang kami
panggil Wak Neng. Uwak yang kedatangannya selalu bikin saya senang karena
dengan logat khas-nya yang entah bagaimana tidak kunjung hilang padahal beliau
sudah tinggal cukup lama di Jakarta, dan keseruannya bercerita, selalu sukses
membuat saya terpana. Dan, di kepala Riri kecil, semua ceritanya terbentuk jadi
romantisme sebuah pulau yang indah berlumur sejarah para pendiri bangsa.
Bertahun-tahun lamanya saya simpan semua itu. Dan
bertahun-tahun pula saya bangun mimpi untuk suatu hari saya harus jejakkan kaki
di tanah itu.
Tahun lalu, akhirnya mimpi terwujud.
2 minggu terakhir bulan Desember 2016 dan beberapa hari di
awal Januari 2017. Kami mengawalinya dengan menyambangi Kepulauan Kei Kecil,
lalu ke Ambon, dan berakhir di Banda. Tanah yang sarat sejarah pedih.
--
Perjalanan ke Banda dari Ambon dimulai dengan drama
ketidakjelasan jadwal kapal. Bangun jam 4 pagi karena informasinya kapal akan
berangkat jam 6, untuk lalu belakangan tahu bahwa kapal baru akan berangkat jam
10. Dan buat kami semua, ini adalah kali pertama kami menumpang kapal Pelni.
We
all expected the unexpected. Kami siapkan anak-anak dengan bilang bahwa keadaan
kapal laut berbeda sekali dengan pesawat udara atau kapal-kapal lain yang
pernah kami naiki yang ukurannya jauh lebih kecil.
Penumpang yang membludak, desak-desakkan menuju kamar yang
kami sewa selama perjalanan, jadi bumbu sebelum akhirnya kapal bertolak menuju
Banda.
Di tengah lautan, kami diterpa badai yang lumayan kencang.
Tidak membuat kami jadi mabuk. Tapi ada satu kali saya keluar ke geladak dan
memandangi lautan luas dengan ombak yang mengangkat kapal cukup tinggi, hujan
lebat, langit gelap, dan angin kencang yang membawa air hujan menerpa wajah,
lumayan bikin saya berpikir: what the hell are we doing here, with the kids?.
But anyway, semuanya berlalu dengan aman.
Kami tiba di pelabuhan Banda Neira jam 5 sore. Laut tenang. Mendung sedikit
menggantung tapi semburat matahari indah sekali sore itu.
Menuruni tangga kapal saat itu, menjejakkan kaki untuk
pertama kalinya di tanah Banda, setelah bertahun-tahun saya bangun mimpi itu,
rasanya tetap seperti mimpi.
|
Sore yang buat saya bersejarah :) |
--
Selama 5 hari kami di Banda, kami menginap di Banda Neira,
dan hanya bisa mengunjungi pulau Banda Besar karena cuaca yang tidak
memungkinkan kami menjelajahi pulau-pulau lainnya.
Dari sedikit yang sudah kami jalani, kalau ada yang bertanya
pada saya, apa kesan saya tentang Banda, saya akan bilang: it’s a mix of
sadness, peacefulness built on top of forgiveness and acceptance of fate, and
hope.
--
Sebagai tempat yang sarat dengan cerita sedih seputar
perebutan tanah dan kekayaan rempah-rempah, yang bahkan bertahun-tahun setelah
kemerdekaan terbengkalai akibat salah urus (atau lalai diurus?), Banda sekarang
menawarkan kedamaian sekaligus juga kegetiran.
Jalan-jalan yang sepi yang dipagari oleh bangunan-bangunan
peninggalan kolonial Belanda, bikin kami betah wara wiri dari pagi hingga
matahari terbenam. Pemandangan dari berbagai benteng (dan banyak titik saat
kami di tengah laut), selalu sukses bikin saya harus menahan napas sebentar.
Dan sering bikin saya membatin, “I want to stay here, forever, and die here,
for this land”.
|
Mobil tidak diizinkan di kepulauan. Hanya ada 3 atau 4 mobil pemilik usaha di pulau Banda Neira. Kalau butuh transportasi, ada becak atau ojek |
|
Sebagai penikmat gedung tua, buat saya tempat ini surga |
|
Penamaan Negeri-negeri ini adalah warisan Bung Hatta |
|
Benteng Belgica, yang menawan di sore hari |
|
Bikin betah nongkrong nunggu sunset |
|
Lonthoir, di Banda Besar, unik dengan landscape-nya yang naik turun |
|
Siap-siap sedikit pegel kalau jalan-jalan ke Lonthoir :) |
|
Tempat di hadapan saya ini, masih di Lonthoir, dulu adalah tempat dimana orang Banda menghabiskan armada Belanda yang terjebak pasang surut. Kejadian itu meninggalkan dendam buat Jan Pieterszoon Coen, yang lalu menyerang di waktu yang berbeda dari area yang lain, dan berhasil menaklukkan Banda. Dia lalu memerintahkan pembunuhan begitu banyak orang Banda. Dan menyebabkan juga banyaknya orang Banda yang pergi dari kepulauan ini.. Sejak itu, sulit ditemukan orang asli Banda. Yang ada sekarang adalah orang-orang berdarah campuran. Keturunan Arab adalah salah satu yang cukup besar. Selain juga dari suku lain di Indonesia. |
Kemegahan Gunung Api, seakan jadi penjaga abadi kedamaian di
kepulauan ini. Tadinya saya bermaksud menanjak gunung ini, tapi cuaca yang
kurang mendukung akhirnya mengurungkan niat saya.
|
Gunung Api yang dari jadi pemandangan saat sarapan.... |
|
...dipandang dari benteng Belgica.. |
|
...dari tengah lautan sepulang diving... |
|
...dan dari sebuah pantai di pulau Banda Besar |
Banda Neira juga punya sebuah pelabuhan udara kecil.
Sayangnya semua penerbangan ke pulau ini distop subsidinya tahun 2015.
Pemandangan dari pelabuhan ini luar biasa di sore hari. Bikin saya penasaran
seperti apa indahnya pemandangan dari pesawat di saat tinggal landas dan
menjelang mendarat (walaupun katanya angin kencang disini selalu bikin degdegan
waktu tinggal landas dan mendarat).
--
Tapi di dalam kedamaian dan ketenangan yang ditawarkan
Banda, terasa
kegetiran.
Getir terasa pertama kali, adalah saat kami melihat banyak
sekali bangunan-bangunan indah di sepanjang jalan yang tidak dipelihara dengan
baik. Bahkan ditelantarkan.
Jejak sejarah sebuah republik, juga seperti dikesampingkan
begitu saja. Rumah Sjahrir dan Bung Hatta adalah sedikit dari peninggalan yang
dipelihara dengan baik. Tapi rumah Cipto Mangunkusumo, seperti tidak ada yang
cukup peduli untuk merawat.
|
Rumah Sjahrir |
|
Memorabilia di dalamnya masih terpelihara dengan baik |
|
Begitu juga dengan Rumah Hatta |
|
Tempat beliau mengajar |
|
Ini dulu adalah ruang-ruang kelas di rumah Bung Hatta |
|
Rumah Cipto Mangunkusumo |
|
Juru kuncinya entah sedang kemana saat kami sampai di rumah ini. Jadi kami tidak bisa lihat dalamnya. Tapi menilik keadaan luar, kami juga tidak terlalu berharap banyak sih.. |
|
Yang tersisa dari Benteng Nassau hanya lingkaran dinding luar. Ini adalah benteng paling berdarah. Di lapangan benteng inilah 40 bangsawan dan orang-orang paling terpelajar di Banda, dibunuh. Lukisan yang menggambarkan kejadian itu, ada di Rumah Budaya Banda, di Banda Neira. |
|
Istana Mini. Dulu ini adalah tempat tinggal Gubernur Jenderal yang berkuasa. Dari segi bentuk, gedung ini mirip sekali dengan Istana Negara |
|
Ini Pak Gubernur Jenderal. Patungnya 'terserak' begitu saja di halaman yang kelihatan kurang terawat |
|
Saya menduga ini dulu adalah tempat tinggal para pelayan |
|
Istana Mini ini kelihatannya sering digunakan untuk kegiatan sekolah. Saat kami datang, ada Pramuka yang baru saja selesai dengan berbagai pertandingan di halaman istana |
|
Klenteng yang usianya sudah 200 tahun. Saya sempat ngobrol dengan orang yang sedang bersih-bersih di dalam. Menurut dia sudah tidak banyak lagi keturunan Cina di Banda Neira. Klenteng inipun jarang digunakan. Dan akibatnya, kekurangan dana untuk memeliharanya |
|
Tapi, harus saya akui, bahkan dengan kekurangan danapun, siapapun yang masih memelihara klenteng ini, punya dedikasi tinggi buat menjaga para dewa |
|
Banyak gedung di pinggir jalan di Banda Neira ini terlihat masih kokoh dari luar. Tapi begitu dilihat dari dekat, atau kalau bisa ke dalam, malah bikin ngenes... |
|
Dulu gedung ini adalah tempat dansa dansi, tempat rekreasi. Luarnya masih bagus |
|
Tapi di dalam kurang dipelihara |
|
Kami menemukan tempat ini tidak sengaja |
|
Kami tidak masuk ke dalam, tapi dari luar saja hati saya sudah sedih melihat kondisi gedungnya |
|
Benteng Hollandia di Lonthoir, Banda Besar. Atau tepatnya, apa yang tersisa dari benteng ini |
|
Saya malah jadi ingat candi-candi di Siem Reap... |
Kegetiran juga sangat sarat terasa saat kami menjalani
beberapa perkebunan pala. Yang dulu diperebutkan sampai akhirnya membuat Banda
kehilangan sebagian besar penduduk aslinya akibat genosida gila yang dilakukan
Jan Pieterszoon Coen, kini cuma tinggal cerita pedih para petani yang tidak
mendapatkan harga yang pantas untuk komoditi yang sebetulnya luar biasa ini.
Ada keheningan yang menyedihkan saat saya berjalan sendirian
sampai ke tengah perkebunan. Sayup suara daun
yang bergesekan ditiup angin rasanya seperti puisi yang menusuk hati, tangisan
dalam diam para pemilik perkebunan menanti perbaikan nasib dan kembalinya jaman
keemasan.
|
Di Lonthoir, pala masih jadi sumber pendapatan masyarakat |
|
Perkebunan pala ini dimiliki oleh keluarga Des Alwi. Sayangnya sudah tidak dipelihara dengan baik. Ada banyak alasan. Salah satunya adalah karena kalau dijualpun, harga pala saat ini tidak sebanding dengan usaha untuk memeliharanya |
|
Kami sempat mampir ke perkebunan pala milik Pak Pongky Van Den Broeke, yang di film dokumenter Banda - The Dark Forgotten Trail, jadi salah satu tokoh yang bercerita panjang lebar tentang sejarah pala dan kesulitannya. Sayang beliau sedang tidak di rumah. Kami hanya ketemu istrinya, yang menunjukkan tempat pengasapan pala. Amazed juga tahu bahwa pengolahan pala ternyata nggak semudah yang saya kira... |
Di tengah berbagai kesulitan dan kegetiran pulau pala ini, ada harapan akan perbaikan.
Banda yang sekarang mulai terangkat di dunia pariwisata, kelihatannya
mulai punya nyawa untuk mempercantik dirinya. Masyarakat yang sempat terkoyak
isu SARA, akhirnya sadar bahwa perpecahan cuma akan membuat penderitaan, dan
semua orang belajar untuk hidup dalam damai.
|
Salah satu kafe yang ngehits di Banda Neira :) |
|
Bukan kafe yang besar tapi punya kehangatan yang asik aja menurut kami |
|
Disana sini banyak signage. Waktu kami di kapalpun, ada banyak sekali turis dari Eropa terutama |
|
Salah satu penginapan sederhana, tapi jangan salah, full! |
--
Kegetiran dan aura kesedihan yang ada di Banda, mungkin akan
tetap ada disana. Itu adalah bagian dari jiwa sebuah Banda, keunikannya,
sekaligus juga, harusnya, modalnya untuk melanjutkan perjalanan dan membuat
cerita baru.
Semua sejarah yang terjalin di sebuah Banda, akan tetap
mewarnai perjalanannya. Semoga saja, itu semua akan membuat Banda bisa bersinar
seperti dulu. But of course, minus all the conflicts yang dihasilkan dari
sinarnya.
Dan buat saya, Banda masih terasa seperti mimpi.
Tanah indah yang dengan segala emosi yang ditimbulkannya
pada saya, melekat kuat di batin. Tampaknya bukan saya yang meninggalkan jejak disana.
Tapi tanah itu, meninggalkan jejak yang kuat terpatri di setiap penjuru hati.
Membuat saya sekarang sadar bahwa perjalanan saat itu, bukan semata perjalanan
ke sebuah tempat. Tapi perjalanan ke sebuah pusaran jiwa, yang membuat saya
sulit beranjak dari sana.
Tanah yang berjiwa. Itulah sepotong Banda buat saya.
|
Dari sini sejarah terukir... |
|
...menyisakan cerita panjang yang semoga tak lekang oleh waktu, buat kita selami, hargai, dan pelihara |