Beberapa tahun yang lalu, saya dan teman sekantor dikenalkan
dengan istilah ini: consistently inconsistent. Konsisten dengan inkonsistensi.
Pas dulu pertama denger kita semua bingung, apa nih
maksudnya. Begitu dijelaskan lengkap dengan sederet contoh, kita jadi manggut-manggut.
Jadi begini. Kita ini sering sekali nggak konsisten entah
dalam bersikap maupun mengambil keputusan. Misalnya kalau contoh jaman dulu di
kerjaan kami, katanya mau memperbaiki hasil riset yang diberikan ke klien
dengan cara lebih kritis ketika menerima permintaan untuk melakukan riset.
Nggak membabi buta bikin proposal tanpa pertama tanya dulu ke klien kenapa
dirasa perlu melakukan riset. Minta ketemu dulu atau paling nggak telpon dulu
lah supaya jelas isi permintaannya karena kadang yang tertulis dengan yang bisa
dijelaskan verbal bisa saja beda.
Nyatanya, demi yang namanya ‘kejar setoran’, kita sering
lupa melakukan itu. Begitu terima permintaan riset, langsung bikin proposal
tanpa peduli tanya dulu ke klien. Hasilnya, kadang kalah pitching, kadang
kliennya iya saja tapi waktu melakukan risetnya malah jadi berantakan karena
saling belum paham duduk masalahnya apa. Ujungnya alih-alih bisa kejar setoran
malah tekor dari segi profit karena terlalu banyak masalah yang makan biaya
sana sini.
Itu baru satu contoh masalah. Ada banyak contoh lah kala itu
yang bikin kami kalau lagi ngebahas lalu jadi cengar cengir sambil, “Iya ya,
kita ini consistently inconsistent banget emang”.
Bertahun-tahun setelahnya, saya selalu berusaha inget itu
saat harus melakukan sesuatu dan berusaha nggak kayak gitu. Nah ndak tahu juga
apakah tim saya sekarang masih lihat saya consistently inconsistent, atau
nggak. Saya nggak pernah nanya juga sih. Mungkin harus saya tanya kapan-kapan.
Tapi saya tiba-tiba inget itu bukan karena sedang inget
dengan urusan kantor. Tapi justru karena seminggu ini saya terpapar dengan
sesuatu yang berlawanan dengan itu. Justru, saya melihat sesuatu yang
consistently consistent.
--
Mereka yang besar di tahun 80an, harusnya kenal Krakatau. Sebuah
band fusion yang keren banget lah di jaman mereka pertama keluar dulu. Lagu-lagunya
menemani Riri remaja dulu.
Tahun 2014, mereka bikin Krakatau Reunion. Masih dengan personel
yang sama: Indra, Dwiki, Pra, Gilang, Donny dan Trie Utami.
Hari Selasa lalu mereka manggung di kafe Rolling Stone di
Jalan Ampera. Saya dan Cip tentunya nggak mau ngelewatin momen itu. Nontonlah kami.
Dan masih tetap terpesona.
Masih dengan aransemen yang asik didengar. Masih dengan campuran
rock, jazz, pop. Indra dan Dwiki dengan duet yang keren di keyboard maupun
keytar, Gilang yang tabuhan drum-nya masih punya power yang asoy, Pra di bass
yang masih saja ciamik mendampingi Donny di gitar. Dan Trie Utami. Si kecil
centil yang kalau nyanyi selalu ekspresif banget. Dan suara tingginya masih
tetap powerful membawakan nada-nada susah yang selalu jadi ciri khas Krakatau
(or should I say, Indra?).
They are already in their 50s. Tapi tetap luar biasa
konsisten dengan musikalitas mereka. Konsisten dengan power yang dimiliki
masing-masing personel, dan sebagai suatu kesatuan. Dan konsistensi mereka
mengirimkan kami para pendengarnya terlempar-lempar ke masa lalu sekaligus ke
masa kini dengan frekuensi yang sama indahnya.
--
Di kali lain, hari Jumat lalu, saya dan beberapa teman
nonton Air Supply. Sekali lagi band yang lagu-lagunya dulu jadi teman di masa
remaja. Terutama, teman saat jatuh sekaligus putus cinta.
Air Supply sudah malang melintang selama 42 tahun. Graham
Russell pada gitar dan vokal, dan Russell Hitchcock – the lead singer, sudah
berusia 60an. Dua-duanya dari segi penampilan sudah ‘meng-kakek’. Rambut sudah
putih semua. Tapi, di konser lalu, penampilan mereka tetap mampu membuat para
pecintanya terlena dengan aransemen yang di-twist disana sini.
Russell Hitchcock masih mantap membawakan nada-nada
melengking, dengan napas yang masih prima. Mereka masih nyanyi sambil
mondar-mandir di panggung. Bahkan turun dari panggung untuk menyapa para
penggemarnya. Graham masih memainkan gitar sambil lompat-lompat. Gonta ganti
gitar berkali-kali. Dan suara mereka tetap stabil. Amazing, considering their
age, really.
Bandingkan dengan cerita Cip yang nonton Guns and
Roses, dia cerita kalau Axl Rose waktu nyanyi ada nada yang fals. Napas sudah
tidak sekuat dulu.
Sementara, si duo-kakek dua minggu lalu itu, tetap prima. Mereka
manggung 2 jam dengan lagu yang lumayan sambung menyambung satu sama lain. Beyond my expectation, jujur.
--
Hari ini saya nonton Opera Ikan Asin dari Teater Koma, yang
sudah malang melintang selama 40 tahun. Siapa sih yang nggak kenal teater yang
satu ini. Setiap produksinya selalu nyentil. Karcis selalu habis. Padahal,
setiap kali mereka tampil tidak pernah sebentar. Minimal 3 jam. Dan garapan
mereka ceritanya nggak selalu ringan. Tapi tetap dinanti.
Saya sekali lagi menyaksikan teater yang bukan cuma penuh
pesan sosial, khasnya Teater Koma, tapi juga permainan prima dari semuanya.
Tata
panggung yang bagus. Peralihan antar adegan yang halus. Cerita yang menarik. Musik
yang mungkin buat beberapa kuping akan terdengar kasar dan kurang latihan
dengan nada yang ajaib, tapi buat saya justru itu khasnya teater Koma: cukup
terpoles tapi tidak kelewatan sophisticated sehingga tidak pernah berjarak
dengan penontonnya.
Semua itu bikin saya inget dengan kata-kata sakral nyelekit
itu: consistently inconsistent. Yang saya lihat di minggu ini adalah kebalikan
dari itu. Mereka justru menunjukkan gimana, kalau kita bisa ngalahin
inconsistency, dan bisa consistently consistent, maka kita akan bisa bertahan
selama sekian dekade.
Mereka nunjukin bahwa punya keahlian prima aja tuh nggak
cukup. Butuh dedikasi, disiplin, dan keteguhan prinsip buat bertahan di jalur
itu, sekaligus cukup fleksibel untuk bisa selalu beradaptasi dengan jaman yang
berubah supaya bisa tetap ‘nyambung’. Dan, menyatukan semua itu dengan
konsisten, dalam semua lini yang berhubungan dengan apa yang dilakukan.
Apakah lalu ini cuma berlaku di dunia seni?. Saya rasa kok
nggak ya. Rasanya kemampuan untuk bisa melakukan itu berlaku untuk semua profesi,
kalau memang mau bertahan di jalur yang sama.
Bersandar pada years of experience dan keahlian yang mumpuni saja tanpa lalu konsisten melihat ke
bagaimana kita bisa beradaptasi dengan jaman, konsisten mencari cara baru
supaya tetap relevan, ya percuma. Sudah mencoba beradaptasi dan fleksibel, tapi
melakukannya setengah hati, sebentar iya sebentar nggak, ya percuma. Disiplin membangun
prosedur yang benar, tapi pelaksanaannya antara hidup dan mati, ya percuma.
Memang tidak mudah untuk bisa konsisten. Saya juga masih cari
cara gimana supaya konsisten untuk bisa melakukan yang diperlukan supaya tetap
relevan dengan jaman. Dan namanya juga manusia, ada yang namanya lupa, males,
dan kalau perempuan, mood (oh yeah….the beauty of being a woman is that you can
always blame the hormones!).
Tapi melihat contoh-contoh di minggu ini, saya jadi malu. Lha
kalau mereka saja yang sudah lebih tua bisa, masa saya nggak bisa ya?. Kita,
masa nggak bisa?.
Ya mari, kita coba. Mulai besok. Mumpung Senin. Dan masih
awal bulan Maret.
(R I R I)