(Sebuah catatan akhir tahun yang mungkin terlalu cepat dibuat)
Iya. Baru 9 Desember. Minggu pertama di bulan terakhir tahun ini baru akan berakhir. Tapi, walaupun kerjaan masih menumpuk, setengah otak, hati dan badan saya sudah ada di itinerary liburan akhir tahun kami. Jadi demi menghormati setengah yang sudah suasana liburan itu, saya putuskan bikin sekarang saja catatan ini.
Dalam hidup ada naik dan turun. Ada mendung ada hujan ada
matahari.
Catatan terbesar saya tahun ini ada pada 2 mendung: saat
saya pikir semangat sedang runtuh, dan mendung yang saat ini terjadi di sekitar
kita sebagai sebuah Indonesia.
--
Semangat yang (dikira) hilang.
Gara-gara tahun lalu bisnis merana, saya tidak punya
optimisme besar saat memulai tahun ini. Ditambah saya tahu ada 2 anggota tim
yang akan meninggalkan tim selama 3 – 4 bulan karena melahirkan. Jadi saya tidak
berani berpikir bahwa kami akan menutup tahun ini dengan hasil yang luar biasa.
Tapi saya tidak tahu apakah karena kami satu tim ternyata lebih tangguh dari perkiraan saya, atau memang seperti kata orang: rejeki tidak akan lari kemanapun kalau memang sudah jadi jatah kita, ternyata bahkan di awal bulan Desember ini kami sudah bisa menutup buku perusahaan, dan mulai menabung buat tahun depan. Alhamdulillah.
Hasil yang sangat diluar perkiraan saya, karena ini adalah
tahun dimana tiba-tiba di tengah tahun, semangat saya turun ke titik yang lumayan
rendah. Galau yang menurut saya sempat bikin saya tidak efektif menjalankan
fungsi sebagai the leader of the pack, yang seharusnya jadi mercusuar. Saya
redup. Dan ada saat dimana saya ingin matikan saja lampu itu.
Tiba-tiba saja saya merasa
lelah. Merasa mungkin ada baiknya saya tinggalkan sejenak dunia pekerjaan saya,
untuk menelusuri jalan lain yang saya juga
belum tahu apa. Entah kenapa saya didera perasaan bahwa this is tiring, this is
not going anywhere, this is not something that I want to do anymore. Ada rasa
frustrasi, merasa saya jalan di tempat. Penyebabnya? – sampai sekarangpun saya
tidak tahu. Mungkin cuma kejenuhan. Mungkin perasaan bahwa saya belum kunjung
melakukan banyak hal buat orang di sekitar saya.
Emosi itu tidak hilang bahkan sampai awal November, saat
dimana seharusnya saya mulai melakukan business review untuk persiapan
pertemuan tahunan kami di awal Desember untuk merencanakan 2017.
Di tengah kegalauan dan energi yang luar biasa rendah, saya
memutuskan untuk bertanya pada teman-teman satu tim: what do they think of
2016, and what do they wish for 2017?.
What my team has shared with me, was a lot more than what I
wished I would find. Saya sempat termenung di depan laptop dan, mbrebes mili
(ah...gimanapun juga saya perempuan).
Saya tidak menyangka akan menemukan energi sebesar itu:
kegembiraan (padahal ada saat-saat dimana kami jungkir balik luar biasa karena
keterbatasan tenaga dan waktu), appreciation of team work, energi karena
melakukan dan mengalami banyak hal yang baru (padahal dari kacamata saya, kita
tidak melakukan apapun yang baru), perasaan bahwa we were moving forward to
something bigger and better.
Jujur semua itu bikin saya kaget. Di tengah energi pribadi
yang super depleted, ternyata, orang-orang di sekitar saya justru mengalami
yang sebaliknya.
Saat saya harus merangkum semua masukan mereka, saya jadi
tahu kenapa kami bisa mencapai apa yang kami capai padahal saya merasa gagal
memompa semangat buat mereka: they already have it in them. Semangat buat terus
lari dan maju. Semangat buat terus menopang satu sama lain. Dan rasa memiliki
terhadap apa yang sudah dibangun.
Saya tidak tahu darimana mereka dapat semua itu, karena
rasanya saya tidak melakukan apa-apa. Saya juga tidak tahu apa yang membuat
mereka percaya bahwa ini adalah tempat yang tepat buat mereka menumpahkan
energi dan semangat itu. Yang jelas, saya jadi sadar bahwa saat saya merasa
‘sendiri’ dan lelah, maybe all that I need to do is just to sit down with them
and hear their thoughts and I’ll be back up again.
Di dalam rapat tahunan kami, saya sempat bilang pada
teman-teman sebagai apresiasi bahwa bahkan dengan ketiadaan 2 manager handal
kami di semester kedua tahun ini, tim tetap bisa bekerja dengan hasil yang
keren: tanda bahwa a leader has done a good job adalah bukan saat dia ada dan
tim bisa bekerja efektif, tapi justru saat dia tidak ada, tim bisa bekerja
dengan efektifitas dan hasil yang sama baiknya.
Di saat yang sama, dalam hati saya juga bilang pada diri
sendiri: a leader should also realise that she is not the only solution, she
has others’. She is not the only beacon. When the light is low, she can empower
others to create a new one so the light can still be on.
Saya selalu tahu ada orang-orang hebat di sekitar saya. Proud to work with them |
Saat manusia belajar jadi Tuhan.
Dengan resiko saya dicap menistakan Tuhan menggunakan
kalimat itu sebagai catatan kedua saya, tapi entah kenapa itu yang bolak balik
muncul di kepala saya melihat semua kejadian belakangan ini.
Jangan marah dulu. Tapi coba renungkan dan
coba kita jujur pada diri sendiri (oh iya tentu, me included. Saya juga tidak
luput dari kesalahan yang sama kok). Saya kasih satu contoh.
Saya kebetulan terlahir di keluarga Islam, dididik dengan
keimanan Islam, otomatis mendapat cap muslim. Dalam kitab suci saya, mereka
yang diluar Islam, ada capnya sendiri. Yang paling sering disebutkan: kafir.
Betapa seringnya kata-kata itu dilontarkan. Entah dengan
sembarangan, atau dengan kedalaman emosi. Tapi saya sering membatin: iya sih
ada definisinya di kitab suci kafir itu siapa dan seperti apa, tapi lalu apakah
harus semudah itu pula kita mencap seseorang kafir dan lalu meneriakkannya ke
seluruh jagat raya?.
Apakah jangan-jangan sebetulnya ada pesan tersirat dari
Tuhan: iya Aku berikan kalian sebuah definisi tapi hak prerogatif untuk menilai
tetap ada di tanganKu, karena ayat itu juga datang dari Aku.
Saya tidak pernah berani melontarkan kata kafir karena
selalu terpikir seperti itu. Saya takut bahwa jangan-jangan ada hal lain, yang
tidak terlihat oleh mata awam saya yang pastinya tidak setajam mata Tuhan,
untuk menilai seseorang kafir atau tidak.
Berbeda dengan misalnya saya ditanya: apa warna baju yang
dipakai anak kamu tadi waktu berangkat ke sekolah?. Saya bisa bilang hijau.
Sesuai dengan perintah sekolah. Tapi mendefinisikan kafir – bukannya itu juga
mendefinisikan isi hati?. Dan siapa yang tahu isi hati orang?.
Pertanyaannya: adakah yang pernah berpikir sebelum mencap
kafir, bahwa menilai keimanan seseorang tidak semudah mendefinisikan warna
baju?. Dan bahwa hanya Tuhan yang tahu isi hati tiap ciptaannya?. Siapa kita
sok tahu mencap seseorang?.
Contoh lain lagi.
Saat ada kejadian dimana terjadi pengumpulan massa, yang
menimbulkan banyak keharuan di kalangan sesama pemeluk agama saya, saya malah
merasa sedih. Saya nangis, tapi nangis karena melihat apa yang diusung.
Lihat salah satu isi spanduk yang dibawa: Penjarakan si anu.
Lalu jeritan setelah Pakde pergi dari podium, yang intinya penjarakan si anu,
jika tidak maka mereka siap revolusi.
Apa yang sedang diperjuangkan, sih?. I have no issues dengan kumpul-kumpulnya, but I have a big issue dengan misi di dalamnya.
Apa doa yang sedang dipanjatkan?: keselamatan bagi SEMUA NO
MATTER WHO THEY ARE, atau keselamatan buat diri kita sendiri, yang sepaham?.
Keadilan bagi SEMUA NO MATTER WHO THEY ARE, atau keadilan bagi diri kita
sendiri, yang sepaham?.
Kehadiran spanduk berisi tuntutan akhir, dengan nada
memaksa, padahal proses pengadilanpun belum berjalan – baik yang di dunia
apalagi yang di akhirat, di sebuah acara yang katanya damai, buat saya menohok
rasa keadilan saya sebagai manusia. Dan itu: merasa jadi Tuhan kah kita untuk
langsung tahu bahwa dia memang patut dipenjarakan?.
I am not talking about my religion, I am talking about
humanity. Mungkin saya akan dihujat sekuler bilang begini. Atau sesat karena
membela si penista. Ada saja yang sedang latihan jadi Tuhan. Padahal, saya
tidak bicara atas nama orang, saya tidak membela siapapun KECUALI RASA KEMANUSIAAN
DAN JADI MANUSIA.
Lha itu: KITA MANUSIA BUKAN TUHAN. Tapi buat saya
akhir-akhir ini sepertinya banyak sekali yang sedang belajar jadi Tuhan.
Mengadili tingkat keimanan orang lain. Memberikan cap pada orang lain. Menghujat
sesamanya hanya karena berdiri berseberangan dalam hal pendapat. Pendapat lho
ya, kita tidak bicara soal iman. Atau masih ada saja yang merasa berhak
melarang ibadah di suatu tempat.
Hmmm...ya jangan-jangan ada yang baca tulisan ini lalu bilang:
lha kamu sendiri sedang belajar jadi Tuhan, Ri, dengan menuduh ada yang sedang
belajar jadi Tuhan. Hahahaha...iya ya jangan-jangan. Tak apalah. Saya hanya
ingin menumpahkan uneg-uneg yang bikin eneg selama beberapa minggu terakhir
ini.
I mean, come oooonnn people. Kita butuh berdiri bersama.
Whatever happened to: let’s agree to disagree but let’s park that disagreement
because we have a goal to achieve together?.
Tujuannya apa? – ebuseeettt....banyak!.
Kita ini belum 100% aman dari krisis ekonomi. Di rapat kami
kemarin saya sempat melongo juga.
Iya sih kita satu-satunya negara di ASEAN (atau Asia ya),
yang masih mengalami positive economy growth tahun ini. Tapiiii...perkembangan
ekonomi kita lebih rendah dibanding prediksi. Ekspor kita terhambat karena
kondisi ekonomi global yang juga turun terutama Cina. Keuangan negara masih
defisit, dan turun terus. Pendapatan dari migas turun terus. Infrastruktur kita
masih parah pake banget dan Pakde sedang kerja keras membuatnya lebih baik.
Pendidikan kita masih minta ampun lucunya (apalagi dengan moratorium UN yang
sudah kadung bikin girang tahu-tahu dibatalkan...huh...maumu apa Pak Menteri?).
Masalah kita banyaaakk sodara-sodara. Dan itu semua butuh
kita bersatu. Indonesia butuh stabilitas. Butuh fokus dari para bapak dan ibu
pengelola negara supaya kita aman-aman saja tahun depan. Kalau harus mengurusi
ranah iman, ranahnya Tuhan, kapan selesainya?.
Apapun perbedaan yang ada, mari kita pinggirkan dulu. Kita
bantu lah para pengelola negara dengan menahan diri untuk tidak baper-an.
Saya sempat gemas luar biasa baca komentar-komentar tentang
bagaimana pemerintah meng-handle issue penistaan agama misalnya. Mau langsung
dipenjara?. Hadeuh – katanya damai, lha kok berangasan. Apa paham 100%
bagaimana pertimbangan para bapak dan ibu itu?. Lha kalau tidak yo mbok meneng
wae toh. Sabar. Tunggu.
Katanya kalau memang Tuhan berkehendak akan terjadilah yang
terbaik menurut keputusanNya. Tapi terus baper. Yang tidak ikut menekan
pemerintah dihujat, dicela. Piye?. Sampeyan sehat?.
Padahal kapan hari yang minta patung Buddha diturunkan saja
dimaafkan oleh yang punya kuil, lho. Itu kan juga penistaan agama, ya sayangnya
memang agamanya orang lain bukan agama kita sendiri. Ndak malukah kita pada
mereka yang memaafkan itu? (jawab sendiri).
Ini baru satu kasus yang menggelembung. Pelajarannya buat
para pejabat sih: ya hati-hati dengan congormu. Tapi pelajaran buat kita: kapan
mau berhenti belajar jadi Tuhan?. Atau ini: sadarkah bahwa kita sedang belajar
jadi Tuhan dengan menghakimi dan mengadili orang lain dengan segala asumsi yang
ada di kepala kita?. Jadi apakah jangan-jangan kita juga sedang menistakan
sesuatu?.
Untuk catatan yang ini saya sebetulnya hanya ingin
mengajak merenung. Kembali pada kemanusiaan. Pada sebuah sandaran bahwa tidak
ada manusia yang diciptakan sama. Tuhan melakukannya pasti dengan sebuah maksud
dan saya yakin bukan semata supaya kita bertengkar melulu. Jadi buat apa terus
berdebat?. Apalagi berdebat yang urusannya adalah semata urusan pribadi dengan
Tuhannya, Penciptanya.
Mari kembali pada kodrat sebagai manusia dan kenapa kita
diturunkan di bumi ini: supaya berguna bagi manusia lainnya. Sudahkah anda?.
Dan pikirkan apakah semua perdebatan dan pengadilan tentang keimanan orang lain
itu berguna bagi kemanusiaan...rasanya sih...tidak. Urus dululah hati kita
masing-masing karena para pujangga saja sudah sejak dulu bilang: hati orang
lain siapa tahu.
--
Salam
damai bagi semua. Bagi Indonesia yang saya yakin sama-sama kita cintai. Semoga,
seperti yang saya pribadi alami tahun ini dalam kehidupan kerja saya, mendung
yang ada cepat terangkat lewat cahaya-cahaya lain yang menyinarkan energi
positif. Aamiiin.
(R
I R I)