Almarhum Papa saya orang Jawa asli. Mama saya orang Minang
asli. Keduanya besar di tanah kelahiran mereka masing-masing. Mereka bertemu di
periuk bernama Jakarta, di tahun 60an.
Berbeda dengan Mama yang selalu berusaha untuk mengenalkan
kami pada budaya Minang terutama tentang apa artinya kami yang cucu-cucu
perempuan dari anak perempuan, dengan konsep ninik mamak, anak kemenakan dan
segala rupa tentangnya; almarhum Papa tidak pernah mengenalkan kami pada apa
artinya menjadi orang yang berdarah Jawa. Padahal rumah almarhum Eyang di
Magelang adalah sebuah rumah tua romantis yang bernuansa Jawa yang kental, yang
baru saya kenal belakangan setelah hampir dewasa. Tapi yang ada di kepala saya
tentang Papa dan kakak-kakak beliau adalah perbincangan dalam bahasa Belanda di
ruang tengah keluarga kami. Dan perbincangan Papa dengan para keponakannya
dalam bahasa Indonesia – yang sesekali diselipi bahasa Jawa yang tidak pernah
saya pahami, dan Papa juga tidak pernah berusaha mengenalkan kami pada bahasa
Jawa.
Dengan latar belakang seperti itu, saya kurang lebih memang
lebih kenal dengan ke-Minang-an saya ketimbang sebagai turunan orang Jawa. Mungkin
juga karena Datuk dan Nenek masih hidup saat saya tumbuh, dan sebagian besar
kakak-kakak dan adik-adik Mama juga tinggal di Jakarta, sehingga kami masih
merasakan berkumpul paling tidak setiap Idul Fitri. Mama dengan kakak dan
adiknya pun masih berbincang dalam bahasa Minang. Walaupun jujur mungkin hanya
sedikit sekali yang nempel di benak saya tentang segala yang berkaitan dengan ‘jadi
orang Minang’ dan segala ‘aturan’ budayanya, tapi saya masih merasa kenal
dengan bagian itu.
Nah pastinya, saya juga lebih kenal dengan makanan Minang. Tanpa
jadi orang Minang-pun rasanya orang Indonesia rata-rata pasti tahu makanan
Minang, karena let’s face it, tak ada tanah sejengkalpun yang tidak ‘ditumbuhi’
Rumah Makan Padang, apalagi di Jakarta.
Salah satu yang dekat sekali dengan hidup saya adalah
Rendang. Setiap lebaran, ini pasti jadi hidangan wajib. Sebagai Riri kecil, saya
masih lihat nenek memasak rendang ini di atas tungku kayu yang dibuat di
halaman rumah mereka di Cipete. Bau dan rasanya? Jangan ditanya. Luar biasa. Tidak
bisa ditemukan di Jakarta pastinya. Saya baru menemukannya lagi, terutama aroma
asap yang khas di daging dan bumbunya, waktu menemani Mama pulang kampung
beberapa bulan yang lalu.
Sampai sekarang, saya tidak pernah tergerak sedikitpun untuk
mencoba memasak rendang ini. Alasannya jelas lah: lama. Apalagi kalau rendang
hitam. Membuatnya jadi hitam, tapi bukan karena hangus, itu makan waktu lama. Masak
satu jenis masakan selama 3 – 4 jam?. No way. Saya cukup tahu saja bagaimana
membuatnya, tidak melakukannya.
Satu pagi, kebetulan ada rendang di atas meja makan. Kelaparan,
saya ambil nasi panas, dan saya makan. Pelan-pelan. Saya biarkan rasa itu
menyesap di lidah.
Lalu saya tertegun. Ah...perjalanan rendang ini luar biasa
ya sebetulnya.
Bayangkan saja.
Sebelum dia bisa jadi hidangan. Ada berbutir-butir kelapa
yang harus diperas santannya. Kalau mau enak, 1 kg daging butuh santan dari 4
butir kelapa. Mencari kelapa yang pas tuanya juga ada seninya.
Memeras kelapa, bukan pekerjaan mudah. Dan tahu berapa
jumlah air yang pas untuk bisa menghasilkan santan yang kental, juga bukan
masalah sepele.
Santan ini harus dimasak dulu sampai mendidih. Dan selama
dimasak, tidak bisa berhenti mengaduk. Ditinggal sebentar, santan akan pecah
dan masakan tidak sempurna.
Setelah itu masuk daging dan segala bumbu. Diaduk lagi. Diaduk
sesekali. Terus menerus. Antara 3 sampai 4 jam. Sampai dia masak dengan
sempurna.
Luar biasa ya, filosofi di belakang sepiring rendang. Bahkan kalau saya tidak salah ingat, salah satu pelajaran dari Mama adalah tentang filosofi 'marandang' - atau membuat rendang. Bahwa segala sesuatu itu harus dicapai dengan usaha, kadang mungkin dengan air mata (poetically dan literally - masak rendang pakai kayu dan sabut kelapa itu asapnya memang bisa bikin air mata mengalir), tapi kalau kita tidak mudah menyerah, hasilnya akan nikmat. Ya seperti rendang yang enak itu.
Sesuatu yang mungkin sekarang sering kita
lupakan di tengah hiruk pikuk dunia yang serba instan. Dan kadang saya ingin
tahu apakah generasi-generasi berikut akan tahu ada cerita apa di balik segala
hal yang enak-enak itu.
Media sosial memberikan kita segala hal – dengan semua dampak baik
dan buruknya. Ada Mbah Google yang siap diakses kapanpun. Ada fast food
dimana-mana dengan deliverynya (termasuk juga rumah makan Padang). Kadang-kadang
malah sampai karirpun maunya instan dan cepat melejit.
Makan rendang pagi itu membuat saya membatin dengan pikiran
blo’on saya: kalau tidak tahu perjalanan sebuah hidangan bernama rendang, karena
terpapar dengan segala yang instan – yang selalu siap ‘terhidang’ di hadapan
mereka, lalu generasi berikut apakah masih bisa menghargai sebuah perjalanan
panjang untuk mencapai sesuatu?.
Mari tidak bicara tentang kesempurnaan karena saya
tidak percaya itu akan pernah hadir. Tapi as simple as sebuah pencapaian yang
terbaik saja. Akankah satu saat akan ada satu generasi dimana itu bukan sesuatu
yang penuh makna dan perjuangan, tapi sesuatu yang ‘harus diberikan’ dan jadi
hak, yang harus ‘siap terhidang’ dan bukannya diusahakan?.
A generation blames the generation that came before, and
looks down to the generation after it. Mungkin pernyataan itu benar. Dan saya
sering berharap itu salah. Tapi salahkah saya kalau saya khawatir?.
Louis Armstrong dalam lagunya ‘What a Wonderful World’
berlantun: I heard babies cry, I watch them grow. They’ll learn much more than
I’ll ever know.
Iya memang. Kalau saya lihat anak-anak saya, dalam usianya
sekarang, mereka telah belajar begitu banyak hal. Tidak terbayang dulu bahwa di
usianya yang 10 tahun, Tara sudah bisa mengoperasikan Word, Powerpoint dan
Excel. Saya malah belajar beberapa fungsi Powerpoint dari dia!.
That part, I enjoy. Karena saya juga jadi belajar banyak hal
tentang diri saya sendiri, tentang dunia saya, dan ketertinggalan saya.
Tapi kadang saya juga khawatir mereka tidak belajar hal-hal
sederhana tapi bermakna. Ya seperti perjalanan rendang itu.
Saya percaya solusinya ada di tangan kita para orang tua. Mungkin
memang kita harus sering mengingatkan mereka bahwa ada banyak hal diluar sana
yang juga bisa mereka pelajari, sambil main, sambil ngobrol, bahkan, sambil
makan.
Pertanyaannya: apakah kita para orang tua ini masih
menghargai hal-hal itu juga?.
Mari kita renungkan. Sambil makan rendang, kalau ada.
(R I R I - 30 November 2014. Pikiran ngelantur sambil nemenin Tara belajar untuk UAS...sebuah perjalanan panjang buat saya menemukan kesabaran, dan buat Tara untuk selesaikan masa sekolahnya.. Ah hidup memang indah :) )
(R I R I - 30 November 2014. Pikiran ngelantur sambil nemenin Tara belajar untuk UAS...sebuah perjalanan panjang buat saya menemukan kesabaran, dan buat Tara untuk selesaikan masa sekolahnya.. Ah hidup memang indah :) )