Ibu saya dulu kalau jengkel lihat kelakuan orang-orang yang nggak
tahu aturan, misalnya nggak bisa antri, atau nyalip sembarangan di jalan
raya, atau buang sampah sembarangan, suka bilang kalau orang Indonesia
ini harus masuk kamp konsentrasi dulu baru bisa bener kelakuannya.
Beliau
yang pernah ngerasain jaman Jepang, PRRI, dan masa-masa kebangkitan
setelah kemerdekaan, selalu bilang koruptor itu dibunuh aja, nggak perlu
diadili. Di mata beliau, orang-orang ini nggak pantas hidup karena
nggak bisa menghormati atas apa negara ini bisa berdiri – darah para
pejuang, yang mempertaruhkan banyak hal bahkan nyawa, demi bisa merdeka.
Waktu
di awal-awal maraknya pencalonan presiden, dari Gita yang ganteng
sampai Sang Satria Bergitar yang bermodal pasukan pencinta Soneta, ibu
saya bingung. Satu pagi, beliau nanya, “Jadi harus milih siapa kita
nanti ya Ri?, bingung”. Oh ya. Beliau sudah berusia 77 tahun, dan masih
semangat ikut Pemilu.
Saya ketawa. Saya bilang tunggu aja
nanti saat pilihan sudah mengerucut. Saya juga bilang, doain aja ada
yang beres yang bisa dipilih.
Waktu mencuat nama Prabowo, di pagi yang lain, ibu saya nanya lagi, “Menurut kamu gimana Prabowo, Ri?”.
Saya
yang baru malam sebelumnya ngobrol sama Cip, dan sekali lagi belajar
sejarah, bilang, “Kalau mau ide kamp konsentrasi dan semua koruptor
dibunuh, mungkin Prabowo orang yang paling tepat sih Ma. Kalau nggak ada
pilihan lain selain dia, ya mungkin Riri akan pilih dia. Iya sih dia
punya sejarah hitam, tapi untuk ngelibas orang-orang kampret di
pemerintahan, ya mungkin dia yang paling bisa. Lihat aja sejarah 1998.
Komando dia yang bikin itu bisa terjadi. Iya sih bakal banyak korban,
tapi if that’s what it takes to be better, ya mau gimana lagi”.
Ibu
saya manggut-manggut. Beliau yang pernah berinteraksi sangat dekat
dengan keluarga Soemitro, terutama sang Ibu lewat usaha dagang
barang-barang antik yang pernah ditekuninya, cerita gimana Prabowo dalam
keluarga tersebut memang digadang-gadang jadi presiden satu saat
nanti.
Lalu beliau bilang, “Tapi jangan sampai ah kejadian lagi kayak
98, ngeri Ri. Kamu nggak disini sih waktu itu. Tiap hari kita deg-degan.
Tiap uni ke kantor, Mama nggak tenang takut dia nggak bisa pulang, atau
malah nggak pulang sama sekali kena peluru nyasar”. Iya, saya waktu itu
memang sedang sekolah di Down Under, jadi cuma ikuti berita lewat TV,
dan lewat surat-surat almarhum Papa. Yang saya masih ingat betul adalah
salah satu surat dari almarhum, nggak lama setelah Soeharto lengser,
yang meminta saya supaya tidak berpikir untuk pulang, supaya mencari
kehidupan di negara lain, karena Indonesia kacau balau.
Saya
memperhatikan wajah Ibu saya waktu beliau cerita keadaan waktu itu, dan
membatin, well, harga perubahan memang mahal. Tapi jika itu yang harus
dibayar, apakah kita mau mengambil resiko untuk tidak berubah?.
Lalu,
muncul nama Jokowi. Saya sebagai warga Jakarta, ada rasa kecewa karena
maunya beliau lanjutkan perjuangan beliau mengubah wajah dan tatanan
kota Jakarta. Tapi lalu melihat Ahok yang dengan ketegasan dan kegigihan
yang sama meneruskan apa yang sudah dimulai, saya mulai adem. Dan saya
mulai mengobservasi kemana Jokowi akan melangkah.
Di
tengah ketidakpastian siapa yang akan jadi cawapres masing-masing kubu,
di salah satu weekend waktu saya lagi pacaran sama Cip, saya bilang,
“You know what, kalau Jokowi pasangan sama Jusuf Kalla, selesai. Aku
akan pilih mereka”. Cip, yang biasanya selalu punya bahan buat berdebat,
manggut-manggut, “Iya, itu pilihan paling waras”.
Kenapa saya bilang gitu?.
Sudah
3 tahun saya putar haluan. Dari orang yang digaji, jadi orang yang tiap
bulan harus mikir kami punya cash flow cukup kuat nggak ya untuk
menggaji tim. Dari orang yang harus ngikutin perintah orang lain, jadi
orang yang harus bisa berembuk dengan para partner menemukan jalan
tengah menentukan mau dibawa kemana perahu yang sudah dibuat ini.
Memang
3 tahun ini pengalaman yang singkat. Tapi dalam 3 tahun, saya merasakan
sekali gimana kebobrokan sistem di negara ini membuat kami seringkali
meringis kesal. Urusan ijin, urusan pajak, urusan ketenagakerjaan, yang
semuanya UUD – Ujung-Ujungnya Duit. Belum lagi urusan internet yang
sampai hari gini masih aja lambat seperti siput. Penggambaran super
nyata dari kerja beberapa badan pemerintahan, menurut saya.
Jadi
dalam logika praktis saya, dengan Jokowi dan JK yang keduanya adalah
juga pengusaha, yang pasti juga pernah merasakan sakitnya berurusan
dengan segala sistem yang kacau, mereka pasti tahu apa yang harus diubah
(DIUBAH ya bukan DIRUBAH. Karena tidak ada yang akan jadi rubah.
Sekilas pelajaran Bahasa Indonesia....). Dengan demikian semoga saja
pergerakan ekonomi akan makin lancar, negara bisa makin makmur. Aamiiin.
Lalu
gimana dengan pilihan pertama saya, Prabowo?. Ya waktu kedua capres ini
belum menentukan pilihan, saya masih mengambang. Tapi begitu Prabowo
menyatakan koalisinya dengan Hatta Rajasa, lalu Golkar ikut dalam
gerbong, lalu PKS, lalu PPP, that was it for me.
Sebagai
anak dari orang tua yang PNS, kemuakan saya pada Golkar dan segala yang
bersinggungan dengan partai ini sudah mengakar. Seragam KORPRI yang
orang tua saya kenakan seminggu sekali, dan keharusan mencoblos Golkar
again and again padahal hati nurani mereka tidak setuju, buat saya
adalah lambang represi yang luar biasa.
Waktu lulus kuliah
dan ibu saya meminta supaya saya melamar ke salah satu badan
pemerintahan, dengan tegas saya bilang, “Nggak Ma. Sampai kapanpun kalau
masih ada pilihan lain, Riri nggak mau jadi pegawai negeri. Nggak mau
jadi kayak Mama dan Papa yang sepanjang usia kerja harus menentang
sistem hanya supaya bisa tetap jadi orang yang benar di mata Allah. I’m
not that strong”.
Segala yang dimungkinkan terjadi
gara-gara Golkar, cukup bikin saya mau muntah. Satu partai itu saja,
cukup membuat saya yakin kubu pertama is not my choice.
Sejarah
hitam Prabowo is one thing. Tapi kalau saja dia menunjukkan itikad baik
dengan berkoalisi dengan pihak yang lebih putih, mungkin akan lain
cerita. Saya pernah bilang pada Cip, “Coba dia milih Dahlan Iskan jadi
cawapres. Nah seru tuh. Orang pasti bakal bingung mau bilang apa, dan
gak malah pada berantem kayak sekarang” (udah jangan dibahas Dahlan
Iskan bakal mau atau nggak kalau dulu diminta....this is not for
debating :)).
Saya nulis ini bukan mau membela
kubu yang akan saya pilih, seperti beberapa pendukung yang bikin saya
geleng-geleng kepala saking hebohnya pembelaannya, sampai saya kadang
mikir, “Kenape sih bro, sis, santai aja. Ntar darah tinggi sapa yang
nanggung?”. Saya cuma sedang kilas balik aja. Sekedar membuat catatan
sejarah – yang siapa tahu jadi cerita lucu buat Tara dan Lila kelak.
Bahwa ada satu masa dimana negerinya heboh harus belajar memilih dengan
santun, harus belajar memilih dengan logika dan bukan dengan emosi. Dan
bunda mereka di masa itu cuma berpegang pada logika sederhana dan
praktis saja. Lalu melanjutkannya dengan observasi dan ngobrol sana sini
untuk memantapkan pilihan.
Lalu gimana dengan ibu saya?.
Di pagi yang lain lagi, beliau nanya, “Jokowi gimana Ri?”. Saya bilang,
“Mikir gini aja Ma, mau nggak nanti tahu-tahu Aburizal jadi menteri?.
Hatta Rajasa pula yang jadi capres – jejak dia gimana Mama pasti tahu
kan?. Atau tahu-tahu si Rhoma Irama jadi Menteri”. Ibu saya langsung
merengut, “Ih, amit-amit...”.
(R I R I)
Wednesday, July 2, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)
Bayangkan
Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...
Popular Posts
-
On my birthday, I found this statement: Life doesn’t get easier, you just get stronger. At a glance, it seems true. It feels right....
-
For the whole trip, we hired a car from a guy called Andre (082170551155). He’s got quite a good rate so you can check him out. We we...
-
My learning about current characters that children love started from bookstores. That was also how I found out about Franklin , the creati...
-
I had wanted to go to Madura since I bought my first Madurese batik in one of the handicraft show, about 3 years ago. Something fascinated m...
-
“If a Torajan has a lot of money, he would not spend it on traveling like you do. He will keep his money to finance the death ceremonies...