Harusnya saya nggak nulis ini karena ada 2 reports yang
harusnya saya selesaikan sebelum hari Kamis dan saya sibuk menjelajah Ambon dan
sekitarnya.
Tapi seperti biasa, kalau sedang dikejar deadline, otak saya
malah mengembara kemana-mana. Dan seperti biasa kalau harus pergi sendirian
seperti sekarang, saya selalu bawa novel. Kali ini, saya bawa novel Pulang
karya Leila S. Chudori, salah satu penulis yang saya cintai sejak saya remaja.
Novel ini cerita soal tapol yang meninggalkan Indonesia. Orang-orang
yang berlari dari tanah air setelah kericuhan PKI di tahun 1965. Tentang perjalanan
hidup mereka di negeri orang, mereka yang ditinggalkan di tanah air dan
perjuangan mereka, anak-anak mereka kelak, kemarahan yang terpendam, kerinduan tak
berujung, dan mencari perdamaian dengan sejarah. To cut the story short, novel
ini bikin keran air mata saya terbuka beberapa kali.
Saya belum selesai baca seluruh novelnya. Tapi cerita ini
membuat saya bertanya-tanya. Kelak, saat anak-anak saya dewasa, sejarah macam
apa yang akan mereka ingat tentang kami, orang tuanya.
Saya kebetulan tumbuh dengan penggalan-penggalan sejarah tentang kedua orang tua, juga tentang kakek dan nenek saya. Ibu saya sangat rajin
bercerita tentang PRRI dan apa maknanya bagi beliau kakak beradik, dan kedua
orang tuanya – Datuk dan Nenek saya. Saya tumbuh dengan imajinasi anak kecil
tentang perjalanan kabur ke hutan. Tentang Datuk yang dicari-cari di zaman
Jepang.
Di novel Pulang diceritakan tentang Bersih Diri – saat seseorang
akan masuk ke lingkungan pegawai negeri akan diselidiki latar belakangnya. Ibu
saya bercerita tentang beberapa om saya yang harus menjalani pemeriksaan itu
karena nama mereka muncul dalam daftar PRRI yang dulu dianggap sebagai lawan
pemerintah.
Singkatnya, saya tumbuh dengan sejarah. Glorious, fiery,
scary at times.
Tapi lalu saat saya berpikir tentang anak-anak saya, Tara
dan Lila, saya berpikir ke belakang. Saya punya sejarah apa ya.
Yah ada sejarah patah hati. Ada usaha menguasai sesuatu yang
saya tidak suka jaman kuliah. Setahun bikin skripsi dengan teknik yang tidak
populer dan topik yang sama tidak populernya. A few years mencoba apa yang
namanya kerja sebelum lulus. Hidup sendiri di negeri orang untuk beberapa
tahun. Dan mungkin beberapa tahun ke depan cerita tentang bagaimana saya dan
para partners saya yang hebat mencoba membangun Eye to Eye jadi perusahaan yang
bisa dibanggakan.
Tapi....they all seem so trivial, almost......unimportant.
Saya jadi mikir, apakah anak-anak saya akan merasa seperti
saya saat saya sedang berimajinasi tentang perjuangan Datuk dan Nenek. Apakah mereka
juga akan merasakan semangat yang menggelora. Ketakutan. Kekecewaan akan
kekalahan. Perjuangan membangun kembali hidup yang tercabik-cabik.
Kadang-kadang saya dan Cip berpendapat kehidupan anak-anak
kami enak sekali. Mulyo, kalau kata Cip yang selalu kembali ke boso Jowo kalau
kehabisan ekspresi dalam bahasa Indonesia. Dan itu membuat kami takut. Apalagi lalu
saya melihat ke belakang dan melihat perjuangan saya tidak sehebat ibu dan ayah
saya, Datuk dan Nenek yang sudah menyumbang sebagian dari usia mereka untuk
negeri. Kalau saya ceritakan pada anak-anak saya, mungkin mereka akan bilang, “Ah
Bunda, itu kan gak ada apa-apanya”. Hmmmm.....
Saya tumbuh dengan sejarah, yang bagaimanapun juga
memberikan saya contoh tentang hidup yang tercerai berai dan bagaimana kita
harus kuat membangunnya kembali. Sejarah yang juga mengajarkan saya bagaimana
mencintai negeri ini apapun keadaannya. And I can’t help thinking bagaimana caranya
agar anak-anak kami bisa belajar tentang hal-hal yang sama dalam ke-mulyo-an
hidup mereka.
Bukan pertanyaan yang bisa saya jawab sekarang, pastinya. Waktu
yang kelak akan membuktikan apakah sejarah di hidup saya dan Cip, apa yang kami
berdua jalani sebagai pasangan hidup, sebagai orang tua, dan juga sebagai
pribadi-pribadi yang terpisah, kelak akan membantu anak-anak kami menjalani
hidup mereka masing-masing.
At least one thing I know, I sure hope sejarah hidup kami kelak
bukan sejarah tentang hidup yang disia-siakan.
(R I R I)